• Kolom
  • CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #14: Kisah Harian Berita Nasional, Koran Perjuangan dari Yogyakarta

CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #14: Kisah Harian Berita Nasional, Koran Perjuangan dari Yogyakarta

Bagi warga Yogyakarta, nama Bernas (Berita Nasional) bukan sekadar koran. Ia adalah saksi perjalanan sejarah yang tumbuh bersama denyut Kota Budaya.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Wajah surat kabar Berita Nasional Yogyakarta terbitan 50 tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

4 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Di balik lembaran-lembaran koran tua, tersimpan jejak sejarah yang tak ternilai. Salah satunya adalah kisah Bernas, dulu bernama Berita Nasional, surat kabar asal Yogyakarta yang lahir dari kobaran semangat perjuangan. Ia bukan hanya media penyampai berita, melainkan saksi perjalanan Republik muda, denyut Kota Budaya Yogyakarta, hingga dinamika pers Indonesia yang penuh warna.

Bagi warga Yogyakarta, nama Bernas bukan sekadar koran. Ia adalah saksi perjalanan sejarah, yang lahir dari semangat perjuangan, tumbuh bersama denyut Kota Budaya ini, lalu bertransformasi menjadi media digital yang kita kenal hari ini.

Bernas pertama kali terbit pada 1946 dengan nama Harian Nasional. Pendiriannya digagas oleh Mr. Sumanang, wartawan senior yang juga ikut mendirikan Kantor Berita Antara. Saat itu, ibu kota Republik Indonesia baru saja pindah ke Yogyakarta karena Agresi Militer Belanda.

Di tengah suasana perang, koran bukan hanya media informasi, tetapi juga alat perjuangan. Koran lokal seperti Harian Nasional menjadi bagian dari denyut perlawanan rakyat, menyemangati pembaca dengan kabar tentang republik yang masih muda.

Seiring waktu, wajah koran ini ikut berubah mengikuti arus politik.

Tahun 1965, ia berafiliasi dengan PNI dan berganti nama menjadi Suluh Indonesia. Selanjutnya tahun 1969, aturan afiliasi dicabut, nama kembali menjadi Berita Nasional.

Akhirnya pada tahun 1991, bertepatan dengan Hari Pahlawan, nama Bernas resmi dipakai. Kata “bernas” dipilih karena berarti padat berisi sekaligus gagah perwira.

Namun sejarah Bernas tak hanya diisi perubahan nama. Tahun 1996, wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), tewas karena profesinya. Namanya kini abadi sebagai simbol keberanian pers Indonesia.

Halaman muka Berita Nasional edisi 4 Oktober 1975. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Halaman muka Berita Nasional edisi 4 Oktober 1975. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #11: Menyusuri Jejak Harian Suara Merdeka, Media Perekat Warga Jawa Tengah
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #12: Berita Yudha, Jejak Surat Kabar Militer di Tengah Krisis Nasional
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #13: Melihat Setengah Abad Bandung di Koran Pikiran Rakyat Edisi Tahun 1956

Menengok Berita Nasional Edisi 4 Oktober 1975

Membuka arsip Bernas tempo dulu seperti menengok kapsul waktu. Harian Umum Bernas edisi 4 Oktober 1975, ketika koran ini masih bernama Berita Nasional. Terbit dengan 4 halaman, harga eceran pun hanya Rp 20,- (dua puluh rupiah).

Halaman depannya padat dengan berita penting:

Pengungsi Timor Timur yang menolak ditampung di Dili, di tengah konflik yang kelak berujung pada integrasi.

Sorotan utama tentang pendapatan petinju Muhammad Ali ketika melawan Joe Frazier yaitu 1.785 Dollar perdetik.

Laporan tentang ABRI bersama rakyat, anugerah Bintang Jasa dari Presiden Soeharto, hingga rencana Upacara Ngabekten di Keraton Yogyakarta.

Ciri khas koran tahun 1970-an, tampilannya penuh teks rapat, foto minim, judul singkat dan padat. Nada pemberitaan jelas terasa yaitu menonjolkan stabilitas nasional, keberhasilan pembangunan, dan peran ABRI.

Box Redaksi Harian Umum Berita Nasional Yogyakarta. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Box Redaksi Harian Umum Berita Nasional Yogyakarta. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Uniknya, edisi itu bertepatan dengan suasana Idul Fitri 1 Syawal 1395 Hijriyah. Suasana Lebaran menyelip di setiap halaman. Ada jadwal imsakiyah, ucapan selamat dari instansi, hingga iklan bioskop yang meriah, mulai dari kungfu Hong Kong Karate of Shao Lim, komedi Prancis The Mad Adventures of Rabbi Jacob, sampai film horor yang diputar larut malam Dracula and 7 Golden Vampires.

Tak ketinggalan cerita bersambung Kabut di Hari yang Cerah karya S. H. Mintardja, yang menemani pembaca di sela-sela hiruk pikuk mudik dan silaturahmi.

Media cetak kala itu bukan sekadar penyampai berita, tapi juga ruang silaturahmi, hiburan, bahkan etalase bisnis.

Menurut catatan memasuki era reformasi, Bernas kembali menyesuaikan diri.

Penulis memegang Berita Nasional terbitan 50 tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Penulis memegang Berita Nasional terbitan 50 tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Memasuki Ranah Digital

Pada tahun 2004, ia hadir dengan nama Harian Pagi Bernas Jogja. Dan pada tahun 2015, saham mayoritas diambil alih Hebat Group Asia, fokus diarahkan ke ranah digital.

Akhirnya tahun 2018, edisi cetak berhenti terbit. Bernas sepenuhnya bertransformasi menjadi bernas.id, dengan motto Inspirasi Bisnis dan Pribadi Bertumbuh.

Kini, Bernas tak lagi kita temukan di lapak-lapak koran. Ia hadir di layar ponsel dan komputer, menemani pembaca dengan wajah baru yang serba digital. Namun semangatnya tetap sama, menyajikan berita yang padat berisi, alias benar-benar bernas.

Meski wujudnya kini berganti dari kertas menjadi layar digital, warisan Bernas tetap hidup. Ia mengingatkan kita bahwa media bukan sekadar bisnis berita, melainkan bagian dari denyut zaman, pengingat perjuangan, sekaligus pengikat ingatan kolektif. Dari Yogyakarta untuk Indonesia, kisah Bernas adalah bukti bahwa kata-kata bisa menjadi senjata, dan berita bisa menjadi sejarah.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//