Membaca Represi dan Konsesi Melalui Tilly dan Tarrow, Cara Kekuasaan Mengelola Protes
Setiap janji reformasi harus dilihat sebagai kemungkinan konsesi, setiap tindakan represi harus dipahami sebagai bagian dari skema mempertahankan legitimasi.

Rio
Seorang guru
6 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Sejak pertama kali rakyat mengangkat suara menentang ketidakadilan, penguasa selalu punya cara untuk meredamnya. Dua instrumen klasik yang terus dipakai lintas zaman adalah represi –menekan dengan kekerasan, membungkam dengan ketakutan, dan konsesi– memberi sedikit kelonggaran agar kemarahan tidak meledak lebih besar. Strategi ini tidak muncul sebagai peristiwa terpisah, melainkan berkelindan seperti bayangan dan cahaya.
Inilah seni tua dalam mengelola protes, bagi rezim mana pun, represi saja berisiko memicu ledakan perlawanan, sementara konsesi tanpa represi dapat membuka ruang yang terlalu luas bagi rakyat untuk menuntut lebih. Karena itu, negara selalu meracik keduanya, menyajikannya sebagai resep stabilitas. Ironisnya, rakyat sering terjebak menganggap konsesi sebagai kemenangan, padahal ia sekadar jeda dalam siklus dominasi.
Baca Juga: (Cegah) Negara Menang Lagi
Elite Penguasa Mengancam Demokrasi Indonesia dan Rakyat Pekerja Memukul Balik
Recall, Mengembalikan Kedaulatan Rakyat dari Partai Politik
Indonesia dan Demokrasi yang Dijinakkan
Indonesia pasca-Reformasi adalah laboratorium hidup dari strategi ini. Mari kita lihat bagaimana protes sosial dikelola. Saat masyarakat turun menolak UU Cipta Kerja, misalnya, negara merespons dengan dua wajah. Di satu sisi, represi tampil brutal, aparat membubarkan demonstrasi dengan gas air mata, penangkapan sewenang-wenang, bahkan kriminalisasi. Namun bersamaan dengan itu, muncul konsesi –pemerintah berjanji “merevisi” pasal-pasal tertentu, membuka ruang dialog, atau menunda implementasi sebagian kebijakan. Seakan-akan ada itikad baik, padahal konsesi itu hanyalah taktik pendinginan, bukan perubahan substansial.
Jejak pola ini juga bisa dilacak lebih jauh. Orde Baru Soeharto berdiri di atas represi berdarah, dari pembantaian 1965 hingga sensor ketat terhadap buku dan film. Tetapi agar legitimasi tidak runtuh total, ia juga membuka konsesi, memberi ruang terbatas bagi pertumbuhan kelas menengah, membiarkan sebagian media “kritis tapi terkendali”, dan menyalurkan aspirasi lewat partai boneka. Bahkan pada masa kolonial Belanda, strategi yang sama berlaku, represi terhadap perlawanan bersenjata, tetapi memberi konsesi berupa pendidikan terbatas bagi kaum priayi untuk membentuk elite loyal.
Pola ini menegaskan –penguasa tahu bahwa represi murni menciptakan martir, sementara konsesi murni menciptakan ruang oposisi. Kombinasi keduanya menciptakan jebakan, gerakan tidak sepenuhnya mati, tapi juga tidak pernah cukup kuat untuk menang.
Antigone dan Ketegangan Abadi
Pola represi dan konsesi bukan penemuan modern. Jika kita mundur ke Yunani Kuno, ketegangan antara hukum negara dan suara rakyat sudah terpatri dalam sebuah karya sastra. Tragedi Antigone karya Sophocles memperlihatkan drama ini. Creon, penguasa Thebes, melarang penguburan Polyneices demi menjaga stabilitas politik. Larangan itu adalah bentuk represi, hukum negara mengatur bahkan tubuh yang sudah mati.
Namun Creon juga berusaha menampilkan diri sebagai raja yang “bijaksana”, demi menunjukkan kesan bahwa keputusannya bukan semata kekerasan, melainkan demi “kebaikan polis”. Di sinilah kita melihat cikal bakal konsesi, penguasa berusaha membungkus tindakan represi dengan klaim moral dan keteraturan sosial. Antigone menolak, menuntut hak moral yang lebih tinggi, dan tragedi pun meledak.
Sophocles menunjukkan bahwa kekuasaan selalu berada di persimpangan antara paksaan dan legitimasi. Represi menjaga ketertiban, konsesi menjaga penerimaan. Tanpa keduanya, penguasa rentan runtuh. Kisah ini bukan sekadar drama keluarga kerajaan, tetapi alegori abadi tentang bagaimana kekuasaan mengelola protes dan membungkus dominasi.
Tilly & Tarrow: Represi–Konsesi Sebagai Mekanisme Kekuasaan
Charles Tilly dan Sidney Tarrow, dalam karya Contentious Politics (2007), menegaskan bahwa negara menghadapi protes dengan seperangkat taktik yang selalu menggabungkan represi dan konsesi. Mereka menulis:
“Authorities respond to contention with a repertoire of actions that mixes repression, facilitation, and concession.”
Kutipan ini penting, sebab kata mixes mengungkap bahwa represi dan konsesi tidak pernah hadir terpisah. Keduanya hanyalah instrumen kalkulasi, negara meraciknya sesuai konteks, kadang represi lebih dominan, kadang konsesi lebih menonjol. Tetapi selalu ada kombinasi, karena itulah cara paling efektif untuk merawat kekuasaan.
Menurut Tilly dan Tarrow, represi berfungsi membatasi kapasitas gerakan, mengurangi jumlah partisipan, menebar rasa takut, dan mendeligitimasi tuntutan. Konsesi, sebaliknya, justru menjadi letak jebakan paling mematikan, konsesi sering kali bekerja lebih halus dan efektif daripada represi dalam melemahkan gerakan. Begitu sedikit saja pintu kompromi dibuka, sebagian kelompok merasa puas dan menganggap itu kemenangan. Tetapi pada saat yang sama, kelompok lain menilai konsesi itu sebagai pengkhianatan terhadap tujuan awal. Solidaritas yang tadinya kokoh perlahan retak, energi gerakan tercerai-berai, dan negara berhasil meredam tanpa perlu menambah peluru. Inilah permainan halus kekuasaan, membelah dari dalam, membuat rakyat saling curiga, sehingga perlawanan kehilangan daya guncangnya.
Represi dan Konsesi, keduanya bukan pilihan yang berdiri sendiri, melainkan strategi ganda yang saling melengkapi. Karena itu, penguasa cenderung bermain di antara dua titik ekstrem ini, menekan secukupnya agar gerakan takut, memberi secukupnya agar gerakan merasa menang. Inilah “mekanisme kekuasaan” yang memungkinkan rezim bertahan lebih lama.
Memahami dinamika ini adalah kunci membaca hubungan negara dan masyarakat. Bagi gerakan sosial, kesadaran atas pola ini penting bukan untuk sekadar mengeluh, tetapi untuk membaca realitas dengan jernih. Setiap janji reformasi harus dilihat sebagai kemungkinan konsesi, setiap tindakan represi harus dipahami sebagai bagian dari skema mempertahankan legitimasi. Dalam terang Tilly dan Tarrow, kita mengerti: “Penguasa tidak pernah kehabisan cara, tetapi pola dasarnya selalu sama –represi dan konsesi. Dua wajah yang berbeda, tetapi satu tubuh kekuasaan.”
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB