• Kolom
  • MALIPIR #36: Pengalaman Membaca

MALIPIR #36: Pengalaman Membaca

Jika membaca diibaratkan dialog, buku yang kita baca tidak ubahnya dengan teman dialog yang asyik, tidak baperan, dan kata-katanya menggugah nalar dan rasa.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Buku adalah teman dialog yang menggugah nalar dan rasa. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

6 Oktober 2025


BandungBergerak - Dengan nalar buatan (AI), orang dapat mengetahui intisari buku, yang rumit sekalipun, dalam sekejap mata. Robot juga bisa menelusuri keterangan menyangkut buku tertentu, memilih dan memilah, menerjemahkan, juga membacakan buku. Namun, sebegitu jauh, ada satu hal yang bagi saya tidak tergantikan, yakni pengalaman dan kesenangan membaca.

Pengalaman membaca yang saya maksudkan adalah kebiasaan mengisi atau meluangkan waktu dengan memusatkan perhatian kepada bahan bacaan, baik yang verbal maupun yang visual, entah buku fisik entah kitab elektronik. Pengalaman demikian dapat diperoleh baik dalam kesunyian ruang baca maupun dalam dalam keramaian ruang tunggu, entah di wilayah publik entah di tempat privat.

Saya tidak pandai menggambarkan kesenangan membaca. Namun, jika membaca diibaratkan dialog, buku yang kita baca tidak ubahnya dengan teman dialog yang asyik, tidak baperan, dan kata-katanya menggugah nalar dan rasa. Jika membaca diibaratkan tamasya, perjalanan yang kita alami berlangsung tenang dan anteng, menyusuri sekian jalan bercecabang, membuka sekian panorama, dan di ujung perjalanan kita akan merasa jadi orang yang lebih baik.

Buku dan Waktu Luang

Buat mereka yang sangat sibuk, kesempatan untuk membaca buku kiranya merupakan kemewahan tersendiri. Waktu khusus perlu dicari, dan mungkin tak selalu mudah didapatkan. Namun, mereka yang mencintai buku lazimnya selalu mampu menyempatkan diri untuk membaca. Selalu ada buku dalam tas punggung, dan selalu ada waktu buat baca buku.

Saya punya teman yang sudah saya anggap adik sendiri. Dia kini penulis yang sangat subur di Bandung, dan dari tangannya telah terbit sejumlah buku. Sewaktu masih bekerja di pabrik tekstil, dia masih sempat membaca buku di sela-sela kegiatan rutinnya di tempat kerja. Sering juga saya dengar dia menamatkan baca buku dalam perjalanan kereta.

Saya sendiri biasa menyelipkan buku bacaan ukuran saku dalam tas pinggang atau tas punggung, seperti memastikan kesiapan teman seperjalanan. Selalu ada celah kegiatan, luang waktu, buat membaca buku, seperti halnya selalu ada kesempatan buat bertegur sapa atau bercakap-cakap dengan teman.

Dalam rumpun bacaan yang terutama bertema keagamaan, ada buku-buku yang dimaksudkan buat dibaca selama setahun: sehari satu halaman. Lima hingga sepuluh menit, cukup kan? Itulah bagian dari tradisi menyediakan waktu luang buat membaca buku. Rektor di sebuah universitas swasta di Bandung saya dengar mewajibkan setiap dosennya buat membaca buku minimal sepuluh menit tiap hendak masuk kelas.

Selain berarti "kitab", istilah buku dalam bahasa Indonesia juga berarti "ruas", sejenis titik temu atau titik sambung bagi sendi-sendi jari atau bagian-bagian batang bambu. Waktu luang yang kita ikhtiarkan buat membaca buku, saya kira, juga merupakan ruas dalam perjalanan waktu yang menandai hidup kita dari hari ke hari.

Baca Juga: MALIPIR #35: Buku itu Kamu Pinjam?
MALIPIR #34: Esai di Jalan

Kembali ke Esde

Dari amatan selintas di kelas, saya mencatat beberapa gejala menyangkut kebiasaan membaca di kalangan mahasiswa kami: sebagian besar tidak terbiasa membaca buku sejak kecil; membaca cenderung dianggap tugas sekolah, bukan hobi; hampir semua lebih suka memakai buku elektronik ketimbang buku fisik. Mau tidak mau saya coba mengajak mereka kembali ke tingkat dasar meski barangkali sudah sangat terlambat.

Dalam semester ini saya mengadakan percobaan: kelas saya dijadikan waktu luang buat mereka untuk membaca dan membuat catatan dari bacaan. Metodenya saya ambil dari tradisi tadarusan: tiap pertemuan diisi dengan kegiatan membacakan buku bergiliran sepanjang satu hingga tiga bab. Habis baca ramai-ramai, saya ajak mereka mendiskusikan beberapa hal menyangkut isi buku yang telah dibaca. Hal-ihwal yang telah didiskusikan harus dicatat dalam buku harian masing-masing untuk dievaluasi pada saat ujian tengah dan akhir semester.

Pada kesan saya, buat sebagian mahasiswa kami, kegiatan demikian tampaknya menjemukan. Namun, sejauh ini, saya belum dapat melihat cara yang lebih baik untuk mengajak teman-teman muda itu ke dalam tamasya bacaan. Beberapa cara telah saya coba pada tahun-tahun sebelumnya, semisal menugaskan mereka membaca dan mencatat di rumah, tapi hasilnya tidak menggembirakan.

Buku yang dipilih untuk dibaca pada semester ini, untuk kelas yang berlainan, adalah edisi Inggris Max Havelaar karya Multatuli terjemahan Roy Edwards, koleksi esai Sundakala karya Ayatrohaédi, dan novel Sang Raja karya Iksaka Banu. Di kelas yang membaca Multatuli, yang pesertanya lebih dari 30 orang, hanya saya satu-satunya orang yang memegang buku fisik. Adapun di kelas yang membaca Sundakala, yang pesertanya hanya tujuh orang, hanya saya yang membawa buku itu ke kelas padahal sebelumnya mereka sudah disarankan mencarinya.

Teman-teman yang tidak terbiasa membaca buku di sekolah dasar atau di rumah masa kecil, cenderung terbata-bata ketika menyuarakan teks dalam buku, yang terkecuali yang berbahasa Indonesia. Tanda baca seperti koma dan titik cenderung terlanggar. Walhasil, ketika tiba saatnya mesti berbagi pemahaman akan isi bacaan, mereka masih cenderung mengalami kesulitan.

Adapun teman-teman yang memang terbiasa mengakrabi buku, prosesnya lancar jaya. Mereka membacakan buku seperti mengayuh sepeda di jalan nan mulus dan rata. Bahkan ada di antaranya yang mampu membacakan teks cerita layaknya aktor: intonasi, langgam kalimat, dan suara antartokoh cerita enak disimak. Untuk teman-teman dari kelompok ini, pembuatan catatan bacaan pun kiranya dapat diharapkan lancar pula. Catatan mereka niscaya akan jadi landasan yang baik buat menulis ulasan buku.

Ayo, teman-teman, kita rayakan pengalaman dan kesenangan membaca – sebelum direbut robot dari diri kita.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//