• Narasi
  • Romantika Jalanan Bandung dan KRL Jakarta

Romantika Jalanan Bandung dan KRL Jakarta

Identitas kota tercipta dari pengalaman dan pemaknaan warganya yang setiap hari hidup di dalamnya.

Kemacetan di Jalan Raya Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Rabu, 14 Mei 2025. (Foto: Ryan D. Afriliyana/BandungBergerak)

10 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Empat tahun lebih kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan saya diwisuda pada Mei 2025 kemarin. Alangkah beruntungnya saya bisa langsung melanjutkan pendidikan magister setelah lolos penerimaan pascasarjana Universitas Indonesia (UI) pada Juli 2025. Saat ini, sudah satu bulan saya menjalani kuliah di Program Magister Ilmu Susastra dengan peminatan cultural studies di UI. Sebulan ini rasa-rasanya banyak sekali jejak-jejak “Bandung” yang menyeruak dalam pertemuan dengan teman-teman sekelas waktu kuliah di UIN, juga pertemuan dengan teman-teman BandungBergerak dan Kembang Kata di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Rasa rindu pun tiba-tiba membanjiri perasaan, seakan-akan saya harus ikut mereka untuk pulang ke Bandung.

Ada satu hal yang membuat saya merasakan kerinduan pada Bandung, yakni berkendara dengan motor matic di jalan-jalannya yang macet. Sementara di sini, di Jakarta, hampir setiap hari saya menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) dari tempat tinggal saya di Jakarta Timur menuju tempat kuliah di Depok. Saya tidak membawa motor matic kesayangan di Jakarta. Di atas KRL sepanjang perjalanan dari Jakarta Timur menuju Depok, bukan kemacetan jalanan yang dihadapi, tapi, gerbong kereta yang padat dipenuhi kerumunan orang-orang yang berangkat atau pulang kerja. Pengalaman yang hampir sama antara Bandung dan Jakarta, merasakan kepadatan lalu-lalang orang-orang yang bepergian di jam berangkat atau pulang kerja, namun perasaannya jelas berbeda.

Di Bandung hampir semua jalanan di Bandung pernah saya lewati dari dengan dengan motor matic kesayangan, dari Cibiru hingga Cimahi dan dari Ciwidey hingga Lembang. Timur ke barat, selatan ke utara, semuanya telah saya jajal. Wilayah Bandung Timur tentu saja merupakan wilayah yang paling banyak saya lewati dimulai dari Jatinangor hingga Ujung Berung. Hampir setiap hari saya merasakan macet di sepanjang jalan Cinunuk atau banjir di daerah Gede Bage yang bisa membuat knalpot kemasukan air. Belum lagi perjalanan dari Ujung Berung hingga Cicaheum di akhir pekan yang macetnya minta ampun. Mungkin karena semua orang punya rencana yang sama seperti saya yang mau main ke tengah kota atau nongkrong di Caringin Tilu.

Sama halnya dengan kemacetan Ujung Berung–Cicaheum, di daerah utara arah Dago atau menuju Jalan Setia Budi di wilayah anak-anak UPI, sudah pasti di akhir pekan dipenuhi dengan kendaraan  khususnya menuju malam hari. Wilayah selatan Bandung beda lagi, selain macet gara-gara lampu merah yang lamanya minta ampun itu, tentunya ada daerah-daerah langganan banjir semacam Baleendah. Saya pribadi tidak pernah berani untuk pergi hangout ke Ciwidey atau Pangalengan di musim hujan walaupun konon katanya bisa lebih syahdu, tapi itu tidak sebanding dengan paket kombo macet dan hujan. Meskipun jarang sekali saya pergi ke wilayah Bandung Barat setidaknya saya pernah merasakan kemacetan daerah Lembang atau Cibeureum Cimahi. Kemacetan dan budaya aspal jalanan di Bandung sudah saya rasakan semua dengan segala ujaran kebencian yang diutarakan di tengah aspal jalan hingga ditilang polisi di perempatan Buah Batu.

Baca Juga: Bandung Raya Perlu Belajar Membenahi Transportasi Publik dari DKI Jakarta
Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu
Mengurai Perkara Parah Kemacetan Bandung di Mata Orang-orang Muda

KRL Jakarta yang “Hening”

Berbeda dengan jalanan Bandung yang berisik, KRL di Jakarta jauh lebih hening. Hampir semua orang di dalam gerbong menggunakan earphone seakan-akan gerbong kereta tak lagi menjadi ruang publik, mengingat namanya sebagai transportasi publik. Ada tiga klasifikasi yang saya tulis dalam riset etnografi saya tentang interaksi sosial di gerbong KRL. Yang pertama adalah kondisi padat di mana saya harus berdiri dan berdesak-desakan dengan penumpang lain. Kedua adalah kondisi sedang di mana saya harus berdiri, namun gerbong cukup renggang sehingga tidak perlu untuk berdesak-desakan. Dan yang ketiga adalah kondisi renggang di mana saya bisa duduk dengan nyaman. Pola kepadatannya juga sangat mudah untuk dibaca. Di jam berangkat kerja dimulai dari jam 6 hingga 8 pagi, gelombang penumpang sangat tinggi menuju arah pusat Kota Jakarta dan sebaliknya di arah menuju Bekasi atau Bogor gerbong justru sangat renggang. Dan di jam pulang kerja dimulai dari Jam 4 hingga 7 malam, gelombang penumpang yang sangat tinggi menuju arah Bogor atau Bekasi dan sebaliknya menuju arah Kota Jakarta gerbong tidak terlampau padat.

Hanya di KRL saya bisa melihat orang-orang yang tertidur di kursi kereta karena kelelahan kerja. Saya juga merasa bahwa di KRL semua orang tampak setara karena didominasi oleh pekerja kantoran dan mahasiswa. Suasananya juga jarang sekali ramai oleh keributan karena orang-orang tampak menghindari konflik ketika berada di gerbong KRL. Keheningan menjadi perasaan yang dominan ketika berada di gerbong KRL, seakan-akan setiap orang punya ruang privatnya masing-masing di ruang publik yang seharusnya menjadi tempat untuk berinteraksi. Tampaknya orang-orang yang berada di KRL sudah habis terkuras energinya sehabis kerja. Di stasiun KRL terkadang saya melihat orang-orang berlarian mengejar kereta bahkan tanpa bersuara sedikit pun. Sepertinya ini yang membuat Jakarta memiliki tempo yang selalu terasa cepat, seakan-akan berangkat dan pulang itu hanya berlalu dalam sekejap.

Apa perbedaan yang kau temukan? Bagaimana masyarakat saling berinteraksi di sana?

Keheningan dan keramaian adalah dua kosa kata yang paling menggambarkan Jakarta dan Bandung. Jakarta dengan keheningannya dan Bandung dengan kebisingannya. Tentunya yang saya maksud keheningan di sini ada di gerbong KRL, karena jika membahas jalanan Jakarta juga sama saja bisingnya dengan jalan-jalan di Bandung. Namun keramaian di Bandung itu berbeda, selain suara-suara knalpot dan aspal, kamu akan menemukan suara-suara pengamen jalanan atau bahkan dog-dog jika itu di Bandung Timur. Hanya di Bandung saya bisa merasakan kemacetan dan kehujanan sekaligus, tapi di Jakarta adalah engapnya gerbong kereta dengan segala bau keringatnya. Meskipun pada dasarnya keduanya juga mengondisikan tubuhku ke dalam ruang privat, di mana motor matic kesayanganku memberi ruang privat dan earphone yang saya gunakan di KRL juga sama-sama memberikan ruang privat meskipun hanya sekadar imajinasi tentunya. Interaksi sosial yang memungkinkan terjadi di KRL adalah hanya jika kau pergi bersama teman atau keluarga dan interaksi yang terjadi di aspal jalanan Bandung adalah hanya jika kau membawa penumpang atau orang-orang yang marah karena bunyi klakson yang berisik. Pengkondisian ruang oleh teknologi modern itu ternyata sangat mempengaruhi kehidupan kecilku ini, di mana tubuh dipaksa untuk taat pada bentuk ruang di KRL Jakarta atau jok motor dan aspal jalanan Bandung.

Transportasi Bandung yang Buruk

Seperti yang kita tahu bersama tentang Bandung bahwa transportasi umum sangat buruk di sana, sehingga akan jauh lebih mudah hidup ketika kita punya kendaraan pribadi. Kondisi kota yang semacam ini menuntut warganya menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli motor dan tentunya bensin. Jika membicarakan anggaran maka seseorang harus mengeluarkan anggaran rutin jangka panjang untuk motor seperti servis dan membayar pajak kendaraan ditambah anggaran rutin harian untuk membeli bensin. Kondisi tata ruang perkotaan di Bandung juga bisa menghabiskan usia warganya hanya karena menunggu lampu merah. Betapa tidak efisiennya Bandung bagi warganya sehingga membuat saya yang pernah tinggal di sana harus mengeluarkan anggaran yang lumayan untuk sekadar jalan-jalan. Kemacetan jalanan di Bandung tentu saja membuat stres meskipun layak untuk dikenang juga.

Sementara di Jakarta rasanya lebih efisien. Saya hanya perlu mengeluarkan ongkos 3.500 rupiah dari tempat kos ke kampus yang jaraknya padahal sangat jauh. Harga itu rata untuk semua stasiun. Begitu pun Busway seperti TransJakarta atau angkot JakLingko, harganya semuanya rata. Sangat mudah dan sangat murah untuk menyusun anggaran transportasi di Jakarta. Semua transportasi publik yang saling terintegrasi memudahkan saya untuk bepergian tanpa perlu kebingungan. Tidak hanya itu, masalah waktu juga bisa dihitung karena KRL selalu tepat waktu. Tidak ada istilah waktu yang terbuang di Jakarta. Tentunya masalah waktu ini juga sangat penting dalam hidup seseorang karena membuang waktu sama saja dengan membuang usia atau kesempatan.

Jakarta dengan KRL-nya telah mengondisikan warganya menjadi seseorang yang tepat waktu dengan tempo yang serba cepat. Sisi lainnya mungkin kau akan merasa sangat individualis, karena meskipun berada di ruang publik, orang-orang di kereta sangat menghindari interaksi karena tidak mau cari masalah dengan penumpang lain. Di sisi lain, Bandung dengan transportasi publiknya yang buruk memaksa orang-orang untuk lebih memilih kendaraan pribadi dengan anggaran yang cukup besar. Belum sulitnya menghitung waktu perjalanan dan sangat mungkin sekali bagi seseorang di jalanan Bandung waktunya akan terbuang oleh kemacetan. Jalanan Bandung juga menciptakan karakter seseorang yang pemarah karena orang-orang tidak takut untuk meluapkan emosinya. Maka tata ruang urban bukanlah sebuah hal yang sepele, karena itu sangat mempengaruhi identitas kota itu. Identitas kota tercipta dari pengalaman dan pemaknaan warganya yang setiap hari hidup di dalamnya. Seseorang mungkin akan sangat meromantisasi jalanan Bandung dengan segala keindahan kota dan alamnya, tapi juga sangat mungkin meromantisasinya dengan segala persoalannya. Seseorang juga akan sangat meromantisasi Jakarta dengan kereta rel listriknya dengan segala kelebihannya, tapi juga sangat mungkin meromantisasi pengap dan cepatnya waktu berlalu di sana.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//