• Indonesia
  • Membedah Mitos Netralitas Media, Jurnalisme Memiliki Kewajiban untuk Berpihak Kepada Kepentingan Publik

Membedah Mitos Netralitas Media, Jurnalisme Memiliki Kewajiban untuk Berpihak Kepada Kepentingan Publik

Keberpihakan jurnalisme terhadap kepentingan publik dan keadilan sosial sama sekali tidak melanggar prinsip dan etika jurnalistik. Netralitas adalah mitos.

Ilustrasi. Jalan panjang memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia, 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Bagas Charli Manuel Purba8 November 2024


BandungBergerak.id - Netralitas jurnalisme sulit diwujudkan dalam sistem neoliberal yang sarat kepentingan ekonomi dan politik. Peran media yang berpihak pada keadilan sosial kian penting untuk membela hak publik dan melawan monopoli informasi oleh elite.

Wisnu Prasetya, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada (UGM), mengatakan netralitas sering dianggap sebagai kewajiban media untuk tidak berpihak dalam pemberitaan. Jadi, sikap media dipahami untuk tidak berpihak.  

“Keberpihakan tidak sama dengan melanggar prinsip dan etika jurnalistik, karena keberpihakan itu berdasarkan fakta. Media itu pasti memiliki keberpihakan dan tidak melanggar etika jurnalistik,” ujar Wisnu, dalam diskusi bertajuk "Berpihak pada Keadilan: Peran Media dalam Gerakan Sosial" yang digelar Kurawal Foundation, Sabtu, 2 November 2024.

Diskusi ini secara khusus membahas tema netralitas dalam jurnalisme, social justice journalism, dan pengalaman dari gerakan media Floresa. Selain Wisnu, diskusi ini dihadiri narasumber Inaya, Direktur Asia Research Center Universitas Indonesia; dan Ryan Dagur, Pemimpin Redaksi Floresa.

Dalam kode etik jurnalistik, Wisnu melanjutkan, juga tidak mengatur netralitas dalam media, tetapi menjadi objektif dan independen (kode etik jurnalis pasal 1). Dengan kata lain, secara teori dan praktik netralitas itu tidak ada.

Wisnu menjelaskan bahwa tantangan dalam mencapai netralitas dibagi menjadi dua: masalah struktural dan kultural. Masalah struktural muncul karena media sering berafiliasi dengan pihak politik tertentu, meskipun tidak selalu terlihat jelas. Masalah kultural, di sisi lain, muncul dari latar belakang dan bias pribadi para jurnalis.

Menurutnya, media tidak mungkin sepenuhnya netral. Netralitas hanyalah mitos. "Media pasti punya keberpihakan, tetapi hal ini tidak berarti melanggar etika jurnalistik," jelas Wisnu.

Ia menjelaskan, selama Orde Baru di Indonesia, media mengalami perubahan besar, dari depolitisasi menjadi industrialisasi, hingga profesionalisasi. Depolitisasi berarti media yang berafiliasi dengan partai politik dibatasi, dan saat industrialisasi, media mulai berorientasi pada profit. Seiring dengan industrialisasi, profesionalisasi sebagai peningkatan kualitas, etika, dan standar kerja dalam praktik jurnalisme juga mulai muncul.

Meskipun media terikat oleh regulasi ketat dan sensor, beberapa outlet berusaha menyuarakan pandangan kritis terhadap pemerintah. Namun, secara keseluruhan, kendali pemerintah menghalangi media untuk menjalankan fungsi pengawasan secara efektif. Informasi yang kritis terhadap pemerintah sering kali dibungkam, menciptakan ketidakberagaman dalam informasi yang tersedia bagi masyarakat.

Social Justice Journalism di Era Neoliberal

Inaya, Direktur Asia Research Center, menjelaskan pendekatan social justice journalism sebagai respons terhadap konteks neoliberal yang sangat mempengaruhi media. Menurut Inaya, konsep netralitas atau keberimbangan dalam jurnalisme sering kali dipahami sebagai upaya untuk menyajikan informasi objektif dan tanpa keberpihakan. Namun, dalam kenyataannya, sistem neoliberal membuat netralitas ini menjadi konsep yang semakin kompleks dan sering kali dipertanyakan.

Dalam konsep neoliberal, media cenderung berada di bawah pengaruh besar kepentingan ekonomi dan politik. Banyak perusahaan media kini dimiliki oleh konglomerat besar dengan afiliasi bisnis atau politik tertentu. Dampaknya, jurnalis sering berada di bawah tekanan untuk menyajikan berita yang sesuai dengan kepentingan pemilik media atau sponsor yang mendanainya.

"Hal ini membuat netralitas jurnalis menjadi sulit dipertahankan," ujar Inaya, mengingat keputusan editorial kerap dipengaruhi oleh kepentingan komersial.

Inaya juga menyoroti bagaimana situasi ini telah menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap jurnalisme, terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Demokrasi di negara-negara tersebut telah “dibajak” oleh kelompok konservatif sayap kanan. Kelompok ini menggunakan kekuatan media sosial, seperti X dan platform digital lainnya, untuk mengedarkan informasi alternatif dan sering kali hoaks. Sebelumnya, mereka tidak memiliki akses ke media tradisional, namun kini mereka menggunakan media digital sebagai alat politik yang kuat di seluruh dunia.

Dalam menghadapi tantangan ini, social justice journalism menjadi pendekatan penting yang membedakan dirinya dari jurnalisme konvensional. Menurut Inaya, pendekatan ini bukan sekadar mencatat fakta, tetapi juga mengambil keberpihakan pada kelompok yang tertindas atau termarjinalkan. Namun, praktik ini memerlukan kolaborasi jangka panjang antaraktor media, jurnalis, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.

"Masalah yang mendasar adalah negara dan oligarki dapat mengonsolidasikan kekuasaan lebih cepat dibandingkan masyarakat sipil," jelasnya.

Sebagai solusi, Inaya menekankan pentingnya berbagi sumber daya, aliansi, dan mobilisasi yang tidak hanya bertujuan menangani krisis satu per satu. Aliansi tersebut juga harus membangun narasi bersama secara teratur untuk mengartikulasikan posisi gerakan sosial dan demokrasi. Ketanggapan terhadap krisis itu penting, tetapi membangun visi bersama tentang keadilan sosial dan demokrasi adalah fondasi utama.

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis Mendesak Polisi Mengusut Teror Bom pada Jurnalis Papua
Komite Keselamatan Jurnalis dan Jaringan CekFakta: Peretasan Akun Ketua AJI sebagai Teror terhadap Demokrasi
Revisi UU Penyiaran Mengkebiri Jurnalis dan Membungkam Kebebasan Berekspresi Warga Negara

Praktik Keberpihakan Floresa Kepada Kepentingan Publik

Diskusi ini juga membahas praktik keberpihakan yang dilakukan oleh Floresa, media yang didirikan oleh sekelompok jurnalis, aktivis, dan mahasiswa di Jakarta untuk mendukung kepentingan publik di Flores. Menurut Ryan Dagur, Pemimpin Redaksi Floresa, media ini bertujuan untuk tetap terhubung dengan kampung halaman dan berkontribusi meski tanpa harus pulang kampung. Ia menyatakan bahwa media memiliki peran strategis dalam menyampaikan informasi penting bagi masyarakat di Flores.

Floresa memiliki komitmen kuat untuk mengangkat isu-isu yang relevan bagi masyarakat Flores, seperti isu lingkungan dan sosial. Ryan mencontohkan dampak nyata pemberitaan Floresa tentang kasus Poco Leok, di mana isu ini berhasil mendapatkan perhatian luas dan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap masalah tersebut. Dengan konsistensi pemberitaan yang berfokus pada kepentingan publik, Floresa berhasil memperoleh kepercayaan dari masyarakat yang melihat media ini sebagai suara independen yang peduli pada kepentingan warga, bukan bagian dari kepentingan elite atau kekuasaan.

Ryan juga mengakui bahwa salah satu tantangan utama dalam menjalankan peran ini adalah rendahnya kepedulian masyarakat terhadap isu-isu penting yang mungkin tidak disadari mereka hingga masalah benar-benar muncul di kampung halaman. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh monopoli informasi oleh pihak berkuasa dan kurangnya akses masyarakat terhadap pengetahuan alternatif. Di sisi lain, peran lembaga legislatif yang seharusnya memperjuangkan aspirasi warga juga dinilai masih kurang optimal.

Floresa telah memperoleh dukungan dana dan pengakuan publik yang menjadi bukti apresiasi terhadap model kerjanya yang independen. Floresa bahkan telah memperoleh sejumlah beasiswa liputan dari Earth Journalism Network dan menerima penghargaan publik yang mengukuhkan perannya sebagai media yang peduli pada kepentingan masyarakat.

Ryan menambahkan bahwa praktik jurnalisme Floresa menentang konsensus yang dibentuk oleh kepentingan kuat melalui media arus utama. Media ini juga menjadi alternatif yang kritis terhadap otoritas dan agenda elite politik serta ekonomi, memberikan ruang bagi suara masyarakat yang sering terabaikan dalam wacana publik.

Di akhir diskusi, terungkap bahwa aliansi antara aktor media, jurnalis, dan organisasi sipil perlu dibangun untuk jangka panjang. Ini bukan sekadar merespons krisis demi krisis, melainkan juga membangun visi kolektif mengenai peran media dalam mendukung demokrasi dan keadilan sosial.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Bagas Charli Manuel Purbaatau tulisan-tulisan menarik lain tentang Kebebasan Pers 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//