KISAH SANGKURIANG #3: Bertaut dengan Kisah Kerajaan Kuno di Nusantara
Banyak kisah masa lalu bangsa kita ini yang terkesan remang-remang yang menjadikannya sukar dibedakan mana yang hanya dongeng, mana yang fakta sejarah.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
4 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Masih berdasarkan tulisan Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, kali ini halaman 79 yang menyinggung tentang sebuah kitab yang bernama Pustakaraja Purwa. Menurut Drs Warsito S., sejarawan yang menekuni sejarah Indonesia Kuno, kitab Pustakaraja Purwa merupakan sejarah resmi Dinasti Mamenang yang pernah memerintah nusantara pada masa lalu (Warsito S., Aji Saka, Dora dan Sembada, majalah Mawas Diri, Jakarta, Juni 1977) . Di dalam penelusuran kisah-kisah di kitab ini, kita akan menemukan nama Prabu Sungging Perbakar yang disebut dengan Prabu Heranyarudra (Purnawarman), yang menjadi Raja Gilingwesi atau yang kita sebut dengan Taruma.
Prabu Heranyarudra menikah dengan Dewi Wayungyang, seorang putri Melayu dari Dinasti Kala. Dari perkawinan itu lahirlah Dewi Shinta alias Dayang Sumbi. Pada tahun 420 Masehi, Prabu Heranyarudra menyerang Kerajaan Purwacarita. Dalam serangan tersebut, raja Kerajaan Purwacarita yang bernama Prabu Kanhihawa wafat. Lalu putra Prabu Kanhihawa yang bernama Raden Respati melarikan diri ke timur. Pada masa pelarian itu, Raden Respati sempat diangkat anak oleh Resi Sucandra dari Jawa Timur dan dinikahkan dengan putri sang resi yang bernama Dewi Soma.
Selain dengan Dewi Soma, Raden Respati juga ternyata menikahi Dewi Shinta (anak dari Prabu Heranyarudra) dan membuka hutan di Jawa Tengah kemudian mendirikan Kerajaan Medangkamulyan. Sebagai Raja Medangkamulyan, Raden Respati menyandang gelar Prabu Plindriya pada tahun 438 Masehi.
Di suatu masa, Istana Medangkamulyan mengalami kekalutan. Dewi Shinta yang sedang hamil tua meninggalkan istana karena tidak mau dimadu dengan temannya sendiri yang bernama Dewi Landep. Dewi Landep adalah Putri Sriwijaya dari Dinasti Naga, sedangkan Dewi Shinta adalah Putri Melayu dari Dinasti Kala. Kedua dinasti ini sama-sama keturunan Bangsa Dravida dan sama-sama juga memeluk ajaran Tantrayana.
Di Desa Cangkring, Dewi Shinta yang kita kenal sebagai Dayang Sumbi, melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Wudhug atau Raden Radite, yang kita kenal sebagai Sangkuriang. Singkat cerita, karena nakal, Raden Radite atau Sangkuriang diusir ibunya, Dewi Shinta alias Dayang Sumbi, setelah dipukul keningnya dengan sendok nasi.
Dewi Shinta ini kemudian pergi kembali mengabdi kepada kerajaan sang ayah, Prabu Henranyarudra. Sepeninggal sang ayah, Dewi Shinta diangkat menjadi pemimpin kerajaan dan terkenal dengan sebutan Ratu Gilingwesi dengan gelar Prabu Sitawaka pada tahun 452 Masehi.
Raden Radite alias Sangkuriang setelah dewasa pada tahun 458 Masehi, merebut takhta Medangkamulyan dengan jalan membunuh ayahnya sendiri dan menyatakan diri sebagai raja dengan gelar Prabu Silacala, karena yang dinyatakan sebagai pengganti mahkota Medangkamulyan ialah Dewi Sriyuwati, putri Prabu Palindriya (Raja Medangkamulyan sebelumnya) dengan Dewi Landep. Sebelum itu Raden Radite atau Sangkuriang menikahi Dewi Soma yang notabene adalah ibu tirinya sendiri (istri pertama Prabu Palindriya), dari pernikahan itu lahirlah Dewi Tumpak.
Untuk memperkuat kedudukannya hingga Jawa Timur, Raden Radite atau Sangkuriang ini menikahi anaknya sendiri yaitu Dewi Tumpak yang telah beranjak dewasa. Untuk mengukuhkan dirinya sendiri yang dipertuankan di Pulau Jawa, maka akhirnya Raden Radite atau Sangkuriang ini menyerang Gilingwesi yang notabene istana ibu kandungnya sendiri di Melayu, tak hanya itu dia pun menikahi ibu kandungnya sendiri yaitu Dewi Shinta. Kemudian, Raden Radite alias Sangkuriang mengukuhkan dirinya dengan maharaja Jawa dengan gelar Prabu Watugunung.
Dewi Shinta dan Raden Radite yang telah menikah memiliki keturunan yang melanjutkan Dinasti Taruma, antara Srimaharaja Sindhula (524-539 Masehi) dan Srimaharaja Purwacandra (539-575 Masehi ), Prabu Sri Wahana (577-632 Masehi ), Prabu Denaswara (632 – 629 Masehi), dan Prabu Maeswara (629-? Masehi).
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih
KISAH SANGKURIANG #1: Mitos atau Fakta?
KISAH SANGKURIANG #2: Cerita yang Universal
Kerajaan Taruma
Jadi Taruma tidak pudar ketika sepeninggal Herandrayudra yang terkenal dengan sebutan Purnawarman (416- 452 Masehi ) dan itu semua sesuai dengan sumber-sumber dari negeri Cina yang masih mencatat kedatangan utusan-utusan dari To-Lo-Mo atau Taruma, dalam catatan dinasti Leang (502- 556 Masehi).
Utusan Taruma ke Cina tadi mewakili Sri Maharaja Sindhula pada tahun 528 Masehi dan utusan Sri Maharaja Purwacandra pada tahun 545 Masehi. Dalam catatan Dinasti Tang (618- 906 Masehi ), berturut-turut datang pada tahun 666-669 Masehi utusan dari Rahyang Purbasora alias Prabu Santanumurti (662-717 Masehi) ke negeri Cina. Karena hanya raja–raja yang berdaulat saja yang dapat mengirimkan utusan ke negeri Cina.
Tentu saja untuk kita yang bukan seorang sejarawan, hal ini membuat kita terpukau dan terbelalak. Kisah Sangkuriang yang selama ini kita anggap mitos atau legenda tanpa dasar kenyataan, menurut sumber Pustakaraja Purwa ternyata bertautan dengan sejarah Indonesia kuno.
Memang demikianlah, banyak kisah masa lalu bangsa kita ini yang terkesan remang-remang yang menjadikannya sukar dibedakan mana yang hanya dongeng mana yang fakta sejarah. Oleh sebab itu apabila kita akan mengungkap sejarah dari buku-buku babad, cerita pantun, legenda, cerita sasakala, atau cerita rakyat, kita harus “lantip ing panggraita“ dan “tanggap ing sasmita” atau dalam bahasa Sunda yaitu “ surti lantip pikirna” dan “weruh di semu anu saestu“, yang artinya, cakap menangkap yang tersirat maupun yang tersurat. Karena babad, cerita pantun, atau dongeng rakyat disusun oleh nenek moyang kita yang diselimuti oleh “sastra sandi“ atau bahasa rahasia. Ungkapan yang sarat akan seloka, simbol, atau lambang yang sangat sulit diselami oleh manusia modern sekarang ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang