Mulung Tanjung #10: Menikmati Gending Karesmen si Kabayan Jadi Dukun di Unpad
Gending karesmen atawa opera Sunda diperkenalkan R. Machyar Angga Kusumadinata sekitar 1926. Memadukan sastra, kawih, dan gamelan.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
2 Oktober 2025
BandungBergerak - Gending Karesmen mulai berkembang sebagai bentuk teater rakyat populer di Jawa Barat sejak era 1920-an. Pertunjukan opera Sunda ini memadukan unsur sastra, musik, dan drama, menjadikannya sajian yang unik dan menghibur. Saya berkesempatan menyaksikan kesenian ini dalam rangka peringatan dies natalis ke-68 Universitas Padjadjaran (Unpad) yang bertajuk bertajuk Gending Karesmén Si Kabayan, ketika tokoh fiksi urang Sunda ini berperan sebagai dukun.
Meskipun saya sudah mengenal istilah gending karesmen sejak duduk di sekolah dasar melalui buku pelajaran dan buku-buku bacaan berbahasa Sunda, nyatanya saya baru melihat seni pertunjukan ini tergelar di atas panggung. Betapa beruntungnya saya.
Adegan demi adegan saya nikmati dengan seksama. Lagu-lagu yang menjadi dialog pun tak luput dari perhatian saya, bahkan sesekali kepala dan kaki saya ikut bergoyang menikmati alunannya. Tak hanya saya, hampir semua penonton ikut larut dalam adegan-adegan yang mengalir di atas pentas. Penonton sangat menikmati pementasan yang jarang ditemukan saat ini.
Drama musikal Si Kabayan yang dipentaskan di Grha Sanusi Hardjadinata, Kampus Unpad Dipati Ukur, Bandung, Jumat, 12 September 2025 itu merupakan karya dari Wahyu Wibisana, menceritakan tentang tokoh Kabayan yang sangat dikenal oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat. Karakter si Kabayan yang dikenal pemalas (pangedulan – Sunda), tapi memiliki banyak akal yang kadang tidak terduga. Kecerdasannya ini sangat bertolak belakang dengan kemalasannya.
Kisah yang sebenarnya mengandung kritik sosial tentang perlunya bersikap lebih kreatif dalam menghadapi berbagai ujian dalam hidup, disajikan dengan ramuan kejenakaan yang kental. Sikap Kabayan dalam menghadapi tuntutan Ambu Kabayan, istriya, disampaikan dalam adegan yang banyak memancing tawa. Bahkan mungkin kita tidak sadar sedang menertawakan sikap yang sering kita lakukan di dunia nyata.
Si Kabayan berperan sebagai dukun yang mampu memberikan solusi untuk para bujang dan mojang. Maka para jejaka dan gadis yang sedang mencari pasangan pun berdatangan kepada sang dukun. Muncullah tokoh rekaan si Kabayan yaitu Batara Asmara, yang konon meminta banyak sesajen untuk memenuhi keinginan para gadis dan jejaka tersebut.
Sesajen yang diminta sang Batara Asmara hanyalah cara Kabayan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang selama ini dituntut oleh Ambu Kabayan yang sudah kesal melihat kelakuan suaminya yang terkenal malas. Lakon ini disajikan dengan adegan-adegan yang penuh heureuy khas Sunda, menggelitik dan memancing tawa.
Kawih-kawih Sunda dalam pentas gending karesmen ini merupakan karya Mang Koko, yang digarap oleh Sony Riza Windyagiri. Ia juga berperan sebagai Kabayan. Penggarapan ini membuat drama musikal khas Sunda tersebut terasa segar dan menarik, bahkan bagi saya yang baru pertama kali menyaksikan pementasan gending karesmen.
Apa yang ditampilkan di atas panggung menunjukkan keluwesan seni Sunda dalam beradaptasi dengan zaman. Hal ini membuka peluang lebar untuk gending karesmen bangkit dan berkembang lagi di tengah gempuran budaya pop pada saat ini. Apalagi melihat bangku penonton yang sebagian besar diisi kalangan muda, membuat harapan tumbuh bahwa suatu saat akan ada lagi pagelaran seni gending karesmen yang bisa dinikmati warga Bandung khususnya.
Menonton gending karesmen ternyata semenyenangkan itu. Salah satu yang terngiang dari pentas ini adalah dialog dari Kabayan:
"Batan dibobodo deungeun, mending ngabobodo deungeun, aéh ketang henteu rumasa, bodo bongan bodo bongan, bodo ngabobodo manéh [Daripada dibohongi / ditipu orang lain lebih baik membohongi / menipu orang lain, eh tapi (saya ) tidak merasa, salah sendiri bodoh menipu diri sendiri].

Awal Gending Karesmen
Istilah gending karesmen berasal dari dua kata: gending yang berarti lagu-lagu dan karesmen yang berarti resmi atau indah. Sesuai namanya, gending karesmen menghadirkan keindahan seni peran dan musik dengan lagu-lagu yang diiringi alunan gamelan. Maka Gending Karesmen menawarkan keindahan pagelaran dari seni peran dan lagu-lagu yang diiringi alunan gamelan.
Gending karesmen atawa opera Sunda pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat luas oleh R. Machyar Angga Kusumadinata pada tahun 1926. Waktu itu R Machyar menampilkan gending karesmen yang berjudul Sarkam Sarkim di Pendopo Bupati Sumedang.
Istilah gending karesmen juga muncul pada Kongres Bahasa Sunda ke-2 tahun 1927 di Societeit Ons Genoegen (Yayasan Pusat Kebudayaan/YPK) Bandung. Pada saat itu Raden Memed Sastrahadiprawira mementaskan Gending Karesmen yang berjudul Dalem Cikundul.
Tokoh-tokoh lain yang juga berperan dalam perkembangan kesenian gending karesmen di antarana Raden Surawijaya, Raden Kartabrata, Wahyu Wibisana, Enoch Atmadibrata, Mang Koko, R. T. A. Sunarya, R. Supyan Iskandar, R. Ading Affandie, dan banyak lagi seniman pada periode setelahnya.
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #8: Upaya Menjaga Umur Panjang Bahasa Daerah dengan Fiksi Mini Sunda
Mulung Tanjung #9: Berbahasa Sunda tidak Harus jadi Cameuh
Gending Karesmen yang Pernah Dipergelarkan
Banyak sumber yang menyebutkan judul-judul gending karesmen yang pernah dipersembahkan para seniman Sunda dan dihadirkan dalam bentuk pagelaran, di antaranya Lutung Kasarung (1923) karya Kartabrata, Sulayana (1924) karya R.A.T. Sunarya, Sarkan-Sarkim (1925) karya R. Machyar Angga Kusumahdinata, Sangkuriang karya R.A.T. Sunarya, Mundinglaya Di Kisumah (1954) karya M.A. Salmun, Mundinglaya Saba Langit (1962) karya Wahyu Wibisana, Inten Dewata (1963) karya Wahyu Wibisana, Leuwi Sipatahunan (1963) karya R.Ading Affandie, Galunggung Ngadeg Tumenggung (1964) karya Wahyu Wibisana, Isukan Raja Rek Miang (1966) karya Wahyu Wibisana, Sumpah Sakti Gunung Jati (1966) karya Eddi Tarmiddi.
Di masa setelahnya pun banyak karya-karya gending karesmen yang dilahirkan para seniman Sunda berikutnya, di antaranya R. Hidayat Suryalaga dan Tatang Setiadi. Dan pagelaran-pagelaran gending karesmen menjadi salah satu seni budaya Sunda yang cukup digemari pada masanya.
Pada periode sekitar tahun 1980 dan 1990-an, gending karesmen mengalami penyesuaian dalam kostum dan tata panggung dengan menyesuaikan pada masanya. Selain itu ada juga yang mengadaptasi keadaan pada saat itu dengan terinspirasi oleh hal-hal yang populer saat itu. Cag!
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung