• Narasi
  • Album Dalam Dinamika: Musik, Kehidupan, dan Perubahan Tiga Manusia Urban

Album Dalam Dinamika: Musik, Kehidupan, dan Perubahan Tiga Manusia Urban

Perunggu di album terbarunya, Dalam Dinamika, menanggalkan identitas lama sebagai band “pulang kantor”. Memotret manusia urban dengan segala tarik-ulurnya.

Dimas Sopian Pratama

Freelance social media worker. Tertarik pada topik terkait musik, pop culture, human interest, dan berbagai fenomena seputar kehidupan urban.

Hearing Party Merunggu Discord Server, sesi dengar perdana album Dalam Dinamika. (Foto: Dokumentasi Dimas Sopian Pratama)

8 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Lebih dari sebulan sejak Dalam Dinamika dirilis, album kedua Perunggu ini akhirnya menemukan tempatnya di telinga saya. Sejak pertama, lagu-lagu di dalamnya memang terasa familiar, mengingatkan pada rilisan pertama mereka, Memorandum –seakan musiknya menarik kembali potongan-potongan memori lama yang telah berlalu, namun dengan nafas baru.

Naha si Perunggu ngenaheun, nya? Terus, apa si Perunggu cuma relate buat orang Bandung yang tinggal di Jakarta?” Celetukan ringan seorang teman yang mampir beberapa bulan lalu, jauh sebelum Dalam Dinamika dirilis, justru malah betah berenang di kepala.

Terus terang, saya sempat ragu untuk menulis tentang Perunggu. Rasanya agak janggal, mengingat saya bukan orang yang akrab dengan ulasan musik.

Meski begitu, saya masih ingat betul saat Memorandum dirilis pada 2022. Album tersebut sempat ramai diperbincangkan di Twitter (sebelum jadi X), sampai akhirnya iseng buat dengerin. Saat itu, saya masih berstatus mahasiswa di sebuah kampus kawasan Tamansari, Bandung. Anehnya, yang paling membekas justru pengalaman menikmati lagu-lagunya lewat earphone butut yang suaranya mendem sebelah, dan itu pun lewat platform streaming gratis. Dari semua trek, Ini Abadi langsung memikat saya. Ada sesuatu dalam cara mereka merangkul Bandung lewat lagu itu –hangat dan membekas.

Layaknya Perunggu yang jatuh hati pada Bandung, rasanya sulit menemukan alasan untuk tidak menyukai musik mereka.

Baca Juga: Mendengarkan Pembelaan pada Tanah dan Petani di Album #3 Mukti Mukti
Album Untuk Pram, Lagu-lagu Balada Abah Omtris yang Terinspirasi Karya Pramoedya Ananta Toer
Album Barisan Nisan Homicide Lahir Kembali, Menagih Reformasi yang Mati Suri

Babak Baru: Dari Band Pulang Kantor ke Dalam Dinamika

Dari nostalgia itu, wajar rasanya kalau saya menunggu seperti apa warna baru Perunggu di album terbarunya. Kini, Perunggu sudah menanggalkan identitas lama sebagai band “pulang kantor”. Setelah resmi lepas dari rutinitas 9-to-5, para bapak-bapak baru resign ini menyalurkan musik dengan cara yang lebih lepas. Dalam Dinamika, lahir dari tema perubahan yang terus bergerak –inconstant changes emotion– menangkap fluktuasi emosi sekaligus pengalaman hidup masing-masing personel.

Proses kreatif kali ini lebih santai dan lepas dibanding Memorandum. Ildo ikut menulis lirik, misalnya pada lagu Berita Buruk, sementara di studio, ide-ide digarap bersama-sama dengan Petra Sihombing dan Enrico Octaviano, menambah warna di luar formasi utama Perunggu.

Album Dalam Dinamika menghadirkan sembilan lagu ekspresif, termasuk tiga single awal: Berhasil, Tapi, dan Pikiran yang Matang, sejajar dengan nomor lain seperti Aku Ada Untukmu dan Abu. Dirilis 22 Agustus 2025 lewat Podium Records, album ini menandai babak baru yang memperlihatkan eksplorasi musik Perunggu yang lebih beragam.

Beberapa jam sebelum rilis, lebih dari 300 orang hadir di hearing party Merunggu Discord Server, berkumpul untuk sesi dengar perdana album Dalam Dinamika. Di server Roblox, ruang virtual disulap menjadi panggung kecil –saya berkesempatan ikut masuk, dan rasanya seperti ikut merasakan energi musik Perunggu bersama sekumpulan orang yang sama-sama menantikan karya ini. Momen itu terasa seperti keberuntungan kecil –dan tentu akan lebih membahagiakan lagi jika nanti benar-benar mendapat kesempatan hadir di pertunjukan Dalam Dinamika.

Sebuah perayaan album kedua Perunggu akan berlangsung pada 22 November 2025 di Bali United Studio, Jakarta Barat.

Di Tengah Kota dan Nada: Narasi Hidup Perunggu

Lewat Dalam Dinamika, Perunggu bukan cuma memotret dirinya, tapi juga memotret kita –manusia urban dengan segala tarik-ulurnya. Nyatanya hidup urban sering digambarkan klise: kota selalu sibuk, musik selalu keren, hidup selalu gampang. Tapi Perunggu hadir berbeda. Perspektif reflektif mereka menyingkap keseharian kota –ambisi dan kecepatan berpadu dengan jeda dan ruang hening– dengan cara yang terasa hidup dan empatik. Musik mereka tidak sekadar bercerita tentang kota, tapi juga menyoroti tempat-tempat yang membentuk pengalaman itu, seperti Bandung, yang selalu menjadi latar narasi mereka.

Sebagai contoh, Ini Abadi (Memorandum), album pertama mereka, menangkap Bandung dengan hangat. Maul menulis:

“Lihatlah semua sudut itu, Bandung kan selalu memelukmu.”

Sementara itu, trek pertama album terbaru bertajuk Tapi, membawa nuansa berbeda. Keakraban Bandung yang dulu terasa memeluk kini membawa kita terlempar ke Jakarta. Pada trek ini, Perunggu menampilkan keseimbangan antara harapan dan tekanan yang harus dijalani seorang pekerja urban.

“Besok lusa aku ke Jakarta,
Memulai lagi semuanya di sana,
Kakak bilang siap-siap saja,
Membatin kuingin semua batal juga.”

Perjalanan kemudian berlanjut ke Amalan Baik, yang menghadirkan ketegangan antara keinginan dan keraguan atas pilihan hidup

"Lebih takut gagal di Jakarta,
Dibandingkan dengan ku takut masuk neraka,
Dan makin ke sini semakin sadari,
Neraka itu adalah kota ini."

“Jakarta bukan untuk pemula.” Sepertinya memang benar adanya. Setiap kata seperti menyalakan lampu sorot pada tekanan kota.

Beranjak ke nomor berikutnya, Gemilang berhasil menjadi favorit saya pribadi pada album mereka kali ini. Bagian lagu menghadirkan nuansa yang lebih cerah, dengan melodi yang seakan membingkai janji pada diri sendiri, tekad untuk terus melangkah, dan kepercayaan pada orang-orang terdekat.

Ketiga trek tersebut membentuk kurva emosional yang memandu pendengar melalui kota, pengalaman, dan diri sendiri.

Menariknya, tiga trek awal –Tapi, Amalan Baik, dan Gemilang– memiliki benang merah yang sama: doa dan harapan. Dalam sebuah press conference untuk album kedua Perunggu, Dalam Dinamika, Perunggu mengaku baru menyadari saat menyusun tracklist bahwa “doa” selalu menjadi inti dari lirik-liriknya.

Sama seperti Perunggu, sebagai seseorang yang lahir dan besar di Bandung, lalu kini mencoba peruntungan di Jakarta, rasanya sah-sah saja kalau saya “memaknai” karya mereka secara lebih personal.

Layaknya lagu tentang kota, Bandung adalah kisah yang tak pernah selesai, dituturkan ulang dengan nada berbeda oleh tiap orang di dalamnya. Cerita tentang kota sering terdengar hangat –membuat kita membayangkan hidup yang lebih manis: pekerja kantoran yang tampak mapan, pasangan bergandengan di pusat kota, atau mobilitas yang seakan bebas hambatan. Padahal, kota juga punya wajah lain: gedung tumbuh lebih cepat daripada pohon, kendaraan menumpuk, dan lapangan padel beranak-pinak lebih banyak dibanding ruang hijau.

Di titik itulah Perunggu terasa relevan. Mereka mengingatkan bahwa Bandung selalu punya wajah yang tak tergantikan. Kota superkreatif yang kerap dijuluki “bumi fashundan” oleh anak mudanya –panggung tempat beragam gaya bertabrakan sekaligus berpadu. Laboratorium dengan segala eksperimen nyeleneh: seperti rebusan kerupuk mentah dicampur matcha yang disulap jadi kuliner “viral”, hingga seni navigasi “jalan tikus” sebagai cara warga lokal untuk melipat jarak lewat lorong-lorong rahasia kota.

Di pusatnya, Asia Afrika berdiri sebagai titik nol –penanda sejarah Bandung yang terlalu panjang untuk sekadar disebut destinasi turis. Kutipan “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum” karya M. A.W. Brouwer, yang diabadikan di dinding bawah jembatan penyeberangan Jalan Asia Afrika, selalu muncul di benak saya setiap kali mengingat Bandung. Tempat yang biasanya jadi spot wisatawan untuk berfoto, justru membuat saya enggan hanya sekadar untuk melewatinya; sebagai orang yang lahir dan besar disana, mengakui ketertarikan pada Bandung terasa klise.

Mungkin di sinilah musik Perunggu bekerja: seperti pelukan yang hangat dan menenangkan di tengah hiruk-pikuk kota. Romantisasi Bandung dalam lirik mereka muncul dari keseharian sederhana –pekerja yang harus bolak-balik Bandung– Jakarta, hanya untuk sekedar berharap bisa segera keluar dari siklus itu dan hidup berkecukupan. Setiap sudut kota terasa akrab lewat lirik mereka, dari jalan-jalan yang menarik saya kembali berkeliling, hingga ibu yang selalu menunggu di rumah.

Tapi persetan dengan romantisasi berlebihan –Bandung memang seindah itu.

Jika Bandung diberi nyawa, siapa yang menjamin kita tidak jatuh cinta?

Perunggu Roblox Server, ruang virtual sesi dengar perdana album Dalam Dinamika. (Foto: Dokumentasi Dimas Sopian Pratama)
Perunggu Roblox Server, ruang virtual sesi dengar perdana album Dalam Dinamika. (Foto: Dokumentasi Dimas Sopian Pratama)

Berita Buruk: Bayangan Kelam di Tengah Dinamika

Trek Berita Buruk menarik perhatian sebagai lagu paling gelap pada album Dalam Dinamika. Pertama –sebagai kejutan– lagu ini dinyanyikan oleh Ildo, bukan Maul, karena vokal & liriknya lahir dari pengalaman pribadi Ildo sendiri, yaitu: kehilangan orang terdekat.

Dalam percakapan di podcast Seminggu, Perunggu menjelaskan bahwa lagu-lagu di Dalam Dinamika terbagi ke dua poros: “spektrum kanan” dan “spektrum kiri”. Spektrum kanan masih dekat dengan warna Memorandum –musik rock energik dengan lirik personal tentang hidup, kehilangan, rindu, dan hubungan dengan Sang Pencipta. Sementara spektrum kiri menjadi ruang eksplorasi, menapaki teritori paling sunyi seperti yang terlihat pada Berita Buruk.

Di sinilah Berita Buruk benar-benar berbeda. Vokal berat Ildo berpadu dengan suasana muram yang melingkupi, hingga aransemen eksperimental yang seperti ditarik langusng dari ruang gelap. Hasilnya adalah lanskap musikal baru bagi Perunggu, yang berbeda dari karya-karya mereka sebelumnya, sekaligus membawa pendengar langsung ke inti rasa kehilangan yang menjadi fokus lagu ini.

Menyusuri Emosi Terakhir

Pikiran yang Matang dan Biarkan Ia Tumbuh menjadi dua nomor yang (bagi saya) sepatutnya selalu diputar secara berurutan. Yang pertama terasa seperti catatan tentang betapa melelahkannya banjir informasi yang tak bisa kita kendalikan. Sementara yang kedua bergerak dari tempo lambat ke cepat—seperti pijakan ragu di anak tangga yang akhirnya menjadi pasti. Keduanya menghadirkan narasi kecil tentang menjaga kepala tetap jernih di tengah dunia yang riuh.

Lalu Aku Ada Untukmu terasa seperti perjalanan singkat ke masa kecil: penuh kenangan, tawa, dan kecerobohan manis. Musiknya hangat dan anthemic, mengingatkan pada era emas band-band pop awal 2000-an. Tak heran bila banyak yang menyamakan warna musik Perunggu dengan Sheila on 7.

Track ini mirip Sebuah Kisah Klasik milik Sheila on 7, namun dengan vokal Maul yang lebih tegas. Musiknya terdengar sederhana, tapi mudah melekat di telinga –catchy, dan sama sekali tidak membosankan, sehingga tetap membawa karakter khas Perunggu.

Berpindah ke Berhasil, Perunggu menurunkan tempo dan menyulap ruang jadi lebih intim. Hanya gitar akustik dan vokal yang hadir, membuat track ini ringan dan easy listening. Meski secara keseluruhan lagu terasa kurang relevan bagi saya (mungkin karena belum memiliki pasangan, hahaha), tetapi hook di awal lirik:

“Bagaimana rasanya, sejauh ini hidup denganku?”

berhasil menebusnya. Suara vokal terdengar mengambang alami, tanpa lapisan artifisial, seakan dibisikkan langsung ke telinga.

Nomor terakhir, Abu, menekuk spektrum ke arah gelap dan introspektif. Rasa kehilangan dan kehampaan tersaji di setiap denting dan desahan vokal. Ildo dan Maul menegaskan bahwa Abu lahir dari periode keraguan dan ketidakpercayaan diri. Ildo bahkan menambahkan dalam sesi Q&A lewat channel Merunggu bahwa dia sendiri tak menyangka Perunggu bisa membawakan lagu seperti Abu. Di sini, Perunggu membuka tabir sisi mereka yang lebih nyeleneh dan eksploratif: aransemen lebih luas, bunyi-bunyian lebih liar, dan gaya penulisan lebih bebas dan ekspresif dibanding rilisan sebelumnya. Ditaruh paling akhir, lagu ini justru menjadi peak album—bener-bener kentara dinamis, seperti babak akhir yang sangat panas. Hangus terbakar Dalam Dinamika.

Catatan Kecil Dalam Dinamika

Perunggu tidak lagi terjebak pada label “band rock pulang kantor”. Mereka kini berdiri sebagai tiga manusia yang sadar akan satu hal: hidup tidak pernah tetap. Dalam Dinamika adalah cara mereka mendokumentasikan fase itu. Kesederhanaan—seperti diingat Maul mengutip Giovanni Rahmadeva, produser mereka pada album Memorandum, dalam podcast Seminggu:
“Lagu lu akan works kalau bisa dinyanyiin di gang, di tongkrongan, pake gitar kopong.”

Ada satu frasa yang sangat cocok menggambarkan Dalam Dinamika: samsara.

Album ini menangkap siklus emosi yang terus berulang –kadang gelap, kadang terang, kadang tenang, kadang riuh. Seperti makna samsara dalam tradisi Sansekerta, yang menggambarkan kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali sebagai proses berkesinambungan, setiap lagu di Dalam Dinamika merefleksikan perjalanan hidup yang terus bergerak. Kegembiraan, kehilangan, kelelahan, dan optimisme hadir silih berganti.

Ildo pernah berkata dalam podcast Makna Talks: “Kalau lagu itu bagus, ya kalau gue maininnya happy,” jawabnya sederhana. Mereka tidak lagi menulis lagu untuk sekadar memuaskan pendengar. Musik bukan performa, melainkan ruang untuk menyalakan kegembiraan. Jika Memorandum terasa seperti pengakuan seorang pekerja yang masih belajar berdamai dengan rutinitas, Dalam Dinamika justru terdengar lebih otentik.

Di balik semua itu, tiap personil membawa bagasi pengaruh yang luas –Maul, Ildo, dan Adam menggabungkan referensi dari Sheila on 7 hingga Band of Horses, dari Death Cab For Cutie hingga Jimmy Eat World– yang membaur jadi warna khas Perunggu.

Sementara secara materi, Dalam Dinamika tetap mengusung tema slice of life namun dengan perspektif yang lebih mature. Pengalaman hidup yang ditampilkan lebih kompleks, tidak hanya sebagai pekerja kantoran, ayah, atau identitas tertentu, tetapi mencakup keseluruhan spektrum kehidupan manusia. Lagu-lagunya berada di everything in between –menangkap nuansa yang beragam.

Perunggu mengekspresikan pencarian jati diri, relasi, dan tantangan kehidupan modern, seakan mengatakan:

It’s ok not to be ok.

Maka, Dalam Dinamika bukan sekadar karya, melainkan cermin. Album ini mengingatkan bahwa perubahan bukan hal yang harus ditakuti, tapi justru bisa dirayakan. Kita boleh rapuh, bingung, bahkan gagal, selama kita dapat mengekspresikannya. Beberapa tahun ke depan, mungkin Maul, Ildo, dan Adam akan mendengarkan kembali Dalam Dinamika dengan senyum kecil –mengingat fase hidup yang mereka abadikan di sini. Album ini terasa seperti scrapbook musikal: potongan-potongan keresahan, tawa, nostalgia, sampai kegetiran yang tidak mereka rapikan, tapi justru dibiarkan apa adanya.

Dalam Dinamika bukan pernyataan besar, tapi catatan kecil tentang hidup –kadang rapi, kadang berantakan, tapi selalu bergerak. Siapa pun bebas menafsirkan maknanya sendiri.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//