• Berita
  • Album Untuk Pram, Lagu-lagu Balada Abah Omtris yang Terinspirasi Karya Pramoedya Ananta Toer

Album Untuk Pram, Lagu-lagu Balada Abah Omtris yang Terinspirasi Karya Pramoedya Ananta Toer

Album Untuk Pram oleh Abah Omtris diluncurkan secara sederhana, seperti gaya tulisan Pram yang sederhana tapi penuh makna, di Toko Buku Bandung.

Musikus balada Bandung Abah Omtris meluncurkan album yang terinspirasi perjalanan hidup sastrawan Pramoedya Ananta Toer di halaman Toko Buku Bandung, 21 Mei 2025. (Foto: Aqeela Syahida Fatara/BandungBergerak)

Penulis Aqeela Syahida Fatara27 Mei 2025


BandungBergerak.id – Musikus balada Bandung, Abah Omtris, meluncurkan album yang terinspirasi perjalanan hidup sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Album bertajuk Untuk Pram ini kelar bertepatan dengan seabad penulis yang pernah dipenjara di era Sukarno dan Suharto. Pram dinilai sebagai sosok yang konsisten berkarya dan memberikan dampak besar pada banyak orang, termasuk musikus seperti Abah Omtris.

Tampil di halaman Toko Buku Bandung, peluncuran album “Untuk Pram” menjadi penutup diskusi Reboan ke-99 Klub Buku Laswi yang membahas novel Laut Bercerita, Rabu, 21 Mei 2025. Album ini memuat enam lagu penuh makna yang diiringi gitar akustik. Pendengar bisa menikmati album ini di platform musik digital, Spotify.

Secara umum, Album Untuk Pram mengandung kritik sosial. Menurut Abah Omtris, hari ini kita masih harus memperjuangkan kebebasan bersuara. Melalui musik-musiknya, Abah Omtris pantang menyerah untuk menyuarakan keresahannya, sebagaimana yang pernah dilakukan Pram sepanjang hidupnya. 

“Dari sosok Pram, kita terinspirasi untuk terus membaca dan menulis, bahkan membaca menjadi sebuah perlawanan,” ungkap Abah Omtris.

Enam Lagu Untuk Pram

Tidak mudah bagi Abah Omtris menyusun album Untuk Pram. Lagu, “Sajak Luka di Tanah Tua” diciptakan awal tahun 2004, melalui kumpulan tulisan-tulisan yang ia buat. Seiring berjalannya waktu, lagu-lagu lain satu per satu hadir hingga akhirnya tahun 2025, lagu terakhir rampung.

Gaya bahasa dan penulisan Pram ketika menciptakan karya memotivasi Abah Omtris dalam menulis setiap lirik lagunya. Misalnya, “Lagu Hujan’’ berisi rangkaian kata-kata indah dan terkesan sederhana, seperti gaya tulisan Pram.

Lagu lainnya, “Sajak Luka di Tanah Tua” membahas penggusuran lahan oleh pemerintah demi memberi karpet merah pada investor. Bagi Abah Omtris, lagu ini tidak hanya tentang penggusuran lahan, melainkan penggusuran apa pun yang terkait dengan tercerabutnya hak-hak rakyat. 

“Sampai kapan kita berpura-pura, bahwa ini bukan kiamat yang nyata,” demikian salah satu penggalan lagu “Sajak Luka di Tanah Tua”. Menurut Abah Omtris, kondisi saat ini merupakan bencana bagi kita. “Bencana ini bisa dikatakan kiamat, segala penderitaan, segala kesulitan yang menimpa bangsa ini,” ujarnya.

Lagu berikutnya, “Untuk Pram”, menggambarkan sosok Pram sebagai pejuang yang memiliki jiwa merdeka. Karyanya dinilai akan selalu abadi hingga kapan pun. Begitu juga dengan lagu “Dalam Bayangan Bulan” yang ketika proses pembuatannya, Abah Omtris berusaha untuk memahami perasaan Pram saat menghadapi ketidakadilan. 

“Betapa beratnya Pram dalam penantian, dalam ketidakpastian, karena ia dibuang,” ucap Abah Omtris, mengacu pada penangkapan Pram dan dibuang ke pulau Buru.

Tidak hanya tentang perlawanan, Abah Omtris menyoroti sulitnya posisi perempuan di setiap zaman, sehingga lahir lagu “Sajak Perempuan”. Baginya, tubuh perempuan merupakan ruang dari segala kegaduhan dan kegelisahan. Dalam karyanya, Pram selalu menyediakan ruang bagi sosok wanita dengan gejolak batinnya.

Kemudian lagu “Nyanyi Sunyi dari Waeapo” yang terinspirasi karya Pram “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, berkisah bahwa perjuangan terhadap negara ini tidak patut disesali.

“Jika esok kau bertanya, aku ada dalam niyala bangsa,” demikian lirik lagu “Nyanyi Sunyi dari Waeapo”.

Lirik tersebut menggambarkan kekecewaan seorang anak perempuan terhadap ayahnya yang sangat menaruh harap pada perjuangan bangsa. Sang ayah tidak hidup seperti ayah-ayah lainnya. Di lagu ini Abah Omtris ingin menceritakan tentang seseorang yang telah merelakan dirinya kepada bangsa untuk menjadi lebih baik. Kelak ia akan selalu hadir dalam pergolakan dan gejolak perjalanan bangsa ini.

Abah Omtris tidak terlalu menaruh harapan besar pada karyanya. Peluncuran ini sebagai bentuk tanggung jawab atas setiap karyanya sebagai musikus balada. Abah Omtris tidak akan bosan untuk menemani perjuangan masyarakat melalui musik.

Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Dari Pinggiran Bahasa Indonesia Lahir
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Membaca Dalam Hati di The Room 19, Pameran Patung di Blora

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia. (Sumber: Perpusnas)
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia. (Sumber: Perpusnas)

Biografi Pramoedya Ananta Toer 

Pramoedya Ananta Toer terkenal sebagai pengarang novel tahun 1940-an dengan novelnya, antara lain, Keluarga Gerilya dan Perburuan. Dia lahir di Blora dan meninggal di Jakarta 30 April 2006. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita dari Blora.

“Nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya,” demikian dikutip dari Ensiklopedia Kemdikbud, diakses Sabtu, 15 Februari 2025.

Ayahnya Pram adalah seorang guru yang mula-mula bertugas di HIS Rembang, kemudian menjadi guru sekolah swasta Boedi Oetomo dan menjadi kepala sekolah. Ibunya adalah anak penghulu di Rembang.

Di lingkungan keluarganya Pram dipanggil sebagai Mas Moek karena menjadi anak sulung 8 bersaudara (5 lelaki dan 3 perempuan). Atas "perintah" Pram, adiknya meletakkan nama belakang Toer sehingga nama keluarga, yakni Pradito Toer, Koenmarjatoen Toer, Oemisapatoen Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo Toer.

Pramoedya Ananta Toer menamatkan sekolah rendah (sekolah dasar) Instituut Boedi Oetomo di Blora lalu melanjutkan pendidikannya selama satu setengah tahun di sekolah teknik radio Surabaya (Radiovakschool Surabaya) tahun 1940—1941. Dia tidak memiliki ijazah dari sekolah itu karena ijazah yang dikirimkannya ke Bandung untuk disahkan tidak pernah diterima kembali akibat kedatangan Jepang ke Indonesia pada awal tahun 1942.

Bulan Mei 1942 Pramoedya Ananta Toer meninggalkan Rembang dan Blora untuk pergi ke Jakarta. Dia bekerja di Kantor Berita Domei. Sambil bekerja, ia mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942—1943), kursus di Sekolah Stenografi (1944—1945) lalu menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945) untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah.

Tahun 1945 ia keluar dari Kantor Berita Domei dan pergi menjelajahi Pulau Jawa. Bulan Agustus 1945, saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia sedang berada di Kediri. Tahun 1946 ia ikut menjadi prajurit resmi sampai mendapat pangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang ditempatkan di Cikampek, dengan sekutu Front Jakarta Timur.

Dia kembali ke Jakarta tahun 1947 melalui penyusupan, tetapi ditangkap militer Belanda yang berada di Cipinang. Tanggal 22 Juli 1947 ia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Dia dipenjarakan tanpa diadili di penjara Bukit Duri sampai tahun 1949.

Tahun 1950—1951 ia bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Tahun 1950 ia menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka atas novelnya yang berjudul Perburuan. Pada tahun yang sama ia menikah dengan wanita yang sering datang ke penjara ketika Pram berada di penjara, yang masih keluarga dekat, Husni Thamrin.

Tahun 1952 Pramoedya Ananta Toer mendirikan dan memimpin Literary dan Features Agency Duta sampai tahun 1954. Tahun 1953 ia pergi ke Negeri Belanda sebagai tamu Sticusa (Yayasan Belanda Kerja Sama Kebudayaan) dan tahun 1956 berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan hari kematian Lu Shun.

Dia terkagum-kagum terhadap kejayaan Revolusi Tiongkok dalam segala bidang. Tahun 1958 Pramoedya Ananta Toer masuk anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keterlibatannya dengan Lekra memperhadapkannya dengan seniman golongan lain yang tidak sealiran, terutama kelompok seniman penanda tangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang menentang PKI.

Tahun 1962 ia menjabat redaktur Lentera. Dia juga bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publika, Jakarta, sebagai dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai. Meletusnya gerakan 30 September 1965 (Gestapu/PKI) menghadirkan kenangan pahit dalam kehidupan Pramoedya Ananta Toer.

Pada penangkapan yang dilakukan oleh gerombolan pemuda bertopeng tanggal 13 Oktober 1965, ia mendapatkan penghinaan dan perlakuan yang kejam. Pendengarannya rusak karena dipukul dengan tommygun pada bagian kepalanya. Setelah itu, ia dipenjarakan di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun ia hidup dalam pengasingan di Pulau Buru.

Selepas dari pengasingan di Pulau Buru, Pram menghasilkan beberapa buku yang pada umumnya dilarang oleh Kejaksaan Agung. Namun, di luar negeri buku-buku itu terbit dan beredar luas. Bahkan, buku-buku tersebut diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Belanda. Buku-buku yang dilarang ialah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000).

Beberapa tahun terakhir ini sejumlah buku Pramoedya Ananta Toer yang semula dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung diterbitkan kembali oleh penerbit Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer memperoleh 16 penghargaan, antara lain Penghargaan Balai Pustaka (1951) dan tahun 1995 menerima Hadiah Magsaysay dari Filipina. Pengukuhan Pramoedya Ananta Toer sebagai penerima hadiah tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat pada saat itu, mengingat sejarah masa silamnya. Hal itu yang menjadi dasar Mochtar Lubis mengembalikan hadiah yang sama yang diterimanya tahun 1958.

Sementara itu, Yayasan Magsaysay memberikan penghargaan kepada Pramoedya dengan alasan bahwa Pram dinilai berhasil melakukan pencerahan dengan cerita yang bernas tentang sejarah kebangkitan dan kehidupan modern masyarakat Indonesia. Pram juga mendapat penghargaan PEN International (1998), Dia mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun (1999), Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, (2000), dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.

*Kawan-kawan bisa menyimak reportase Aqeela Syahida Fatara, atau tulisan-tulisan menarik lain Pramoedya Ananta Toer

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//