• Berita
  • BANDUNG HARI INI: Nama Rumah Sakit Ranca Badak Berubah Menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin

BANDUNG HARI INI: Nama Rumah Sakit Ranca Badak Berubah Menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin

Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, dulu Ranca Badak, memiliki riwayat panjang sejak zaman Belanda, Jepang, dan kini sebagai rumah sakit pusat Jawa Barat.

Rumah Sakit Ranca Badak, Bandung berganti nama menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) 8 Oktober 1967. (Sumber Foto: FK Unpad)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah8 Oktober 2025


BandungBergerakHari ini, bertepatan dengan 8 Oktober 1967, Rumah Sakit Rantja Badak, Bandung berganti nama menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Rumah sakit pusat rujukan Jawa Barat ini memiliki riwayat panjang sejak zaman Belanda. Sebutan Rantja Badak sendiri erat kaitannya dengan kondisi geologis Bandung di zaman purba.

Sudarsono Katam Kartodiwirio dalam bukunya Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis: Sebuah Wisata Sejarah (2006) mencatat, cikal bakal rumah sakit di Bandung dimulai pada 1800-an. Awalnya, rumah sakit dibangun di kawasan Grote Postweg (kini Jalan Asia Afrika), tepatnya di sebagian lahan Kantor Pos Besar Bandung.

Memasuki awal 1900-an, rumah sakit dipindahkan ke Jalan Oude Hospitalweg, sekarang dikenal sebagai Jalan Lembong. Kemudian, fasilitas rumah sakit kembali dipindahkan ke Pasteurweg (Jalan Pasteur) ke gedung baru yang lebih permanen.

Katam mencatat, pembangunan rumah sakit di Jalan Pasteur digagas oleh organisasi Vereeniging Bandoengsche Ziekenhuis pada 1914. Proyek ini mulai dibangun pada 1917 dan rampung pada 1919 berdasarkan rancangan arsitek F.J.S. Ghijles.

Pada awal berdirinya, rumah sakit ini diberi nama Het Algemeene Bandongsche Ziekenhuijs (Rumah Sakit Umum Bandung). Namun, pada 30 April 1927, namanya resmi berubah menjadi Gemeentelijk Juliana Ziekenhuis untuk memperingati ulang tahun ke-18 Putri Juliana. Perubahan nama tersebut mendapat persetujuan langsung dari sekretaris Ratu Belanda melalui telegram, sebagaimana dikutip Atep Kurnia dari surat kabar De Locomotief (3 Mei 1927).

Meski demikian, masyarakat Bandung lebih mengenalnya dengan sebutan Rumah Sakit Ranca Badak, merujuk pada lokasi tempat berdirinya rumah sakit yang dahulu dikenal sebagai rawa tempat badak berkubang (ranca berarti rawa, badak merujuk pada hewan khas Jawa Barat). Rumah sakit ini saat itu memiliki kapasitas 300 tempat tidur.

Dalam tulisannya berjudul “Riwayat Jalan di Kota Bandung (13): Kompleks Tokoh Kesehatan”, Atep Kurnia menjelaskan bahwa peresmian rumah sakit ini dilakukan pada 15 Oktober 1923 dan dihadiri para pejabat tinggi Hindia Belanda serta tokoh masyarakat setempat. Atep mengutip pemberitaan koran AID De Preanger Bode yang menyebutkan bahwa dalam sambutannya, Wali Kota Bandung saat itu, B. Coops, menyatakan ide pendirian rumah sakit sudah muncul sejak 1914.

Gagasan tersebut muncul dari organisasi Bandoengsche Ziekenverpleging yang dipimpin K.A.R. Bosscha, tokoh filantropi terkemuka di Hindia Belanda. Bosscha menjadi donatur utama dengan menyumbangkan 40.000 gulden. Pada 1915, komite pendirian rumah sakit dibentuk, beranggotakan Roelofsen, Dr. Tirion, dan Coops. Rancang bangun rumah sakit kemudian ditangani oleh Het AIA Bureau, dengan arsitek Sneevliet dan Sleeuw.

Selain Bosscha, tokoh Tionghoa Bandung, Tan Djoen Liong, turut menyumbang dana sebesar 12.000 gulden. Tak hanya uang, berbagai donasi barang juga mengalir saat peresmian rumah sakit, seperti gramofon dari Firma Luyks, koleksi buku dari Firma Vorkink, hingga peralatan rumah tangga dari sejumlah toko dan perusahaan lokal.

Pada masa penjajahan Jepang, gedung rumah sakit bergaya arsitektur romantik klasik ini berfungsi sebagai rumah sakit militer. Setelah kemerdekaan, rumah sakit ini dikelola oleh pemerintah daerah dan pada tahun 1954 ditetapkan sebagai rumah sakit provinsi di bawah Departemen Kesehatan. Pada 1956, rumah sakit ini mulai dikenal dengan nama Rumah Sakit Rantja Badak dan memiliki kapasitas 600 tempat tidur. Seiring dengan berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad), rumah sakit ini juga digunakan sebagai rumah sakit pendidikan.

Pada 8 Oktober 1967, rumah sakit ini resmi berganti nama menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dr. Hasan Sadikin adalah salah seorang pendiri serta pembina Fakultas Kedokteran Unpad yang berjasa di bidang kesehatan dan perumahsakitan di Bandung. Antara pada periode 1965-1967 Hasan Sadikin pernah menjadi direktur di rumah sakit ini.

Perubahan nama ini sekaligus menandai statusnya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Departemen Kesehatan RI. Seiring berjalannya waktu, RSHS terus berkembang, dan pada tahun 1997, rumah sakit ini berstatus sebagai Rumah Sakit Pengguna Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada tahun 2002, RSHS memperoleh status Perusahaan Jawatan (Perjan), yang memberikan otonomi manajerial lebih besar.

Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. RSHS merupakan rumah sakit pusat rujukan di Jawa Barat. (Foto: RSHS)
Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. RSHS merupakan rumah sakit pusat rujukan di Jawa Barat. (Foto: RSHS)

Asal Usul Ranca Badak

Hingga awal 1990-an, masyarakat Bandung lebih akrab menyebut Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) dengan nama Rumah Sakit Rancabadak. Nama ini bukan tanpa alasan. Sejarah dan budaya lokal mencatat, kawasan tempat rumah sakit pusat rujukan Jawa Barat itu berdiri dulunya dikenal sebagai "ranca badak", yang dalam bahasa Sunda berarti rawa tempat badak berkubang.

Menurut ahli toponimi T. Bachtiar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, ranca berarti rawa atau genangan, sedangkan badak merujuk pada hewan khas yang dulunya mendiami wilayah Bandung. Banyak tempat yang dulunya merupakan kubangan badak kemudian dinamai dengan awalan "ranca".

“Badak biasa berkubang di rawa agar tubuhnya tidak dihinggapi nyamuk atau serangga, dan untuk menjaga suhu tubuhnya,” jelasnya.

Nama ranca badak yang melekat pada rumah sakit pun diyakini mengacu pada hal serupa. Dalam kepercayaan masyarakat zaman dahulu, membangun permukiman atau fasilitas umum di tempat bekas badak putih berkubang dianggap membawa keberuntungan. Meski T. Bachtiar tidak menemukan bukti soal keberadaan badak putih secara biologis, ia menyebut bahwa lumpur yang mengering di tubuh badak bisa terlihat putih ketika terkena sinar matahari.

Kepercayaan lokal ini juga tercermin dalam simbol kota. Di Taman Balai Kota Bandung, berdiri patung badak putih yang menghadap ke Jalan Merdeka. Patung itu menjadi penanda bahwa Bandung dahulu adalah habitat alami badak, bersama satwa liar lain seperti harimau dan macan tutul, khususnya ketika wilayah Bandung masih berupa danau purba.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa di awal abad ke-19, badak masih ditemukan berkeliaran di wilayah Jawa Barat, termasuk Tasikmalaya, Bandung, hingga kawasan pegunungan seperti Gunung Gede Pangrango. Di Bogor, ada lokasi bernama Kandang Badak yang muncul sejak zaman Belanda, merujuk pada tempat penelitian badak oleh para ahli zoologi Eropa.

Jejak badak juga tercatat dalam sejarah pembangunan Kota Bandung. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto, disebutkan bahwa pada tahun 1866—setengah abad setelah Bandung dipindahkan dari Dayeuhkolot—masih ada kawanan badak yang terlihat di kawasan Cisitu, hanya beberapa ratus meter dari Kampus Institut Teknologi Bandung.

Kawasan Bandung menyimpan banyak toponimi dengan unsur ranca, seperti Rancaekek, Rancabolang, dan Rancacili. Semuanya merujuk pada kondisi geografis masa lalu yang berupa rawa atau kubangan. T. Bachtiar menekankan pentingnya pelestarian nama-nama lokal seperti itu, karena selain mencerminkan sejarah sosial, juga memuat informasi geologis penting.

"Kalau tahu sebuah tempat dulunya rawa, maka struktur bangunannya perlu disesuaikan dengan kondisi tanah yang labil atau mudah amblas,” ujarnya.

Namun, T. Bachtiar menyesalkan tren penamaan tempat di Bandung saat ini yang dinilai lepas dari akar sejarahnya, seperti penamaan "Creative Hub" atau "Cikapundung Riverspot" yang dianggap tidak memiliki konteks sosial dan geologis yang kuat.

Kini, meski nama ranca badak mulai tergeser oleh nama resmi Rumah Sakit Hasan Sadikin, jejak sejarahnya masih terasa kuat di tengah masyarakat. Nama itu bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan bagian dari identitas Bandung yang terhubung erat dengan alam, budaya, dan sejarah geologisnya.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Aksi Besar Menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja Berbuah Krisis Kepercayaan terhadap Penyelenggara Negara
BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung

Di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) keduanya biasa mengambil obat ARV. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Layanan Unggulan RSHS dan Riwayat Kelam

Saat ini, Rumah Sakit Hasan Sadikin memiliki 944 tempat tidur dan didukung oleh lebih dari 3.000 karyawan, termasuk 395 dokter spesialis dan subspesialis. RSHS juga dikenal dengan enam layanan unggulan, yaitu Pelayanan Jantung Terpadu, Pelayanan Onkologi, Pelayanan Infeksi, Bedah Minimal Invasif, Kedokteran Nuklir, dan Transplantasi Ginjal (rshs.go.id).

Namun, di balik sejarahnya yang panjang dan prestasinya, RSHS pernah menjadi sorotan negatif. Pada awal tahun 2025, rumah sakit ini diguncang oleh kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, berinisial PAP (31 tahun). PAP diduga melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap seorang keluarga pasien yang sedang menemani ayahnya di ruang perawatan RSHS.

Peristiwa ini terjadi pada 18 Maret 2025 di ruang 711 Gedung MCHC RSHS. Tersangka diduga menggunakan obat bius untuk membuat korban tidak sadarkan diri sebelum melakukan tindak pelecehan. Setelah kejadian, korban melapor ke pihak kepolisian, dan PAP ditetapkan sebagai tersangka. PAP kini tengah ditahan.

Kementerian Kesehatan melalui Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) telah mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik PAP, yang berarti ia tidak dapat lagi berpraktik sebagai dokter seumur hidup. Program PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSHS juga dihentikan sementara untuk evaluasi sistem tata kelola dan pengawasan.

Kasus ini menambah panjang daftar kasus kekerasan seksual di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat terdapat 4.322 kasus kekerasan seksual pada tahun 2021, dan angka ini meningkat menjadi 4.471 kasus pada tahun 2022.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//