• Opini
  • Jurnalis Foto Memotret itu Tidak Sebatas Liputan

Jurnalis Foto Memotret itu Tidak Sebatas Liputan

Ancaman terhadap jurnalis sudah menjadi rahasia umum hari ini.

Ilustrasi kebebasan pers dan kebebasan sipil, 2023. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

27 Maret 2025


BandungBergerak.id – Gagasan untuk merusak kamera yang tengah ramai di momen genting ini jelas menyita perhatian jurnalis foto. Rasanya jadi penting untuk meresponsnya dengan gagasan juga. Bukan hanya sebatas dengan karya visual yang sudah wara-wiri di media sosial sana.

Setelah aksi tolak Undang-undang TNI hari ke-2 di Bandung pada Jumat, 21 Maret 2025, lalu kawan saya membagikan tautan Instagram. Tepat di Sabtu dini hari itu saya membaca carousel yang berisi menyampaikan gagasan bahwa keamanan massa aksi harus dijaga bersama. Termasuk oleh jurnalis, khususnya jurnalis foto.

Sontak postingan itu menjadi bahan pembicaraan di beberapa ruang komunikasi. Saya, yang terbatas memahami gagasan utama dalam tulisan itu masih mencoba sebaik-baiknya mencerna pesan yang disampaikan. Membacanya berulang kali. Untungnya, saya dapat memahami poin yang disampaikan.

Namun, saya berkeberatan dengan narasi “jurnalis tidak dapat dianggap sebagai rekan seperjuangan pada saat ini” yang ditulis dengan huruf kapital dan tebal itu.

Seketika sejumlah pertanyaan memenuhi ruang pikiran saya yang terbatas ini. Kenapa perlu ada kalimat ini? Apa maksud dari penulisannya? Apakah masih aman jika jurnalis foto, hadir di tengah massa aksi? Karena kami, jurnalis, tidak layak mendapatkan represifitas. Sama seperti masyarakat sipil lainnya.

Mengutip tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kisah Mata, dia menuliskan bahwa memotret adalah berkata sekaligus tindakan bermakna.

“Memotret adalah bentuk dari dialog Subjek-yang-Memotret dengan dunia. Tindak memotret adalah bagian dari percakapan itu. Mata melihat, tetapi memotret adalah menyatakannya,” tulis Seno di halaman 97.

Seperti foto karya mendiang Julian Sihombing di harian Kompas pada Tragedi 1998, menjadi satu dari banyaknya karya jurnalistik yang memperlihatkan sikap acuh dan arogansi aparat. Karya yang dihasilkan dari jurnalis bukan hanya sebatas laporan lapangan, tapi juga menjadi data visual. Ada pula jurnalis foto di Bandung yang pernah memberikan fotonya pada KontraS dan Komnas HAM sebagai barang bukti atas kekerasan yang terjadi pada aksi May Day tahun 2019 di kota kembang. Masih banyak lagi data visual yang merekam kekerasan oleh mereka yang berlindung dibalik nama institusi keamanan.

Kerja itu pula yang masih diupayakan oleh jurnalis, yang sejak awal menyadari bahwa ada bahaya di sana, yang sedari itu pula mengantisipasi agar tidak terkena represifitas. Khususnya dari aparat keamanan yang kerap sentimen terhadap sorot kamera.

“Fotografer dan juru kamera berada dalam bahaya besar jika orang-orang yang terlibat dalam huru-hara percaya bahwa film tersebut akan diberikan pada polisi,” kalimat yang tertulis di buku Panduan Bertahan Hidup Bagi Jurnalis yang dipublikasi Aliansi Jurnalis Independen bersama International Federation of Journalist.

Baca Juga: Keniscayaan Jurnalisme Bermutu di Era Algoritma
Pasal Larangan Jurnalisme Investigasi di RUU Penyiaran Menguntungkan Koruptor
Membedah Mitos Netralitas Media, Jurnalisme Memiliki Kewajiban untuk Berpihak Kepada Kepentingan Publik

Menjawab Keresahan

Rasa tenang itu masih terusik. Saya berkontak dengan kawan muda yang dirasa bisa menghubungkan saya dengan penulis. Di saat yang bersamaan, ledakan emosi muncul dalam bentuk notifikasi. Sialan memang, di bulan ini katanya para penghasut yang tak kasat mata itu sedang libur, tapi kenapa begitu mudah terpancing emosi.

Satu kawan bijak menyarankan membuka diskusi internal, yang berujung pengurungan usulan karena raut wajah saya yang sudah begitu masam. Satu kawan foto meminta untuk dibantu agar bisa duduk bersama dengan penulis “Hancurkan Kamera”. Kawan yang terakhir yang justru membuat saya sedih, menurutnya tidak perlu memberikan ruang diskusi. Begitulah dinamika yang terjadi di 10 hari terakhir bulan suci ini.

Seperti yang bisa ditebak, pada akhirnya saya mencoba membuka obrolan dengan penulis di tengah obrolan gosip kehidupan pribadi setelah momen buka bersama di minggu malam. Lewat  satu aplikasi yang baru saya tahu, tapi sedikitnya bisa membuat penulis yang bersangkutan aman.

Beruntung, dia membuka ruang untuk saya bertanya. Di awal penjelasannya dia memberitahu jika latar belakangnya adalah seorang anarko-egois. Saya pun asing dengan istilah itu, satu kawan dekat memberi tautan zine dengan tajuk “Seni dan Egoisme” untuk memberi pengantar tentang paham yang dikenalkan Max Stirner. Intinya pada pada buku Der Einzige und sein Eigentum, Stirner menantang legitimasi institusi, ideologi, dan pembentukan identitas yang muncul dari infiltrasi keinginan secara sadar atau tersembunyi, yang berfungsi sebagai kekuatan produktif dan aspek utama dalam pengalaman psikis individu.

Saya menyampaikan pendapat terlebih dahulu pada penulis. Di buka dengan saya sepakat dengan poin yang disampaikan sampai pada alternatif solusi yang dilemparkan. Saya sampaikan pula keberatan dari satu redaksi yang memantik sejumlah rasa tanya itu.

Dia menjelaskan dengan cukup detail. Pada awalnya tulisan tersebut ditujukan untuk kaum anarkis dan kenyataannya karya itu menjangkau publik yang lebih luas. Barangkali “rasa khawatir” menjadi pilihan yang tepat untuk mewakili penjelasan si penulis. Karena, tidak jarang aparat kepolisian memanfaatkan informasi visual yang tersebar untuk menangkap massa aksi yang turun ke jalan.

Penulis bukan individu yang datang dari antah-berantah, dia juga memiliki latar belakang fotografi yang saya rasa cukup baik. Dia juga tahu bahwa jurnalis foto beroperasi di koridor etik. Tapi yang disampaikannya dalam tulisan di Pustaka Bacang bertujuan untuk mengingatkan bahwa ada konteks di luar peliputan. Ada potensi penyalahgunaan data oleh pihak tertentu.

“Di tengah pergolakan sosial dan politik, para fotografer dan pembuat film Jepang tidak hanya merekam sejarah, mereka juga ikut membentuknya. Tulisan ini mengungkap kisah bagaimana fotografi menjadi saksi bisu sekaligus pemicu perlawanan rakyat terhadap kekuasaan negara” mengutip dari zine Photography, Protest, and Constituent Power In Japan, 1960-1975 karya Duncan Forbes.

Keamanan Digital

Setelah obrolan itu, saya sedikit tenang, karena tidak tenggelam pada emosi dan masih mau membuka obrolan. Banyaknya saya bersyukur, karena pernah berkesempatan menjadi peserta keamanan digital.

Kejadian beberapa waktu ke belakang dan ke depannya jelas sudah menggunakan kecanggihan teknologi. Dana yang besar untuk dukungan pelacakan satu data pribadi masyarakat sipil bukan lagi bahasan yang tabu di tengah kita yang menjadi bagian dari instrumen negara.

Ancaman terhadap jurnalis pun sudah menjadi rahasia umum hari ini, seperti yang kita terima informasinya. Pengiriman kepala babi dan bangkai tikus yang terpenggal yang dikirim ke Kantor Tempo. Beserta doxing yang menyusul menjadi rentetan kejadian yang terjadi.

Artinya, autokritik yang disampaikan bukanlah hukuman mati untuk profesi jurnalis foto. Tapi menjadi bahan untuk terus meningkatkan kesadaran bahwa selain menjaga hak privasi diri, juga perlu menghormati privasi massa aksi yang secara sadar menjadi bagian dari narasumber, serta tetap berpihak pada kebenaran publik. Karena jurnalis foto sama-sama bagian dari masyarakat sipil yang melawan dengan kamera.

Bukan begitu?

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Virliya Putricantika atau esai lainnya tentang Jurnalisme

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//