PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Dari Pinggiran Bahasa Indonesia Lahir
Penelitian Pramoedya terhadap bahasa Melayu lingua franca memberikan kontribusi penting dalam memahami sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia.
Penulis Fauzan Rafles 19 Februari 2025
BandungBergerak.id - Sudah 100 tahun sejak Pram lahir, masyarakat Indonesia khususnya Bandung ramai merayakan seabad penulis kelahiran Blora, 6 Februari 1925 (meninggal di Jakarta 30 April 2006). Mulai dari toko buku kecil independen sampai toko buku gaul nan kekinian seakan deman dengan penulis Tetralogi Buru itu.
Acara yang digelar beragam, membaca senyap sampai gonjreng santai. Tapi, masih banyak ternyata yang belum mengetahui bagaimana bahasa Indonesia yang sekarang digunakan ini berevolusi. Pram punya peranan di sana.
The Room 19, masih dengan perayaan seabad Pram yang dihelat tanggal 15 Februari 2025, menyajikan acara Storytelling Night Menapaki Jejak Evolusi Sastra Indonesia: Telaah Buku “Tempo Doeloe” Karya Pramoedya.
Reiza, selaku salah satu pendiri The Room 19 mengajak pencerita Deni Rachman yang juga salah satu penyusun buku Pram Dalam Kipling. Sepuluh menit selepas pukul 19 waktu Indonesia barat, Reiza membuka acara storytelling ini.
Deni Rachman datang dengan membawa pertanyaan besar yang ia tulis di layar presentasinya dengan judul “Pertanjaan Besar”. Dari ejaan lama yang ia gunakan, Deni mulai bercerita mengenai evolusi bahasa Indonesia.
Menurut Deni, ada perjuangan besar ketika menuntut kesetaraan di zaman kolonial dahulu. Pram, dengan semangat perlawanannya akan selalu ada di sisi lain narasi besar, karena nasari yang sebenarnya justru ada di balik narasi besar.
Ada 4 poin penting yang dianalisis Deni dari buku Tempo Doeloe karya Pramoedya Ananta Toer. Poin pertamanya ialah mengenal kembali apa yang dibaca orang pada awal abad ke-20. Poin kedua adalah menyelamatkan masa lalu.
Di masa itu, orang Indonesia menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca, perantara antara penutur bahasa yang berbeda-beda. Pada zaman dahulu bahasa Melayu memang telah berfungsi sebagai lingua franca di wilayah Asia Tenggara, terutama di wilayah Nusantara. Bahasa ini dulunya terpinggirkan oleh bahasa Melayu tinggi.
Poin ketiga, lanjut Deni, adalah menelaah anatomi keadaan dan semagat zaman zeitgeist. Di masa itu bersamaan dengan politik etis dan muncul pengarang-pengarang yang prokolonial dan pembela kemerdekaan. Pram juga menunjukkan karya-karya pengarang awal itu di bukunya.
Para penulis di zaman politik etis kebanyakan berprofesi jurnalis dan tidak sedikit juga politikus. Sangat berbeda dengan zaman sekarang yang mana wakil presidennya saja secara terang-terangan mengakui bahwa dirinya tidak suka baca buku.
“Di zaman itu, bupati-bupati dan politisi pada nulis sastra. Mereka pada jadi pengarang. Beda sama zaman sekarang, kan, ya,” ujar Deni Rachman.
Poin terakhir atau yang keempat, adalah perhatian pengamat Sastra Indonesia di luar negeri semakin kuat. Di tahun-tahun penulisan Pram, sekitar tahun 80-an, banyak orang luar yang ingin mengetahui seperti apa bahasa Indonesia sebelum Sumpah Pemuda 1928.
Penelitian Pramoedya Ananta Toer terhadap bahasa Melayu lingua franca memberikan kontribusi penting dalam memahami sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Analisis Pram membantu masyarakat untuk lebih menghargai bahasa Melayu sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.
Pertanyaan Besar Deni Rachman
Apa sebenarnya sudut pandang Pram tentang kolonial? Dan apa bahasa pergaulan pada zaman kolonial? Mengapa buku ini menggunakan ejaan Ophuijsen 1901?
Ada tiga pertanyaan yang Deni lontarkan dan ia pampang di layar presentasinya. Sejatinya, Pram menggunakan ejaan lama yang dipakai di karyanya bukan untuk gaya-gayaan, melainkan untuk menunjukan bahwa narasi ejaan ‘oe’ yang digunakan masyarakat berbeda dengan ejaan ‘oe’ yang digunakan pemerintah era kolonial.
Pandangan masyarakat zaman lalu selalu berbau romantisme. Bangunan indah, masa normal, dan bahasa bertingkat menandakan kuatnya feodalisme.
Deni mengingatkan kepada masyarakat bahwa jangan terjebak dengan sejarah yang selalu diajarkan di bangku sekolah.
“Coba kita baca sastra, di sastra, apalagi yang zaman dahulu, banyak sejarah yang tidak diajarkan di sekolah. Kalau kita baca itu, kita jadi gak mudah dimanipulasi sama sejarah-sejarah yang belum jelas kebenarannya,” kata Deni.
Deni menjelaskan, Pram ingin menunjukan bahwa ejaan yang dipakainya juga dipakai untuk melawan kolonial. Itu jugalah yang melahirkan batas antara bangsa kita dengan penjajah. Masa kolonial adalah masa pahit dan penindasan. Banyak dari masyarakat yang dibelenggu kebebasannya dalam mebaca.
Bahkan, strata kebanggsaan saja sudah dibagi tiga. Ada bangsa Eropa, Timur Asing, dan bumiputra. Itu adalah cara kolonial membatasi gerak gerik bangsa bumiputra supaya bangsa Eropa tetap menguasai mereka.
Berbeda dengan kolonial Inggris. Belanda tidak ingin masyarakat jajahannya mengerti bahasa mereka. Bagi Belanda, bila bumiputra mengerti bahasanya, maka itu akan menggulingkan bisnis dan juga kepentingan-kepentingan mereka. Lewat karya-karyanya, Pram membantu masyarakat mendobrak itu.
Melalui ejaan lama ini, Pram ingin mengingatkan jangan terjebak dengan romantisme atau keindahan kolonial yang diopinikan. Dalam bukunya ia menjelaskan, pers menggunakan ejaan lama untuk membongkar aib-aib para koruptor. Sehingga judul buku “Tempo Doeloe” bukan sekadar gaya-gayaan belaka.
Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: 3.600 Detik Tarian Maemunah dan Pram di Halte Gedung Indonesia Menggugat
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Membaca Dalam Hati di The Room 19, Pameran Patung di Blora
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Novel tentang Perempuan-perempuan yang Melawan Zaman

Bahasa Apa pada Zaman Itu?
Di zaman sebelum berdirinya Sumpah Pemuda Indonesia belum punya bahasa persatuan. Masa itu masyarakat dibagi menjadi dua bahasa yakni bahasa Melayu tinggi dan Melayu rendah atau pasar atau bahasa pinggiran. Istilah itu dipakai kolonial untuk memberi strata.
Melayu tinggi dianggap lebih indah dan diproduksi secara massal. Sementara yang dipakai rakyat sehari-hari adalah bahasa Melayu rendahan yang justru menjadi lingua franca.
Lingua franca bukan bahasa baku melainkan bahasa lisan. Dan itulah yang dimasukkan sebagai karya sastra. Sementara melayu tinggi adalah yang dipakai di sekolah-sekolah. Penjajahan kolonial Belanda bukan hanya secara fisik melainkan juga melalui menghegemoni bahasa. Kejam.
Maka untuk melanggengkan penjajahannya melalui bahasa, Belanda mendukung komisi kebudayaan Balai Pustaka. Banyak buku-buku terbitan Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggi kemudian dibaca di pasar dan di pinggir jalan. Pram menyebut bahasa tersebut sebagai bahasa pra-Indonesia, bahasa yang digunakan sebelum Sumpah Pemuda.
Deni melanjutkan ceritanya berdasarkan analisis Pram. Menurutnya, Indonesia awal abad ke-20-an mengalami sejarah kelam. Kondisi bumiputra yang bisa baca tulis sangat sedikit sebanding dengan cetakkan buku.
Jumlah sekolah dasar sangat terbatas, jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Pram ingin mengenali semangat literasi pada masanya yang dilatarbelakangi pascaperang dunia ke-1 dan kesulitan-kesulitan ekonomi.
Ditambah lagi zaman itu belum ada mesin tik. Ketika mesin tik sudah ada pun hanya dipakai untuk buku-buku agama seperti alkitab.
Bahasa Melayu pasar lambat laun berevolusi melalui pertunjukan-pertunjukan dan kemudian ditulis para jurnalis. Di sini pers memiliki peran penting dalam hal penerbitan. “Kalau kata saya sih, awal mula ada penerbitan itu ya karena pers. Dari situ baru muncul banyak karya-karya tulis,” tutur Deni.
Pelbagai pertunjukan, tontonan, maupun cerita-cerita fiksi diterbitkan oleh pers. Dari pers atau koran dipindahkan ke buku. Jadi, bahasa Melayu pasar yang hanya dipakai lisan kemudian diangkat menjadi bahasa tulisan.
Sesi Cerita yang Diakhiri dengan Saling Membaca
Berhubung acara ini adalah story telling dengan menelaah buku Tempo Doeloe-nya Pramoedya, di akhir sesi Deni mengajak mereka yang hadir di The Room 19 untuk saling mencoba membaca buku Tempo Doeloe cetakkan pertama yang ditulis masih dengan ejaan Van Ophuijsen.
Satu per satu dari mereka bergiliran membaca satu paragraf utuh. Dengan lidah yang terbata-bata karena tidak terbiasa, gelak tawa pun muncul secara bergantian. Ada yang kaget, ada juga yang kebingungan. Huruf C di buku itu dituliskan dengan ‘TJ’ seangkan U menjadi ‘OE’ dan NY menjadi ‘NJ’.
Dongeng dari Deni Rachman ditutup sempurna dengan pengalaman berharga para hadirin karena sempat membaca buku yang menurutnya ‘sulit’ untuk dibaca bagi para Gen Z. Tidak hanya Gen Z sepertinya. Deni sendiri mengalami kesulitan. Dari diksi sampai struktur, baginya butuh waktu yang lama untuk menamatkan satu buku.
“Dari delapan bacaan, saya cuma sanggup beresin satu, euy. Sangat susah dipahami dan butuh waktu lama untuk mengerti satu per satu kalimatnya,” kata pemilik Lawang Buku ini.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Pramoedya Ananta Toer