Lembang Dulu dan Kini, antara Kekayaan Sejarah dan Krisis Lingkungan
Lembang menghadapi tantangan ekonomi yang ditawarkan industri pariwisata dan pentingnya menjaga warisan sejarah dan alamnya.
Penulis Rita Lestari4 Oktober 2025
BandungBergerak - Lembang tidak hanya kaya dengan potensi alam yang menawan, tetapi juga memiliki jejak sejarah yang sangat berharga. Kini Lembang terhimpit oleh beragam masalah, dari tekanan industri pariwisata hingga krisis ekologi yang semakin mengkhawatirkan.
Kekayaan sejarah dan kondisi masa kini dataran tinggi di Bandung utara diulas dalam “Walking Tour Sejarah Lembang”, Sabtu, 20 September 2025. Perjalanan ini dimulai di Piknik Kopi, sebuah rumah tua peninggalan Belanda yang dulunya milik keluarga Ursone. Bangunan bergaya Eropa dengan atap limas, halaman luas nan hijau, dan pepohonan rindang menjadi titik awal sekaligus pelabuhan terakhir bagi peserta walking tour.
Malia, seorang pegiat sejarah dan penulis, memandu tur ini dan mengajak peserta untuk menyusuri jejak kolonial di Lembang. Pada tahun 1933, Baru Adjak (sekarang kawasan Piknik Kopi) merupakan pusat peternakan sapi terbesar se-Asia Tenggara. Kawasan ini juga dikenal sebagai habitat rusa totol, yang kini hanya tinggal cerita.
Dari sini, Malia mengaitkan masa lalu dengan masa kini, menekankan pentingnya pelestarian bangunan bersejarah, yang sayangnya sering kali terabaikan. Masih banyak bangunan yang memenuhi kriteria cagar budaya, tetapi nasibnya sering kali terlupakan.
Perjalanan berlanjut ke deretan bangunan tua di sepanjang Jalan Raya Lembang. Beberapa bangunan masih kokoh berdiri, sementara yang lainnya telah hilang digantikan dengan pom bensin atau bangunan modern lainnya.
Salah satu bangunan yang masih terjaga adalah Sunny Home, sebuah rumah dengan cat putih dan ornamen batu yang masih mempertahankan penomoran rumah kolonial berbahan baja bertuliskan "RWL" (Rayon Wilayah Lembang). Rumah ini dulunya juga pernah menjadi markas radio Swaramuda, radio pertama di Lembang.
Tidak hanya bangunan, Pertapaan Karmel atau biara Karmel juga menyimpan sejarah panjang. Peserta walking tour disambut oleh Romo Fabian, yang memperkenalkan pohon berusia 500 tahun yang diambil langsung dari Prancis dan menjelaskan berbagai benda bersejarah yang dipamerkan di galeri rohani. Biara ini awalnya merupakan gudang susu sederhana, kemudian dihibahkan Ursone. Kini biara menjadi simbol keragaman dan spiritualitas yang telah melewati masa kolonial, perang, hingga era modern.
Nama Karmel diambil dari Ordo Karmelit, kelompok biarawati Katolik yang memilih jalan hidup dengan janji pengabdian, kemurnian hati, kesederhanaan hidup, dan ketaatan penuh pada aturan biara.
Selanjutnya peserta diajak melihat PDAM yang masih memiliki arsitektur dan nomor rumah RWL khas kolonial. Ada juga Alun-alun Lembang, Masjid Agung Lembang, dan Pendopo Kauman yang dulunya dibangun dengan konsep catur gatra, yakni konsep tata ruang saat masa kerajaan Mataram Islam yang memiliki 4 pilar utama untuk membentuk inti kota yang ideal dan seimbang, berupa politik (keraton/kepatihan), religi (masjid), sosial (alun-alun), dan ekonomi (pasar).
Destinasi selanjutnya adalah Gedong Luhur dan Gedong Arca. Gedong luhur telah dialihfungsikan dari yang sebelumnya rumah menjadi bagian dari bangunan SMPN 1 Lembang. Berbeda dengan gedong luhur yang masih terawat, Gedong Arca justru tak terawat, ornamen-ornamennya juga sudah tak komplit, bahkan ada yang dicuri.
Jalan-jalan sejarah berlanjut ke Jayagiri yang dulu terkenal dengan tanaman kesumba. Tanaman ini dimanfaatkan oleh bangsa Eropa untuk zat pewarna tikar dan tekstil.
“Dulu pohon kita sangat bermanfaat untuk VOC, dipakai untuk gaun, itu di Jayagiri, sekarang udah ga ada. (Pohon kesumba) bisa jadi warna merah dan oren, di Eropa ga ada. Tapi orang sini ga tau kalau bisa dipakai, VOC yang tau cara pemakaiannya, sebenernya kita kaya, cuma ga sadar,” ujar Malia.
Jayagiri disebut pernah berjaya di bidang ekspor kina, tanaman yang bisa digunakan sebagai obat malaria. Seorang botanis atau ilmuwan Jerman bernama Franz Wilhelm Junghuhn berperan besar dalam mengembangkan perkebunan kina di Lembang. Junghun diabadikan menjadi nama salah satu kawasan di Jayagiri, tempat ia dimakamkan.

Perubahan Wajah Lembang dan Tantangan Ekologi
Walaupun kaya akan sejarah, Lembang kini menghadapi tantangan besar dalam mengelola perubahan ekonomi dan lingkungan. Di masa lalu, sektor agraris seperti peternakan dan perkebunan menjadi tulang punggung ekonomi Lembang. Kawasan ini dikenal sebagai tempat pertama pembiakan sapi perah di Indonesia dan penghasil susu sapi terbesar di negeri ini.
Namun, saat ini wajah Lembang mulai bergeser. Vila, kafe, dan destinasi wisata kini tumbuh subur di sepanjang jalan-jalan utama, membawa keuntungan ekonomi, tetapi juga masalah baru.
Industri pariwisata memang memberi dampak positif, namun juga membawa dampak negatif seperti kemacetan, sampah, dan alih fungsi lahan yang masif. Malia menyebutkan bahwa pariwisata di Lembang tidak masalah selama keseimbangan dengan alam bisa dijaga, mengingat masalah lingkungan, terutama banjir, kerap kali menghantui kawasan ini.
Pemerintah dan masyarakat diharapkan mencari solusi agar daya tarik wisata tetap terjaga, tanpa merusak lingkungan. Salah satu contoh ketidakseimbangan ini adalah banjir yang sering kali melanda Lembang akibat perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali. Hal ini menjadi contoh nyata bagaimana pertumbuhan industri pariwisata yang tidak terkelola dengan baik bisa berbalik menjadi ancaman bagi kawasan tersebut.
Baca Juga:TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking With Nurul dan Disgiovery
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #1: Dari Koloni Boer hingga Peternakan General De Wet

Menjaga Warisan dan Nilai Sejarah
Meskipun banyak tantangan, nilai-nilai sejarah Lembang yang kaya tetap memiliki relevansi untuk masa kini. Rezka, salah satu peserta walking tour dan founder @wisatalembang, mengungkapkan bahwa mengenal sejarah adalah cara untuk memahami nilai-nilai yang perlu diwariskan ke generasi berikutnya.
“Lembang harus bangga dengan keberagaman yang ada. Dulu, perusahaan Baru Adjak memperlihatkan betapa keragaman itu menjadi kekuatan. Mandor kebun dari berbagai agama dan latar belakang menunjukkan bahwa Lembang telah lama menjadi simbol toleransi,” ujar Rezka.
Menurutnya, sejarah Lembang mengajarkan banyak hal, seperti bagaimana keberagaman dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana dapat membawa kesejahteraan. Sejarah Lembang juga memberikan contoh penting tentang swasembada pangan dan pengelolaan limbah yang berkelanjutan. Pada masa lalu, kotoran sapi diolah menjadi pupuk yang tidak hanya digunakan untuk pakan sapi, tetapi juga untuk menyuplai rumput yang digunakan di Bandung Zoo.
Bahkan, kata Rezka, dulu setiap hari Jumat warga bisa mengambil susu dan kueh sepuasnya. Mereka datang dengan membawa teko, jerigen, atau ember dan mengantre di dekat koperasi. Ini menunjukkan bagaimana kesejahteraan pegawai dan masyarakat waktu itu sangat diperhatikan, termasuk dalam hal kesehatan.
“Nah, jadi kayaknya kalau kita belajar soal masa lalu, idealis yang kita tuju adalah nilai nilai yang pernah ada di masa lalu. Di Lembang tuh masyarakat madani pisan, bangunannya segala ada, semuanya segala ada,” papar Rezka.
Namun, perubahan zaman membuat banyak dari nilai-nilai ini terlupakan. Rezka berharap, dengan mengetahui sejarah, masyarakat Lembang dapat mengambil pelajaran untuk menghadapi masalah hari ini, seperti ketergantungan terhadap industri pariwisata yang tidak selalu sejalan dengan keberlanjutan lingkungan.
Indra, peserta lainnya, menyarankan generasi muda untuk lebih mengenal sejarah lokal.
“Masa lalu bukan cuma untuk dikenang tapi dipelajari, dinikmati, dibuka kembali. Supaya anak sekarang lebih peka masa lalunya seperti apa. Karena bentuk sejarah yang dikemukakan oleh sekolah itu hanya pengenalan secara umum, tapi untuk tempat kita bernaung itu kadang kala tidak dikenalkan,” kata Indra.
Lembang memang kini terjepit antara keinginan untuk berkembang dan tekanan untuk melestarikan warisan sejarah dan ekosistemnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB