Isu Lingkungan, Anak Tiri Aktivisme Publik
Di tengah ramainya perbincangan mengenai demonstrasi melawan kezaliman penyelenggara negara, isu lingkungan terpinggirkan.

Ahmad Ahsani Taqwiim
Alumnus Teknik Lingkungan Universitas Brawijaya
6 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Beberapa bulan lalu, Kepulauan Raja Ampat sempat menjadi buah bibir warganet yang sopan santun. Pasalnya, Taman Nasional yang menjadi langganan tempat shooting video Kementerian Pariwisata tersebut dijadikan lahan tambang nikel oleh beberapa perusahaan swasta. Nahasnya, seluruh perusahaan telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan yang diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Padahal, kegiatan ini dilarang oleh Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 1 Tahun 2014).
Kasus Raja Ampat hanyalah permukaan dari gunung es dari isu lingkungan yang mengendap dalam. Terhitung jarang algoritma media sosial kita menampilkan isu seperti tergusurnya Pulau Obi, deforestasi masif di Kalimantan dan Papua untuk proyek food estate, serta masifnya pembuangan limbah secara serampangan oleh industri di sekitar kita. Pembahasan tersebut yang dalam jangka waktu paling lama seminggu sudah kita lupakan, tertimpa oleh statement pejabat asal bunyi yang memenuhi timeline, for your page, dan beranda explore kita.
Pembahasan mengenai isu ini bak bensin yang disulut api tanpa kayu bakar, meledak di awal namun sangat cepat padam, membuat isu-isu lingkungan sangat mudah terabaikan oleh fokus masyarakat Indonesia. Akibatnya, sekali kita teralihkan dengan isu lainnya, maksud dari penyuaraan isu ini akan gagal.
Ambil saja contoh PT. GAG yang baru-baru ini dengan seenaknya diberi izin oleh Kementerian ESDM untuk kembali melanjutkan aktivitas penambangan setelah ditangguhkan izinnya atas desakan masyarakat luas melalui #SaveRajaAmpat bulan Juni 2025 lalu.
Baca Juga: Dampak Buruk PLTU Batu Bara pada Lingkungan dan Manusia, Mencemari Udara dan Habitat Alami
Panggung Rakyat Soroti Kerusakan Lingkungan Hidup Jawa Barat
Seruan dari Bandung tentang Pencabutan Semua Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
Aktivis Lingkungan yang Rentan Mengalami Represi
Vian Ruma, aktivis lingkungan penolak proyek geotermal di Kabupaten Ngada, NTT, ditemukan meninggal dunia pada 5 September 2025 lalu. Vian, yang semasa hidupnya aktif menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi karena secara historis menimbulkan dampak negatif bagi warga sekitar, meninggal dengan janggal. Jenazah Vian ditemukan dengan kondisi leher tergantung tali sepatu. Namun, kedua kaki masih menyentuh lantai dengan lutut sedikit tertekuk, yang membuat kematiannya hampir mustahil disebabkan bunuh diri.
Kematian Vian merupakan gambaran betapa rentannya para aktivis pro pelestarian terhadap represi, bahkan hingga titik penghilangan nyawa. Mereka yang bersuara akan dipaksa bungkam dengan berbagai macam cara.
Daniel Fritz contoh lainnya, yang dikriminalisasi menggunakan jurus andalan kriminalisasi masyarakat innocent, UU ITE, setelah menyuarakan penolakan adanya tambak udang ilegal (saya ulangi, ilegal) di Pulau Karimun Jawa. Namun Daniel merupakan contoh beruntung dari rentetan kriminalisasi aktivis lingkungan, karena maraknya solidaritas masyarakat, yang akhirnya permohonan bandingnya diterima.
Sistem hukum kita yang menganut asas no viral no justice membuat penyelesaian kasus-kasus serupa jarang berakhir seperti kasus Daniel Frits. Warga Pulau Obi, hingga sekarang, masih kesusahan akses air bersih karena berdampingan dengan tambang nikel. Citarum masih dialiri limbah industri dari pabrik nakal sepanjang bantarannya. Dan ribuan kasus eksploitasi alam yang melanggar kaidah kelestarian lainnya pada akhirnya pihak berwajib tetap lepas tangan.
Kurang populernya isu lingkungan dibandingkan isu-isu lain yang lebih mendesak memperparah risiko represi ini. Masyarakat yang hanya melihat sejenak isu seperti ini mungkin akan memaki “jancok” saat berita seperti ini lewat di media sosialnya dan lupa dalam hitungan menit, bahkan detik. Tanpa pantauan masyarakat luas, kasus-kasus represi terkait isu lingkungan dapat sangat mudah dilupakan tanpa pengusutan lebih lanjut.
Dimana Kontribusi para Influencer?
Kontribusi influencer maupun kreator konten yang memiliki peran penting di era post-truth juga tergolong minim. Penyuaraan mereka dalam membentuk kesadaran publik mengenai isu lingkungan juga terhitung masih minim rasionya dibandingkan isu-isu lain. Para influencer lebih sering untuk menyuarakan isu-isu populer seperti kenaikan gaji DPR, brutalitas aparat, dan ketidakkompetenan penyelenggara negara lainnya.
Kreator konten yang fokus pada pembahasan persoalan lingkungan pun, sering kali berkutat pada akibat suatu polusi, bukan ke akar masalahnya. Yang mereka lakukan seperti membersihkan sungai, menanam pohon, dan tindakan restoratif lainnya. Sayangnya masih banyak yang abai terhadap, tindakan preventif di luar edukasi masyarakat sipil. Penegakan regulasi, tupoksi kementerian terkait, kebijakan yang diambil (yang ikut andil dalam kerusakan lingkungan yang tidak kalah besar) sering kali diabaikan oleh kreator konten yang memiliki pengaruh besar.
Ambil satu contoh studi kasus, Pandawara Group, salah satu grup kreator konten dengan niche lingkungan terbesar yang memiliki jutaan pengikut di sosial media Tiktok. Mereka melakukan cleanup sungai dengan konsisten mengambinghitamkan warga bantaran sungai sebagai tokoh utama pencemaran, seolah-olah hanya warga yang bertanggung jawab atas hal itu. Namun, mereka abai terhadap nihilnya peran perusahaan terhadap pengelolaan sampah kemasan yang mereka produksi. Padahal, aktivitas itu merupakan kewajiban Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas seluruh siklus sampah kemasan yang mereka produksi, termasuk pasca produksi.
Aksi Isu-isu Lingkungan Tidak Pernah Dieskalasi Nasional
Absennya kreator konten mainstream, pilihan fokus pengawalan publik yang terlalu banyak, dan represi tak berujung oleh mereka yang menyuarakan isu ini menjadi perpaduan ultimate dalam gagalnya penyuaraan isu. Penyuaraan masalah ini dalam skala nasional bisa dihitung jari dan sangat mudah terlupa dibandingkan isu-isu mendesak lainnya.
Bahkan kampanye masif tidak menjamin upaya-upaya pelestarian dianggap serius oleh para birokrat. Hutan adat di Papua yang coba dilindungi salah satunya lewat tagar #AllEyesonPapua yang cukup masif bulan Juni 2025 lalu, hingga saat ini tetap dirudapaksa untuk dikonversi menjadi kebun sawit. Saat algoritma sudah tidak berpihak pada kasus-kasus serupa, korporasi akan sangat mudah melanjutkan aktivitas eksploitasinya.
Di tengah masifnya inkompetensi berbagai institusi negara, banyak hak-hak kita yang perlu kita upayakan. Cukup lucu memang, perlu mendesak mereka agar melakukan tugasnya dengan baik bak anak belum balig yang harus disuruh-suruh terlebih dahulu untuk mengerjakan PR-nya. Isu-isu mendesak terkait hak asasi yang berdampak secara instan memang perlu dan penting untuk kita suarakan agar PR para penyelenggara negara dikerjakan.
Namun, mari kita ingat bersama, hak atas lingkungan berkualitas baik juga merupakan hak asasi dasar manusia yang tidak kalah penting dibandingkan dengan HAM lainnya. Degradasi lingkungan tempat kita tinggal juga merupakan pelanggaran HAM yang menjadi bom waktu bagi kehidupan dasar manusia.
Barangkali kita semua sudah terbiasa hidup berdampingan dengan rusaknya lingkungan. Sungai yang tak lagi bisa direnangi, udara yang tak lagi membuat lega, dan kota wisata yang tak lagi dingin dianggap sebagai suatu kewajaran. Barangkali kita semua hanya akan sadar ketika tetes air tak lagi jernih, udara tak lagi melegakan, dan anak cucu kita hanya dapat melihat keindahan alam dalam bentuk jejak digital.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB