Saatnya Negara Melepaskan Stigma Perceraian ASN
Regulasi perceraian ASN harus bertransformasi dari sekadar menjaga citra institusi menjadi instrumen perlindungan yang adil gender.

Sriyanti Ambar
Fasilitator Pengarusutamaan Gender. Dosen STIKES Fatima Kota Parepare.
9 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Pernikahan selalu dianggap suci. Di atas pelaminan, janji diucapkan dengan penuh harapan. Namun realitas tak selalu seindah doa. Banyak Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama perempuan, yang akhirnya terjebak dalam rumah tangga penuh tekanan, kekerasan psikis, bahkan penelantaran ekonomi.
Di banyak daerah, kisah ini bukan cerita langka. Seorang ASN perempuan bisa saja bertahun-tahun hidup bersama pasangan yang enggan menafkahi, abai pada peran, bahkan melukai batin. Ia bekerja keras melayani negara, sekaligus memikul tanggung jawab ekonomi keluarga seorang diri. Ironisnya, ketika hendak memperjuangkan hak untuk keluar dari lingkaran penderitaan, ia justru dihadapkan pada prosedur birokrasi yang panjang, kaku, dan sering kali menyulitkan.
Secara formal, aturan kepegawaian memang sudah menyiapkan standar operasional (SOP) bagi ASN yang ingin bercerai. Ada proses mediasi, ada ruang perbaikan, semua dengan tujuan menjaga keutuhan rumah tangga. Tujuannya baik, tapi kenyataannya sering tidak ramah terhadap korban.
Bayangkan, seorang perempuan ASN yang sudah lama dan bertahun-tahun ditinggalkan secara ekonomi, digerus perlahan dengan kekerasan psikis, tetap diminta “mempertimbangkan ulang” hanya demi citra institusi. Bukankah ini seperti meminta orang yang terluka untuk kembali ke sumber lukanya?
Di sinilah letak persoalan, prosedur yang sejatinya dibuat untuk melindungi, justru berubah menjadi tembok birokrasi yang sulit ditembus. Padahal, negara kita sudah jelas punya payung hukum, dalam hal ini UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Baca Juga: Perceraian di Kota Bandung Bukan Sekadar Angka, Ada Masalah Kesejahteraan Ekonomi yang Membelit Warga
IWD 2025 di Bandung, Mengundang Aksi Nyata Melawan Penindasan terhadap Perempuan
Pergeseran Usia Nikah pada Perempuan, Menikah Bukan Agenda Perlombaan
Keadilan versus Kekakuan Regulasi
Dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2025 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ditegaskan bahwa kekerasan psikis maupun penelantaran ekonomi adalah bentuk kekerasan yang dilindungi hukum. Artinya, pengalaman ASN perempuan yang dibiarkan “mandiri” oleh pasangannya bukan sekadar urusan dapur, melainkan masalah hukum dan kemanusiaan.
Lebih jauh, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender mewajibkan setiap kebijakan publik, termasuk regulasi kepegawaian, untuk responsif terhadap gender. Artinya, SOP perceraian ASN semestinya tidak hanya berhenti pada mediasi. Ia harus melihat kenyataan di lapangan, apakah ada kekerasan, penelantaran, atau ketidakadilan yang nyata dialami ASN perempuan?
Sayangnya, regulasi lama masih bertahan. PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS dibuat di era berbeda, dengan semangat menjaga citra dan stabilitas ASN. Perempuan ASN yang berusaha melepaskan diri dari rumah tangga penuh kekerasan pun sering dianggap mencoreng wajah institusi, alih-alih dilindungi hak-haknya.
Padahal, jika kita sungguh-sungguh berbicara soal keadilan gender, maka regulasi kepegawaian perlu bergeser arah. Bukan lagi semata-mata “menghindari perceraian”, melainkan memastikan ASN –terutama perempuan– terlindungi dari kekerasan rumah tangga.
Dalam hal ini, ada beberapa langkah konkret yang bisa ditempuh. Pertama, revisi Regulasi Perceraian ASN dengan Lensa Gender. Aturan lama harus diperbarui agar selaras dengan UU PKDRT dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Proses perceraian ASN tidak boleh hanya menekankan mediasi, tapi juga harus melibatkan mekanisme verifikasi atas dugaan kekerasan atau penelantaran.
Kedua, perlunya dukungan psikososial untuk ASN Korban. ASN perempuan korban kekerasan perlu ruang aman untuk mendapatkan konseling, layanan psikologis, dan perlindungan dari stigma institusional. Ketiga, Integrasi Lintas Lembaga BKD/BKPSDM di daerah perlu bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A). Perceraian ASN bukan hanya urusan administrasi kepegawaian, tapi juga bagian dari perlindungan perempuan.
Selanjutnya, terakhir adalah Pelatihan Responsif Gender bagi Pejabat Kepegawaian Pejabat yang menangani urusan perceraian ASN perlu mendapat pelatihan perspektif gender. Tanpa itu, kebijakan akan terus bias, dan perempuan ASN tetap diposisikan sebagai pihak yang harus “bertahan” apa pun yang terjadi.
Pernikahan Bukan Penjara
Apa dampaknya jika perubahan ini benar-benar dilakukan. Tentu, bagi ASN perempuan, akan menjadi mereka memiliki jalan keluar yang bermartabat, terlindungi dari stigma, dan tidak lagi dipaksa hidup dalam siklus kekerasan. Sementara bagi institusi, citra lembaga akan terangkat, karena terlihat mampu melindungi anggotanya, bukan mengekang mereka, dan bagi masyarakat luas, mereka melihat negara serius melindungi perempuan, bahkan di ranah domestik yang selama ini dianggap “urusan pribadi”.
Pernikahan memang sakral, tapi mempertahankannya tanpa keadilan hanya akan memperpanjang luka. Perempuan ASN yang memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun diperlakukan tidak adil bukanlah “pembangkang aturan”, melainkan sosok yang berani memperjuangkan haknya sebagai manusia merdeka.
Sudah waktunya negara meninggalkan stigma lama. Regulasi perceraian ASN harus bertransformasi dari sekadar menjaga citra institusi menjadi instrumen perlindungan yang adil gender. Karena negara tidak boleh menutup mata ketika abdi negaranya sendiri hidup dalam jerat kekerasan, yang ironisnya dilegalkan oleh prosedur yang kaku.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB