Membayangkan Lupus
Saya menduga Lupus bakal bersuara. Tanpa ragu. Tanpa khawatir keliru. Tanpa takut kekuasaan yang semena-mena.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom
6 Oktober 2025
BandungBergerak – Ketika saya remaja, ibu selalu mengingatkan agar saya senantiasa menjaga diri dari pergaulan menyimpang. Menyimpang, dalam anggapannya, adalah berperilaku melanggar norma umum. Sesuatu yang punya pengaruh buruk: keluyuran malam, merokok, dan mabuk.
Saya hanya bisa manggut-manggut. Kadang bersyukur memiliki ibu yang peduli, yang selalu memberi segalanya yang ia miliki. Dia juga membuka pertanyaan jika saya melakukan sesuatu yang membuatnya kalut.
Dua dekade kemudian, ibu masih begitu. Masih sering memperingatkan saya untuk menghadang perangai semacam itu. Tapi, tiba juga giliran saya punya kewajiban menasihati anak-anak remaja supaya terhindar dari pengaruh yang bisa membuatnya terpuruk.
Sebetulnya bukan hanya saya. Banyak juga orang lain di luar sana. Dengan atau tanpa persiapan menjadi dewasa. Menjadi pihak yang tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupaya menindak tegas anak-anak yang dianggap punya tendensi menyimpang. Ancamannya bukan main-main: barak tentara.
"Anak-anak itu tidak tahu batas. Dan orang-orang dewasa tidak tahu diri," demikian Zen RS, suatu ketika.
Kenyataan ini mengingatkan saya pada tokoh fiktif era lampau. Namanya Lupus. Ia bukan anak nakal, tentu saja. Tapi juga gak baik-baik amat. Hidupnya wajar. Doyan mengunyah permen karet. Memakai jeans lusuh, dan rambut jambul, yang kerap disebut sarang burung oleh Lulu, adiknya.
Lupus adalah remaja sederhana. Ia gak begitu cerdas. Kadang usil, tapi perhatian pada teman. Ia selalu punya cara membuat tertawa, dan merenungi hidup yang kusut. Dari sekian banyak tokoh-tokoh fiksi yang populer saat ini, Lupus sedikit punya perbedaan penting. Saya kepikiran. Seandainya hadir di zaman kiwari, peran apa yang mungkin ia lakoni?
Baca Juga: CROSS BOYS DI BANDUNG ERA 1950-AN #3: Dampaknya terhadap Keseharian Masyarakat
CROSS BOYS DI BANDUNG ERA 1950-an #2: Bukan Melulu Kriminal
Ikon Orang Muda
Menghibur. Kira-kira itulah kata yang tepat untuk melukiskan kisah Lupus yang ditulis mendiang Hilman Hariwijaya. Ceritanya sedap. Sederhana. Santai. Kadang terselip momen jenaka. Kadang menggugah. Seolah mengajak berbincang pada remaja seusianya dengan penuh keakraban.
Lupus muncul di cerita pendek melalui bonus novelet Majalah Hai. Kira-kira tahun 1986. Ia lalu meledak: Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Konon, seketika itu pula terkenal. Menggugah skena literatur remaja. Saya belum mengenalinya waktu itu. Belum lahir juga. Tapi katanya, dalam waktu seminggu, 5.000 eksemplar ludes terjual. Gila.
Eka Kurniawan, penulis sohor, bilang kalau bicara soal Lupus seperti menghadapi potongan-potongan hidup. Slice of Life jika boleh meminjam terminologi remaja. Ia menambahkan, sebagai pembaca dari daerah, kisah Lupus juga menghancurkan imaji tentang kehidupan remaja Jakarta yang gemerlap. Yang berkasih-kasihan di mobil. Yang cantik dan ganteng, seperti yang sekilas-sekejap terlihat di film-film remaja maupun profil di majalah masa itu.
Lupus memang berasal dari keluarga biasa. Ayahnya meninggal sejak ia kelas satu SMA. Jadi, ia hidup bersama sang ibu Anita dan si adik Lulu. Bertiga saja. Setidaknya itu yang saya bisa tangkap. Dan karena ia biasa-biasa itulah justru yang membuatnya digemari. Sebab, terasa mewakili banyak orang seperti kita.
Dalam cerita, tertulis Lupus sering naik bus. Bahkan ada satu bab khusus saat ia menggoda perempuan manis dalam bus. Untuk kebutuhan sehari-hari pun kadang Lupus minta kasbon ke bosnya. Maklum. Ia Sandwich Generation, karenanya harus magang jadi wartawan di sebuah majalah remaja dan sering mewawancarai tokoh ternama.
Ada satu cerita yang saya sukai. Ketika suatu hari menjalankan tugas menguak peredaran barang haram, atau sebut saja: miras ilegal, ia menggalang demonstrasi besar-besaran. Bahkan para sahabat diajaknya pula mengikuti rangkaian aksi bersama Lupus.
Tapi ia juga kadang nyeleneh. Gak heroik amat lah. Peduli pada kawan-kawannya: Boim, Gusur, Anto, Aji, Fifi Alone, Adi Darwis, Gito, Iko-iko, Pepno, Happy, Uwi, dan masih banyak lagi. Ada juga beberapa gadis yang pernah menjadi kekasihnya. Yang paling ikonik dan sering muncul, Poppy (di film, ia diperankan Nurul Arifin. Astagaaa!).
Konon, dalam Boys Don't Cry, Lupus dibuat kelabakan oleh Poppy. Tapi saya belum membacanya. Paling tidak ini adalah bukti kalau ia punya kerentanan. Kerapuhan. Bahkan kadang malas. Jahil pula. Namun saya kira itu menarik. Menjadikannya begitu manusiawi, relevan dengan muda-mudi.
Jika dibandingkan dengan tokoh fiksi modern seperti Dilan misalnya, Lupus agak berbeda. Keduanya mempunyai prinsip kesantunan, tapi yang satu nggak doyan berkelahi. Jauh dari sikap romantis, meski katanya di dalam seri Boys Don't Cry dibuat begitu. Sebaliknya, ia menawarkan hidup semenjana. Bersahabat dengan banyak kalangan. Mengejar kebenaran faktual. Berdiri di sisi yang lemah. Hidupnya penuh dinamika.
Lupus melakukan investigasi. Menelusuri kiprah anak-anak muda jaman orde ba(r)u yang sering keluyuran malam. Pergi ke disko, dan terjerumus ke dalam pergaulan hidup yang kusut. Kasus itu, menurut Lupus, berakar dari kurangnya perhatian dari orang tua masing-masing.
Saya mempercayai pendapatnya. Ia merupakan perintis bukan pewaris dalam percakapan yang lagi populer sekarang. Mungkin Lupus mampu membuat banyak remaja merenungi dunia di sekitarnya.
Kemungkinan Kiprah Lupus di 2025
Kita bisa membayangkan seandainya Lupus eksis di tahun 2025. Mungkin ia masih suka memakai jaket jeans. Produktif menulis. Berisik di sosial media. Sesekali diundang ke podcast Bocor Alus Politik. Nonton Navicula. Dan tentu, masih mengunyah permen karet. Ia juga mantap memilih karier sebagai jurnalis. Merangkai utas panjang tentang isu HAM.
"September hitam. Tolak Soeharto jadi Pahlawan Nasional." Itulah barangkali salah satu komentar Lupus di media sosial, yang mengundang perhatian publik luas. Kadang viral, dikutip Fedi Nuril. Tapi mungkin tak luput dari masalah. Misalnya gara-gara cuitannya yang usil. Lantas di-cancel dan dipandang toxic dan dianggap tone-deaf.
Sekali lagi, bayangkan Lupus hadir di zaman ini. Besar kemungkinannya untuk dia doyan bikin meme tentang kekonyolan pelayan publik. Mengikuti akun Bilven Sandalista 1789. Diserang buzzer. Digunjing warga TikTok. Berinteraksi dengan Otong Koil.
Di era ini, Lupus juga bakal heran melihat betapa banyak pelajar yang ditangkap aparat keamanan. Banyak buku disita. Banyak pula konflik agraria yang mengemuka.
Apa yang akan dilakukannya?
Saya menduga Lupus bakal bersuara. Tanpa ragu. Tanpa khawatir keliru. Tanpa takut kekuasaan yang semena-mena. Berhubung ia tidak kuliah, karena keterbatasan biaya, mungkin juga ia gabung serikat pekerja. Menyentil pemengaruh yang gandrung filsafat stoik. Menulis esai bertendensi kritis, dan ikut Kelas Liar.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB