• Opini
  • Meretas Bias Pendidikan Melalui Integrasi Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Majemuk

Meretas Bias Pendidikan Melalui Integrasi Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Majemuk

Terdapat sembilan tipe kecerdasan manusia. Di sistem pendidikan Indonesia baru mengakomodasi sebagian tipe saja dan tidak dikembangkan secara tepat.

Freya Kalyca Handayono

Penulis lepas dengan topik seni, sains, filsafat, psikologi, dan sastra.

Jenis-jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. (Sumber: Penulis)

26 April 2025


BandungBergerak.idBagaimana bisa seorang anak dinilai bodoh hanya karena tidak berbakat dalam menghafal? Sistem pendidikan saat ini, memberikan standarisasi kaku terhadap kecerdasan siswa yang bersifat unik. Akibatnya, banyak siswa yang kesulitan mengembangkan potensinya, bahkan dicap kurang cerdas. Padahal, setiap anak memiliki kemampuan kognitif yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang dinamis untuk mengakomodasi potensi mereka. 

Menurut Teori Kecerdasan Majemuk oleh Howard Gardner, terdapat sembilan tipe kecerdasan manusia, yaitu kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan eksistensial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan linguistik, dan kecerdasan naturalistik. Akan tetapi, sistem pendidikan saat ini baru mengakomodasi sebagian tipe saja, dengan kecerdasan logis-matematis dan linguistik sebagai fokus utamanya. Ironisnya, kedua kecerdasan ini malah tidak dikembangkan secara tepat.

Pengajaran bahasa yang terlalu teoritis justru bertentangan dengan sifat bahasa sebagai keterampilan praktis. Sementara itu, pengajaran MIPA pun terlalu menekankan hafalan, alih-alih melatih logika dan kreativitas. Alhasil, siswa kesulitan memahami konsep secara mendalam dan menerapkannya secara praktis. Bahkan, hasil survei PISA 2024 menyebutkan bahwa hampir tidak ada anak usia 15 tahun di Indonesia yang memperoleh level tinggi dalam penilaian matematika (rata-rata OECD: 9 persen). Selain itu, berdasarkan EF EPI 2024, Indonesia berada di peringkat 80 dari 116 negara dalam hal kemampuan berbahasa Inggris, termasuk dalam kategori rendah. 

Untuk mengatasi keterbatasan sistem saat ini, metode pembelajaran yang fleksibel dan komprehensif perlu diwujudkan, salah satunya dengan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan. Sebagai produk Revolusi Industri 4.0, kecerdasan buatan menghadirkan solusi atas permasalahan pendidikan saat ini melalui keunggulannya dalam analisis data, personalisasi, dan pengambilan keputusan yang objektif. Hal ini berpotensi merevolusi sistem pendidikan dengan menciptakan metode pembelajaran yang lebih adaptif dan efektif. 

Kecerdasan buatan dalam pendidikan dapat berperan sebagai partner belajar siswa sekaligus mentor mengajar guru. Berbagai jenis teknologi kecerdasan buatan, kini telah dikembangkan dan mulai diterapkan dalam dunia pendidikan. Teknologi generative Artificial intelligence (AI) memungkinkan penyusunan metode pembelajaran yang adaptif, interaktif, dan inklusif, menyesuaikan gaya belajar masing-masing siswa. Chatbot berbasis diskusi interaktif berperan sebagai learning partner yang responsif, mendampingi di dalam maupun di luar waktu pembelajaran. Learning analytics AI dapat secara realtime menganalisis kebiasaan, progres, dan kebutuhan belajar siswa melalui interaksi digital dan catatan pengajaran guru. 

Sejauh ini, belum ditemukan sekolah formal yang secara eksplisit mengintegrasikan Teori Kecerdasan Majemuk Howard Gardner dan teknologi kecerdasan buatan sebagai kesatuan dalam sistem pendidikan. Namun, penggunaan teknologi kecerdasan buatan jelas berpotensi memperkuat pendekatan berbasis kecerdasan majemuk dengan menghadirkan personalisasi sesuai profil kognitif siswa. 

Saat ini, kecerdasan buatan sudah mulai dimanfaatkan oleh berbagai institusi di seluruh dunia. Pada tahun 2024, Arizona State University secara resmi mengumumkan proyek kolaborasinya dengan OpenAI untuk memanfaatkan ChatGPT dalam menghasilkan konten pembelajaran yang interaktif. Di Spanyol, University of Murcia telah memperkenalkan chatbot bernama LOLA yang mampu menjawab ribuan pertanyaan akademik dan administratif dengan akurasi tinggi (Portal de Murcia, 2018).

Sementara itu, mengutip dari jurnal ilmiah Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Darul Ulum, SMP Yayasan Malik Ibrahim Gresik telah menerapkan pendekatan berbasis Teori Kecerdasan Majemuk. Mereka mengharuskan siswanya mengikuti proses Multiple Intelligence Research yang hasilnya akan digunakan guru untuk menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai kecenderungan belajar tiap siswa. Sekolah ini berhasil menjadi sekolah unggul, meski tanpa proses seleksi akademik seperti di sekolah lain.

Sebagai respons terhadap perkembangan tersebut, skema berikut merepresentasikan model konseptual yang perlu dieksplorasi dan dikembangkan untuk merancang metode pembelajaran yang adaptif berdasarkan Teori Kecerdasan Majemuk dan teknologi kecerdasan buatan. Pada model ini, siswa akan mendapatkan proyek individu dan kelompok. Guru akan menilai hasil proyek, dengan kecerdasan buatan sebagai partner pendukung dalam analisis dan pengolahan data. Data yang telah diolah akan menjadi pedoman adaptasi metode pembelajaran.

Dalam proyek individu, siswa akan diberi soal. Mereka dibebaskan untuk menyesuaikan pendekatan masalah dengan gaya belajar mereka atau mengembangkan gaya belajar lain selain tipe dominan mereka. Bayangkan, dua siswa mengerjakan soal yang sama dengan jawaban yang sama benarnya, namun mereka memiliki perbedaan cara penyelesaian. Siswa pertama dengan penjabaran logis yang khas, sedangkan siswa kedua dengan visualisasi yang atraktif. Berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang, antartipe kecerdasan tidaklah saling bertentangan, justru seharusnya mereka saling melengkapi. Dengan ini, siswa tidak hanya mengembangkan potensi tipe kecerdasan dominan mereka secara spesifik, namun juga mengembangkan tipe kecerdasan lain secara lebih general. Diharapkan, melalui pendekatan ini, siswa pun dilatih untuk dapat beradaptasi pada situasi atau kelompok di mana mereka tidak bisa selalu mengandalkan tipe kecerdasan mereka yang dominan.

Melalui proyek kelompok, pada skenario pertama, siswa dapat dikelompokkan sesuai dengan tipe kecerdasan mereka. Hal ini dapat membantu siswa mengeksplorasi kompetensi mereka dan melatih mereka untuk proyek kolaborasi yang sinergis. Sedangkan pada skenario kedua, kelompok dibuat secara acak, tidak didasarkan pada tipe kecerdasannya untuk melatih kemampuan siswa dalam beradaptasi dan berkolaborasi di lingkungan masyarakat yang lebih heterogen. Kombinasi dua skenario ini, tidak hanya mengasah kompetensi siswa, tetapi juga mengorientasikan siswa terhadap dinamika masyarakat yang kompleks.

Dibandingkan dengan sistem pendidikan konvensional, sistem berbasis Teori Kecerdasan Majemuk dan kecerdasan buatan menawarkan pendekatan yang lebih personal dan fleksibel. Keunikan siswa tidak lagi diseragamkan. Penilaian tidak lagi didasarkan hanya pada teori dan sistem hafalan yang kaku, melainkan pada keterlibatan praktis dan nyata terhadap proses belajarnya sehingganya pengalaman tersebut dapat diadaptasikan secara langsung dalam kehidupan nyata.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mungkinkah Kecerdasan Buatan akan Menggantikan Peran Akuntan?
BERKAWAN KECERDASAN BUATAN: AI di Mata Jurnalis
Pemanfaatan Kecerdasan Buatan untuk Manajemen Treasury

Model konseptual sistem pembelajaran adaptif. (Sumber: Penulis)
Model konseptual sistem pembelajaran adaptif. (Sumber: Penulis)

Kemampuan Beradaptasi

Dalam praktiknya, ketimpangan akses pendidikan dan faktor keamanan data menjadi dilema dalam pengembangan sistem berbasis kecerdasan buatan ini. Oleh karena itu, dibutuhkan platform yang komprehensif guna memastikan efektivitas dan keamanannya. Salah satu langkah strategis yang dapat direalisasikan adalah kolaborasi dengan perusahaan teknologi global (seperti OpenAI dan Meta) dalam pembuatan model kecerdasan buatan khusus pendidikan yang dilengkapi sistem keamanan yang tangguh.

Namun, integrasi teknologi kecerdasan buatan tak bisa dilepaskan dari kesiapan sumber daya manusia. Pada tahun 2024, Indeks Masyarakat Digital Indonesia berada di angka 43,34, meningkat dari tahun sebelumnya, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia dan jauh tertinggal dari Singapura. Hal ini bisa menjadi tantangan besar, terlebih dengan peningkatan angka kejahatan siber seiring perkembangan teknologi. Jika masyarakat masih belum siap beradaptasi, program pelatihan teknologi menjadi sebuah keharusan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama dalam lingkup akademis untuk mewujudkan transformasi pendidikan.

Di sisi lain, hasil analisis kecerdasan buatan tidak selalu akurat dan masih berisiko mengalami bias, khususnya dalam menganalisis gaya belajar anak. Oleh karena itu, orang tua dan guru memiliki peran yang krusial sebagai fasilitator dan interpretator. Mereka memastikan bahwa kebutuhan belajar tiap anak tak hanya direalisasikan secara valid, namun juga relevan, inklusif, dan bermakna.

“Dari pohon mangga jangan diminta buah rambutan, tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang manis” (Engku Sjafei, dalam Navis, 1996:94). Sudah saatnya kita merefleksikan kembali apa tujuan sebenarnya dari pendidikan di sekolah. Apakah pendidikan hanya difungsikan untuk memfasilitasi mereka yang dianggap ‘pintar’ atau justru seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali? Sudahkah sistem pendidikan kita sesuai dengan sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”? Kita tak bisa menggunakan tolok ukur tunggal dan memukul rata kemampuan setiap orang, meminggirkan mereka yang ‘biasa saja’. Sistem pendidikan yang adaptif tak bisa hanya menjadi wacana, melainkan perubahan yang kita butuhkan untuk mewujudkan sistem yang lebih adil dan manusiawi. Kini, sudah siapkah kita untuk bertransformasi?

*Kawan-kawan yang baik silakan menyimak artikel lainnya tentang kecerdasan buatan 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//