Jejak Lembang yang Pernah Menjadi Nama Desa, Kecamatan, Kewedanaan, dan Distrik
Lembang punya sejarah panjang. Di zaman kolonial Belanda sempat menjadi distrik dan kewedanaan. Kini menjadi destinasi wisata sejarah.

Anna Joestiana
Ketua Relawan Penanggulangan Bencana Lembang
10 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Lembang adalah nama sebuah desa dan kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, bahkan pernah menjadi nama kewedanaan dan distrik. Hari ini Lembang menjadi destinasi favorit dengan beragam pilihan, salah satunya adalah destinasi wisata sejarah.
Jejak-jejak prasejarah dibuktikan dengan ditemukannya sebaran situs batu obsidian, tempat sembahyang (kabuyutan), patilasan, dan makam leluhur. Seperti situs seperti Situs Buniwangi, Situs Cibengang, Situs Carinin Tilu, Situs Pasir Panyandaan, Situs Sentakdulang, Situs Cisebel, Situs Batulonceng, Situs Puncak G. Bukit Tunggul, dan Situs Puncak G. Palasari. Menurut Garbi Cipta Perdana, dkk. (2020), semua situs tersebut dikelompokkan dalam Kabuyutan Bandung Utara.
Situs lainnya terdapat di sisi utara tepian Danau Bandung Purba yang terkonsentrasi di timur laut, seperti Situs Punclut, Situs Pakar, Situs Bukit Tunggul/Unggul, Situs Batu Lonceng, Situs Palintang, Situs Sentakdulang, Situs Pasir Panyandakan, dan Situs Cibangkonol. Menurut Nurul Laili dkk. (2022) berdasarkan batas administrasinya, maka sebaran situs batu obsidian tersebut terbagi di 3 kecamatan, yaitu Lembang, Cilengkrang dan Cimenyan.
Di Desa Mekarwangi, Kecamatan Lembang, terdapat Situs Buniwangi yang terdiri dari patilasan Prabu Siliwangi, makam keramat, dan mata air Tujuh Pancuran. Menurut kuncen, lokasi makam keramat tersebut dimiliki oleh Kentringmanik atau Nyi Ken Buniwangi yaitu Dewi penguasa mata air (Bron-godin) Sungai Citarum dan merupakan permaisuri Prabu Siliwangi. (W. H. Hoogland, Mooi Bandoeng, 1937)
Selanjutnya di Cibodas-Lembang terdapat petilasan Dipati Ukur (Lubis, 2003:16). Menurut Lismiyati (2016), di tahun 1627, saat berselisih dengan VOC dan Mataram, Dipati Ukur bersama pasukannya harus berpindah-pindah tempat. Jejak perpindahannya selain di Culanagara, Gunung Leutik ke Ciparay, juga di perbukitan Ci Panjalu dan Ci Patapaan, sekitar wilayah kampung Palintang saat ini.
Pada tahun 1713, nama “Lembang” tertulis sebagai nama tempat untuk melakukan pendakian mencari belerang ke Gunung Tangkuban Parahu. Hal ini berdasarkan catatan Abraham Van Riebeeck, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-18 yang dimuat di harian Bataviaasch nieuwsblad, 14 Mei 1925 : “Kita dapat melihat Tangkoeban Prahoe sepanjang hari, namun untuk mendakinya dibutuhkan kaki yang kokoh dan waktu yang banyak. Pertama naik ke Lembang lalu naik kuda dan saat kondisi jalur mulai parah, harus dilanjutkan dengan berjalan kaki, yang memakan waktu 21 jam lagi dari tempat itu.”
Abraham Van Riebeeck adalah orang pertama (selain pribumi) yang melakukan pendakian ke puncak Gunung Tangkuban Parahu dan juga orang yang pertama kali menulis nama “Lembang”.
Pada akhir abad 18 dan awal abad 19 M, nama “Kebon Hui” (Parongpong) muncul sebagai bagian dari komunitas muslim yang dirintis oleh keluarga Bani Yahya. Selanjutnya keluarga inilah yang melakukan penyebaran Islam ke wilayah sekitarnya, yaitu Panyandaan Cisarua, Kebonhui, Cigugur Girang-Parongpong dan Parigilame, dan Ciwaruga-Parongpong. (sumber dari arsip silsilah keluarga besar Bani Yahya bin Abdul Jabbar, Ajid Hakim dan Samsudin 2020)
Selanjutnya pada tahun 1811, nama “Lembang” muncul saat berstatus sebagai ibukota Distrik Oedjoengbroeng Kaler. Saat itu Gubernur Jenderal Raffles membagi wilayah Oedjoengbroeng secara horizontal menjadi Distrik Oedjoengbroeng Kaler beribukota di Lembang dan Distrik Oedjoengbroeng Kidoel beribukota di Oedjoengbroeng (sekitar balai kota sekarang).
Di Jayagiri Lembang terdapat monumen Junghuhn. Sejarahnya berawal saat Junghuhn bersama Asisten Residen Nagel antara 23-26 Juli 1837 melakukan perjalanan ke Cisondari-Gunung Tangkubanparahu dan beberapa tempat lainnya. Catatan ditulis tanggal 20 Agustus 1843, kemudian diumumkan dalam Indisch Magazijn pada 1844. Catatannya berisi penemuan reruntuhan ‘peradaban Hindu’ (Hindoe-oudheden) di Pasir Cipanjalu dan Pasir Pamoyanan.
Akhirnya tanggal 15 Juli 1857, Junghuhn sekeluarga pindah ke Lembang sampai lahir anak pertamanya pada 24 Agustus 1857, bernama Frans Lodewijk Christiaan. Sesuai dengan peta Kaart van de residentie Preanger Regentschappen, no. II. tahun 1857, nama “Lembang” saat itu tertulis sebagai nama sebuah desa.
Baca Juga: Pengabaian Risiko Bencana di Surga Wisata Lembang
Menyoal Informasi di Media Sosial tentang Ancaman Gempa Bumi Sesar Lembang yang Meresahkan
Berdiri di Atas Gawir Sesar Lembang
Perubahan Lanskap Menjadi Perkebunan
Lembang mengalami perubahan lanskap menjadi perkebunan saat diberlakukannya Undang-Undang Agraria pada 1870. Akibatnya berdatangan para ‘Preanger Planters’ ke kawasan Lembang, yaitu para pengusaha perkebunan teh dari rumpun keluarga van der Hucht, yang terdiri dari keluarga Holle, Kerkhoven, dan Bosscha (Her Suganda, 2014: 20).
Nama “Lembang” muncul kembali dalam buku : “Java, geographisch, ethnologisch, historisch” yang ditulis oleh Pieter Johannes Veth, pada tahun 1882. Tulisannya : “Pertama kali kami melewati bagian barat Bandung menuju Tjimahi, ibu kota Tjilokotot. Nama tempatnya diambil dari nama sungai Tji Mahi, anak sungai Tji Tarum, yang berhulu di G. Tangkubanparahu. Pada mulanya mengambil jalur punggungan G. Burangrang yang tajam. Di tengah lembah ini melebar ke Danau Lembang - Tji Mahi yang indah. Danau ini sering didatangi badak dan banteng, serta ratusan unggas air. Di danau yang jernih dan tenang, puncak G. Burangrang bercermin.
Penamaan “Lembang” terpenting yaitu pada saat ditetapkan menjadi sebuah Onderdistrik Lembang dibawah Distrik Oedjoengbroeng Koelon. Dasarnya yaitu Keputusan Gubernur Jenderal Frederik s'Jakob tertanggal 16 Oktober 1882, yang dimuat dalam Staatsblad Nomor 252 tahun 1882, yaitu tentang pembentukan onderdistrict di setiap daerah.
Seiring dengan pembentukan onderdistrict Lembang, pada tahun 1883 diajukan rencana pembangunan jalur kereta Lembang-Bandung-Cikalong-Kopo-Banjaran-Cisondari oleh pengusaha N.H. Niertrasz. Namun pengajuannya tidak pernah disetujui oleh pemerintah kolonial. (Agus Mulyana, 2017)
Meskipun tidak ada rel, Lembang ternyata pernah mempunyai landasan pacu untuk pesawat terbang. Hal ini berdasarkan dokumen yang dirilis Departemen Perusahaan Pemerintah Hindia Belanda sekitar 1931, bahwa terdapat landasan pacu darurat bernama Noodlanding Terreinen Tjibogo. Fungsinya sebagai tempat darurat bagi pesawat kehabisan bensin atau cuaca buruk. Selanjutnya dibangun juga hotel pertama di Lembang yaitu Hotel Lembang yang pada tahun 1918 berganti nama menjadi Grand Hotel Lembang. Kemudian tahun 1921 dibangun juga Observatorium Bosscha.
“Lembang” statusnya naik menjadi Distrik Lembang berdasarkan Keputusan Gubernur Jendral Nomor 30 tanggal 26 Oktober 1926, Lembaran Negara Nomor 456. Distrik Lembang membawahi onderdistrict Lémbang, onderdistrict Cipaganti, dan onderdistrict Cisarua.
Beberapa tahun kemudian terbit keputusan Gubernur Jenderal Nomor 5 tanggal 8 Januari 1934, Lembaran Negara Nomor 17 Tentang Penghapusan Distrik Lembang menjadi Kewedanaan Lembang membawahi onderdistrict (Ketjamatan) Cisarua.
Menjadi Medan Pertempuran
Keberadaan Masjid Besar Lembang (MBL) atau disebut Masjid Kaum, dibangun pada tahun 1940-an ikut mengisi kekayaan sejarah di kawasan Lembang. Misalnya pada masa pemberontakan DI/TII, masjid ini menjadi tempat perlindungan bagi warga Jayagiri yang rumahnya dibakar. Walaupun masih sederhana, dengan dinding campuran kayu dan tembok, masjid ini memberikan rasa aman bagi para pengungsi.
Pada sekitar tahun 1942, kawasan Lembang pernah menjadi jalan masuk tentara Jepang untuk menduduki kota Bandung. Peristiwanya dikenal dengan Pertempuran Ciater (Ciater Stelling). Pada tanggal 7 Maret 1942, Jepang bergerak di sebelah barat jalan utama menuju Lembang kemudian membersihkan jalan utama antara Lembang dan Ciater. Pertempurannya berlangsung selama 3 hari yang berakhir dengan pernyataan menyerahnya Hindia Belanda ke Jepang di Pangkalan Udara Kalijati, Subang.
Kawasan Lembang selanjutnya pernah menjadi wilayah pertempuran dengan sekutu, yaitu pada tanggal 27 November 1945, saat Jenderal Mac Donald memberi sebuah ultimatum kepada penduduk untuk meninggalkan Bandung Utara paling lambat tanggal 29 November 1945. Batalyon Bandung Utara kemudian meresponnya dengan membagi daerah pertahanannya menjadi tiga lini, yaitu di Villa Isola sebagai pos terdepan pasukan TKR. Kedua di Cirateun, Cihideung, dan Cijengkol sebagai pos pengawas di bukit Peneropong Bintang Bosscha. Ketiga di Lembang sebagai markas batalyon dan pasukan cadangan.
Beberapa pertempuran terjadi di wilayah Lembang, Dago, Cijengkol, Cihideung, Cisarua. Peristiwa pertempuran di sekitar Villa Isola banyak memakan korban, yaitu dengan gugurnya Kapten Abdul Hamid, Sersan Badjuri, Sersan Surip, dan Sersan Sodik (Sumantri. 1995:8).
Para pejuang terpaksa mengundurkan diri lewat Maribaya menuju Cibodas saat Lembang diduduki oleh sekutu tanggal 10 Maret 1946. Akhirnya para pejuang membuat markas batalyon di Perkebunan Kina Gunungkasur dan Cikapundung. Sedangkan H. Rusdi bertugas melakukan pengungsian ke pegunungan, dengan melakukan pembumihangusan daerah Lembang (Sumantri. 1995:9).
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB