• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Aksi Besar Menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja Berbuah Krisis Kepercayaan terhadap Penyelenggara Negara

BANDUNG HARI INI: Aksi Besar Menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja Berbuah Krisis Kepercayaan terhadap Penyelenggara Negara

Lima tahun lalu, 6 Oktober 2020, masyarakat sipil di Indonesia dan Kota Bandung turun ke jalan menolak pengesahan Undang Undang Cipta Kerja atau UU Omnibus Law.

Aksi peringatan May Day di Bandung, 1 Mei 2023. Salah satu tuntutan kelas buruh adalah menolak UU Cipta Kerja. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah6 Oktober 2025


BandungBergerak - Lima tahun lalu bertepatan dengan 6 Oktober hari ini, elemen masyarakat sipil seperti buruh dan mahasiswa berkumpul di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung. Mereka memprotes dan menolak disahkannya Undang Undang Cipta Kerja atau UU Omnibus Law. Massa memprotes penyederhanaan peraturan dalam UU Cipta Kerja lebih menguntungkan investor daripada melindungi hak-hak pekerja.

Selama aksi protes menolak disahkannya UU Cipta Kerja di Bandung yang berlansung pada 6-7 Oktober 2020, LBH Bandung mencatat sedikitnya terdapat 189 orang mengalami luka-luka. Sementara itu, Amnesty International Indonesia mendokumentasikan terdapat 402 korban korban kekerasan oleh aparat di 15 provinsi. Amensty juga menuliskan sebanyak 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi. Berdasarkan laporan dari tim advokasi gabungan, sebanyak 301 dari mereka ditahan dengan jangka waktu yang berbeda-beda, termasuk 18 jurnalis yang telah dibebaskan.

Masyarakat sipil menolak dan menyoroti dua hal dalam pengesahan UU Cipta Kerja, yakni masalah prosedural dan masalah substantif yang merugikan hak-hak pekerja.

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi

Proses lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal Omnibus Law Cipta Kerja tidak lepas dari peran pemerintahan Joko Widodo yang menang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Momen terbitnya undang-undang ini menjadi paling kontroversial dalam sejarah legislasi Indonesia modern. Didesain untuk mendorong investasi dan memperluas lapangan kerja, undang-undang ini justru menimbulkan gelombang kritik luas dari serikat buruh, aktivis lingkungan, hingga kalangan akademik.

LBH Jakarta dalam buku UU Cipta Kerja & Aturan Pelaksanaanya: Upaya Perampasan Hak-Hak Rakyat Atas Tanah & Hak-hak Pekerja (2022) menyatakan, pemerintah menginisiasi UU Cipta Kerja dengan tujuan menyederhanakan berbagai regulasi yang dianggap menghambat investasi.

Para advokat publik ini menyebut, konsep omnibus law menggabungkan puluhan undang-undang sektoral ke dalam satu payung hukum. Pemerintah beralasan langkah ini diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membuka lebih banyak peluang kerja.

“Pemerintah meyakini bahwa RUU Cipta Kerja dapat menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 2,7 sampai 3 juta per tahun dan mendorong target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen sampai 6,0 persen,” tulis LBH Jakarta, diakses BandungBergerak, Senin, 6 Oktober 2025. 

Proses legislasi UU Cipta Kerja berlangsung cepat dan minim partisipasi publik, menabrak prosedur yang ditentukan dalam UU No 12 tahun 2011. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilakukan terburu-buru tanpa melibatkan kelompok yang terdampak langsung, seperti serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil.

“Partisipasi masyarakat, salah satu bentuk dari kedaulatan rakyat yang tidak dapat dimaknai terbatas pada pemilihan umum dalam skala daerah maupun nasional. Pada level kebijakan seperti proses penyusunan RUU Cipta Kerja, pembuat peraturan harus melibatkan masyarakat secara deliberatif,” tulis LBH Jakarta.

Meski demikian, UU Cipta Kerja dengan Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law yang beranggotakan 127 orang antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartato dan beberapa pengusaha Kamar Dagang dan Industri (KADIN) disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 dan resmi diundangkan pada 2 November 2020.

Tak lama setelah itu, gelombang protes besar terjadi di berbagai daerah, menyoroti sejumlah pasal yang dinilai merugikan pekerja dan melemahkan perlindungan lingkungan. Ratusan orang turun ke jalan mengepung berbagai tempat pemerintahan seperti Balai Kota Bandung dan Gedung DPRD Jawa Barat.

Pengesahan UU Cipta Kerja berlangsung dalam suasana murung pandemi Covid-19, di saat rakyat mengalami pembatasan sosial dan ekonomi demi menghindari paparan pagebluk.

UU Omnibus Law mengubah sejumlah ketentuan pokok yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Penetapan upah minimum yang dianggap tidak lagi berbasis kebutuhan layak, skema pesangon yang dinilai merugikan pekerja saat pemutusan hubungan kerja, dan pelonggaran aturan kontrak kerja (PKWT) dan outsourcing tanpa batasan jenis pekerjaan.

Aksi penolakan UU Cipta Kerja di sejumlah daerah termasuk di Bandung berakhir dengan bentrokan antara demonstran dan aparat. Gas air mata dan water cannon ditembakkan untuk membubarkan massa.

Setelah dua hari kericuhan, elemen masyarakat buruh dan mahasiswa kembali turun ke depan Gedung Sate, Kota Bandung. Gubernur Jabar saat itu, Ridwan Kamil turun menemui massa aksi dan melakukan dialog dengan perwakilan buruh dan mahasiswa untuk mendengarkan aspirasi mereka. Di hadapan ribuan demonstran, Ridwan Kamil menegaskan komitmennya untuk menyalurkan tuntutan masyarakat Jawa Barat kepada pemerintah pusat.

Sejumlah lembaga dan individu kemudian melakukan mengajukan uji formil dan uji materiil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada November 2021, MK melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena proses pembentukannya cacat secara formal.

Mahkamah Konstitusi memberi waktu dua tahun kepada pemerintah serta DPR untuk memperbaikinya, hingga 23 November 2023. Jika tenggat itu tidak dipenuhi, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Baca Juga:BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
BANDUNG HARI INI: 138 Tahun Stasiun Bandung
BANDUNG HARI INI: Berdirinya Perkebunan Kina Friesland, Masihkah Bandung Menjadi Ibu Kota Kina?

Aksi unjuk rasa buruh menuntut kenaikan upah 10 persen dan pembatalan Omnibus Law di Gedung Sate, Bandung, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja atau omnibus law inkonstitusional bersyarat. (Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Aksi unjuk rasa buruh menuntut kenaikan upah 10 persen dan pembatalan Omnibus Law di Gedung Sate, Bandung, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja atau omnibus law inkonstitusional bersyarat. (Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dampak UU Cipta Kerja dan Tagar #KaburAjaDulu

Lima tahun setelah disahkannya UU Cipta Kerja, bayang-bayang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah belum juga pudar. Kebijakan yang diharapkan membawa ekonomi baru malah melahirkan krisis kepercayaan dan keresahan sosial yang menular hingga ke media sosial.

Dalam penelitian yang dilakukan Rahadian, Irawan, dan Raidar berjudul “Analisis Kebijakan UU Cipta Kerja dan Pengaruh Terhadap #KaburAjaDulu Sebagai Reaksi Publik di Media Sosial” mengungkapkan bagaimana undang-undang itu menjadi pemicu munculnya tagar #KaburAjaDulu. Tagline yang ramai di sosial media ini merupakan simbol protes serta kelelahan publik terhadap kebijakan negara.

Para peneliti dari Universitas Lampung ini menemukan dua sumber utama krisis kepercayaan publik yakni isi kebijakan yang dinilai tidak memihak rakyat dan proses legislasi yang minim partisipasi. UU ini dianggap melemahkan hak pekerja, menekan upah minimum, dan mengabaikan prinsip keterbukaan publik. Dalam situasi seperti ini, masyarakat merasa semakin jauh dari harapan kesejahteraan.

Tagar #KaburAjaDulu kemudian menjadi ruang pelarian digital. Ia bukan sekadar lelucon di dunia maya, melainkan suara frustasi kolektif yang menandai hilangnya keyakinan pada negara.

Bagi banyak orang muda terutama generasi Z, “kabur” bukan lagi candaan, tetapi refleksi atas realitas pahit: ketika bertahan terasa semakin sulit. Ilham Oktara Rahadian, dkk mengatakan, dalam konteks mobilitas sosial, penelitian mereka menjelaskan UU Cipta Kerja sebagai faktor pendorong (push factor) migrasi. Sementara negara lain menawarkan “faktor penarik” berupa upah tinggi dan jaminan sosial, Indonesia justru menghadirkan ketidakpastian.

“Ini terjadi karena kebijakan yang dianggap melemahkan hak pekerja dan tidak transparan dan menguntungkan salah satu pihak. #KaburAjaDulu menjadi cara bagi masyarakat untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan yang tidak memenuhi kesejahteraan pekerja dan mendorong mereka untuk migrasi ke luar negeri,” tulis mereka di Jurnal Media Akademik, Vol.3, no.6 Juni 2025.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//