• Opini
  • Pendidikan yang Tersandera Politik dan Ekonomi

Pendidikan yang Tersandera Politik dan Ekonomi

Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Jika fondasi ini rapuh karena dijadikan alat politik dan mesin uang, maka masa depan itu sendiri akan goyah.

Insan Faisal Ibrahim

Guru di salah satu Madrasah Swasta di Kabupaten Garut Jawa Barat

Ilustrasi. Pendidikan berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

7 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Pendidikan semestinya menjadi pilar utama dalam membentuk karakter bangsa, mencerdaskan kehidupan rakyat, dan membuka jalan bagi kemajuan suatu negara. Namun, realitas yang kita hadapi saat ini semakin jauh dari idealisme tersebut. Dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, kini tidak lagi steril dari kepentingan-kepentingan eksternal. Ia telah disusupi oleh politik dan dijadikan ladang ekonomi oleh berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan itu sendiri.

Dalam konteks politik, pendidikan sering kali dimanfaatkan sebagai alat pencitraan atau bahkan kendaraan menuju kekuasaan. Sementara dalam aspek ekonomi, sekolah dan perguruan tinggi berubah menjadi institusi yang tak ubahnya perusahaan seperti bersaing memperebutkan pasar berupa siswa dan mahasiswa demi keuntungan finansial. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, sebab ia mengaburkan esensi sejati pendidikan sebagai alat pembebasan dan pemberdayaan manusia.

Intervensi politik dalam pendidikan bukanlah hal baru. Setiap pergantian kepemimpinan, baik di tingkat daerah maupun nasional, sering kali diikuti dengan perubahan kurikulum, kebijakan, hingga struktur organisasi pendidikan. Hal ini tidak jarang lebih didasari kepentingan politik jangka pendek daripada kebutuhan pendidikan jangka panjang. Misalnya, program-program yang diluncurkan pemerintah kerap kali dirancang untuk menghasilkan citra positif bagi pemegang kekuasaan, bukan sebagai solusi konkret atas persoalan pendidikan yang ada. Contoh nyatanya adalah maraknya pembangunan fisik sekolah yang diprioritaskan hanya demi pencitraan, sementara kualitas pengajar, kesejahteraan guru, dan pengembangan kurikulum justru terabaikan. Sekolah-sekolah dibangun megah, tetapi fasilitas pendukung dan sumber daya manusia di dalamnya masih jauh dari kata layak.

Pendidikan dijadikan panggung politik untuk menampilkan kinerja pemimpin, bukan sebagai ruang pembelajaran yang substansial. Lebih jauh, dalam musim-musim politik seperti pemilu, banyak sekolah digunakan sebagai alat kampanye terselubung. Guru-guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) pun kerap mendapat tekanan politik, dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu. Hal ini menciptakan suasana pendidikan yang tidak sehat, karena nilai-nilai independensi, kebebasan berpikir, dan objektivitas justru dikorbankan demi kepentingan politik sesaat.

Selain politisasi, dunia pendidikan juga mengalami komersialisasi yang semakin vulgar. Sekolah, terutama swasta, kini bersaing layaknya korporasi untuk menarik sebanyak mungkin siswa. Iklan-iklan pendidikan bertebaran di media sosial dan baliho, menonjolkan prestasi semu, fasilitas mewah, dan akreditasi sebagai nilai jual. Tidak sedikit yang menjanjikan jaminan masuk universitas ternama atau karier cemerlang setelah lulus demi menarik minat orang tua siswa. Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan telah dikomodifikasi atau diubah menjadi produk dagangan yang diperjualbelikan. Biaya masuk sekolah bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, seolah-olah pendidikan hanya pantas dinikmati oleh kalangan berada. Kesenjangan pun kian lebar. Siswa dari keluarga miskin dipaksa menerima pendidikan seadanya di sekolah-sekolah yang kekurangan dana dan tenaga pengajar, sementara anak-anak dari keluarga kaya dimanjakan dengan teknologi mutakhir dan kurikulum internasional.

Satu hal yang lebih menyedihkan, banyak institusi pendidikan tinggi juga terjebak dalam logika industri. Mahasiswa dianggap sebagai konsumen, dan institusi sebagai penyedia layanan. Bukan hal asing lagi jika universitas berlomba menaikkan biaya kuliah, membebankan berbagai pungutan yang tak jelas dasar hukumnya, atau membuka program-program studi yang lebih menguntungkan secara finansial walau tidak relevan secara keilmuan. Pendidikan tinggi pun kehilangan fungsi kritisnya; ia tidak lagi menjadi tempat pembentukan intelektual yang bebas dan berpikir mandiri, melainkan pabrik gelar untuk memenuhi pasar kerja.

Baca Juga: Para Guru di Garut Bersuara Soal Keadilan Akses Pendidikan
Meretas Bias Pendidikan Melalui Integrasi Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Majemuk
Mendengar Kritik Para Pelajar Bandung terhadap Kebijakan Pendidikan Gubernur Dedi Mulyadi

Berdampak pada Sistem Pendidikan

Politik dan ekonomi yang merasuki pendidikan telah membawa dampak serius terhadap kualitas dan nilai-nilai yang dibangun dalam sistem pendidikan itu sendiri. Pertama, terjadi degradasi nilai. Pendidikan tidak lagi mendidik manusia seutuhnya, melainkan hanya mencetak individu yang kompeten secara teknis namun miskin empati, moralitas, dan tanggung jawab sosial. Kedua, pendidikan kehilangan tujuannya sebagai ruang pembebasan. Sebaliknya, ia menjadi alat pelanggeng status quo dan ketimpangan sosial.

Ketiga, dalam sistem yang terlalu kompetitif dan berorientasi pada pasar, siswa dijadikan objek dari perlombaan tidak sehat. Orang tua terjebak dalam euforia memilih sekolah terbaik, bukan karena sesuai minat dan kebutuhan anak, melainkan karena gengsi dan reputasi. Anak-anak pun dipaksa menanggung tekanan berlebihan sejak usia dini. Mereka didorong bukan untuk belajar dengan sukacita, tapi untuk menang, unggul, dan menjadi nomor satu.

Meski situasi tampak suram, bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Justru dalam kondisi inilah kita harus kembali menggugat arah pendidikan nasional. Pertama-tama, perlu ada keberanian politik dari pemangku kebijakan untuk memisahkan secara tegas antara kepentingan politik dan kepentingan pendidikan. Pendidikan harus dikelola secara profesional, bukan sebagai instrumen kekuasaan. Kedua, negara harus menjamin akses pendidikan berkualitas bagi semua warga negara tanpa diskriminasi ekonomi. Ini bisa dimulai dari pembenahan sistem pendanaan pendidikan, penguatan sekolah negeri, dan kontrol ketat terhadap lembaga pendidikan swasta yang mengejar keuntungan semata. Transparansi dan akuntabilitas juga penting agar anggaran pendidikan tidak lagi menjadi bancakan elite atau diselewengkan. Ketiga, perlu ada reorientasi nilai dalam pendidikan. Sekolah dan kampus harus menjadi ruang pembentukan karakter, pembelajaran kolaboratif, dan pengembangan empati sosial. Pendidikan harus mengajarkan keberagaman, kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian berpikir kritis, bukan sekadar mengejar nilai, ranking, atau akreditasi.

Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Jika fondasi ini rapuh karena dijadikan alat politik dan mesin uang, maka masa depan itu sendiri akan goyah. Sudah saatnya kita semua, sebagai masyarakat, orang tua, pendidik, dan pemimpin, mengembalikan roh pendidikan kepada tempat yang semestinya sebagai jalan menuju kemerdekaan berpikir, keadilan sosial, dan kemanusiaan yang seutuhnya. Kita tidak boleh diam. Sebab jika kita membiarkan pendidikan dikuasai oleh politik dan ekonomi, maka kita sedang menanam benih kehancuran bangsa sendiri.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//