BERKAWAN KECERDASAN BUATAN: AI di Mata Jurnalis
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) mulai mempengaruhi kerja-kerja jurnalis. Bagaimana pendapat para jurnalis di Bandung?
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 Januari 2025
BandungBergerak.id - Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan lebih tepat berfungsi sebagai alat bantu, bukan pengganti jurnalis sepenuhnya. Pengakuan jujur itu dijawab oleh program komputer yang dikembangkan oleh OpenAI sejak tahun 2020 yaitu Chat Generative Pre-trained Transformer (ChatGPT).
Di Bandung, sejumlah jurnalis juga memanfaatkan mesin kecerdasan buatan ini sebagian alat bantu kerja mereka, seperti membantu peliputan serta panduan mengolah judul berita dan transkripsi.
Didik, jurnalis yang menjadi kontributor di media nasional melihat AI hanya sebagai alat bantu, meski ia jarang menggunakannya untuk kepentingan menulis berita. Ia pernah memanfaatkan AI untuk menentukan sudut pandang dan judul berita.
“Seringnya, dipakai buat nyari sumber-sumber penelitian yang diperlukan,” kata Dikdik, kepada BandungBergerak, Senin, 20 Januari 2025.
Dikdik tidak memungkiri, teknologi kecerdasan buatan ini membantu pekerjaan lebih mudah dan praktis, misalnya tools untuk traskripsi. Namun, di lain sisi ia memiliki kekhawatiran di tengah kemudahan yang ditawarkan mesin kecerdasan buatan malah membuatnya malas, serba instan, dan cepat.
Pengakuan yang sama dituturkan juga oleh jurnalis lainnya, Robby yang menjelaskan bahwa kecerdasan buatan tidak banyak membantu secara signifikan dalam kerja-kerja jurnalistik.
“Engga signifikan amat sebenarnya. Sebab saya juga jarang pake AI buat kerja (liputan),” kata Robby.
Robby pernah memakai ChatGPT untuk mencari rekomendasi judul yang terkesan sedap dibaca. Itu pun jika isi kepalanya sedang mentok.
Robby meyakini kerja jurnalistik tidak bisa diambil oleh kecerdasan buatan. Menurutnya, AI hanya bisa menghimpun berita dari berita yang ada di jagat internet, untuk melakukan verifikasi seperti kerja liputan yang membutuhkan konfirmasi ke narasumber, belum bisa dilakukan AI.
“Eksistensi wartawan aku pikir belum terancam AI. Gak tahu beberapa tahun ke depan,” sebutnya.
Lain Dikdik dan Robby, Nappisah, jurnalis perempuan asal Bandung ini menyakini kecerdasan buatan sebagai tantangan untuk terus belajar. Meski AI seperti ChatGPT memberikan data untuk mempermudah kerja jurnalistik, tetapi jurnalis tetap harus skeptis akan kebenaran data yang disodorkan AI.
“Meskipun nyawa AI itu di data, tapi mereka gak bisa verifikasi (robot), banyak kok analisa mereka yang keliru dan jurnalis jangan terlalu mengandalkan AI. Jadi harus cari tahu lagi, konfirmasi lagi,” aku Nappisah.
Alih-alih kecerdasan buatan membantu jurnalis dalam bekerja, justru kecerdasan buatan juga menghimpun data dengan cara mengambil sumber informasi dari produk jurnalis, yakni konten berita.
Nappisah menyebut, AI seperti chatbot bisa membantu untuk mengerjakan produk jurnalistik, memangkas waktu untuk melihat referensi berita. Namun, tetap untuk tidak terlena pada kecerdasan buatan.
Nappisah kerap kali memanfaatkan AI sebagai alat bantu seperti menggunakan program Pinpoint Google untuk melakukan transkrip agar penulisan berita tidak memakan waktu lama saat dikejar tenggat.
“Aku pakai ini selain bisa transkrip panjang (30 menit), bisa transkrip video juga dan asal rekamannya jelas. Pas didengarkan ulang gak banyak revisi penulisan, tapi harus jeli. Karena biasanya ada aja yang salah kata/makna. Lumayan efisien dari segi waktu apalagi dikejar deadline,” imbuhnya.
Penjelasan mengenai jurnalis dan pemanfaatan AI ditulis juga dalam artikel “Persepsi Jurnalis Tentang Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) Dalam Pembuatan Berita Studi Kasus Jurnalis Lokal Surakarta’ yang ditulis Sabila Soraya dan Sri Hastjarjo di Jurnal Komunikasi Massa Vol. 17 no.12 Desember 2024. Disebutkan, tools AI seperti program transkrip dan chatbot membantu untuk meningkatkan efisiensi kerja jurnalis, pengetikan berita menjadi cepat, serta memudahkan data sekunder.
“AI membantu mengolah audio wawancara, menyediakan riset mendalam, memberikan ide headline yang menarik, serta memantau tren berita online, sehingga media tetap terus berpacu dengan topik yang relevan,” tulis Sabila Soraya dan Sri Hastjarjo.
Jurnalis juga meyakini AI belum bisa mampu menjaga Kode Etik Jurnalistik. AI dipercaya tidak akan melanggar kode etik apabila manusia tetap memegang kendali penuh dan menggunakan AI hanya sebagai alat bantu.
“AI tidak bisa sepenuhnya memahami prinsip-prinsip etika tersebut. Jurnalis juga mengusulkan pembaruan peraturan pers di Indonesia untuk mengakomodasi penggunaan AI,” jelas Sabila Soraya dan Sri Hastjarjo.
Baca Juga: Kemajuan Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Editor Buku
Kecerdasan Buatan, Sebuah Ancaman bagi Umat Manusia?
https://bandungbergerak.id/article/detail/15624/peluang-dan-tantangan-kecerdasan-buatan-ai-sebagai-teknologi-masa-depan
Tantangan Kecerdasan Buatan Bagi Insan Pers
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Artificial Intelligence (AI) dan Organisasi Berita di Indonesia: Pemetaan Pemanfaatan dan Rekomendasi untuk Stakeholder Media (2024) menjelaskan, teknologi baru AI dimungkinkan mengganti tenaga jurnalis manusia. Selama ini penggunaan aplikasi AI menggantikan fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh jurnalis mulai proses transkripsi, riset, dan pencarian informasi serta lain-lainnya.
Kehadiran teknologi AI memunculkan kekhawatiran menggeser tenaga manusia dalam memproduksi produk-produk jurnalistik. “Ini akan makin memperparah kondisi keamanan kerja jurnalis yang selama ini sudah mengalami tekanan dari kondisi bisnis media yang babak belur oleh disrupsi digital,” kata AJI, diakses Rabu, 21 Januari 2025.
AJI menilai pemanfaatan teknologi baru di media dikhawatirkan menghasilkan bias dari data dan informasi yang dihasilkan. Ketergantungan terhadap perangkat AI yang bias membatasi pada lanskap informasi yang seharusnya inklusif bagi publik. Bias informasi sendiri bersifat stereotip terhadap seseorang baik suku, ras, jenis kelamin, dan bahasa.
“Sistem AI dapat salah mengklasifikasikan konten, yang menyebabkan efek buruk pada kebebasan berekspresi dan berpendapat dari kelompok atau individu minoritas,” beber AJI.
Oleh sebab itu, dalam memanfaatkan AI untuk memproduksi karya jurnalistik, AJI menegaskan jurnalis dan perusahaan media harus patuh pada Kode Etik Jurnalistik, tidak melanggar aturan dan ketentuan lainnya.
“Jurnalis bersikap skeptis terhadap data dan informasi yang dihasilkan oleh AI agar terhindar dari bias tertentu, termasuk stigma terhadap kelompok masyarakat marginal, ekonomi lemah, agama, suku atau ras tertentu,” papar AJI.
AJI juga mengingatkan Dewan Pers agar meningkatkan perusahaan pers dan jurnalis dalam memanfaatkan AI untuk selalu berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik serta sesuai undang-undang, dan ketentuan perundang-undangan.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Kecerdasan Buatan