Pemerintah dan Ekosistem Kritik
Pemerintah jangan takut pada kritik. Keberadaan kritik yang tajam, argumentatif, dan konsisten adalah cermin sehatnya demokrasi.

Pinggala Adi Nugroho
Lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Teknokrat Indonesia. Mencoba kembali menulis setelah setahun vakum. Dapat dihubungi di instagram n_adingrho
12 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Ada satu kebiasaan lucu dari banyak pejabat publik kita: mereka senang dipuji, tapi alergi terhadap kritik. Kalau bisa, semua media hanya menampilkan senyum mereka saat memotong pita, membagikan bantuan, atau menanam pohon di depan kamera. Sisanya? Tidak penting. Rakyat yang mengeluh dianggap kurang bersyukur. Warga yang protes dicap tidak tahu diri. Aktivis yang bersuara dianggap cari panggung. Dan yang paling mutakhir, kritik dianggap sebagai serangan pribadi. Luar biasa.
Padahal, dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah hal paling wajar. Seperti garam dalam masakan: kalau hilang, rasanya hambar. Tapi rupanya, kita sedang berada di dapur yang berbeda , di mana bumbu utama adalah pujian dan tepuk tangan, bukan evaluasi. Akibatnya, muncul yang disebut sebagai “ekosistem kritik yang sekarat”. Kritik makin dianggap mengganggu, bukan memperbaiki. Mereka yang menyuarakan keresahan rakyat malah dikejar dengan pasal-pasal karet. Yang lebih ironis: pejabat bilang siap dikritik, tapi begitu dikritik, lapor polisi. Oh, betapa besarnya jiwa pemimpin kita!
Tidak jarang, ketika kritik mulai mencuat entah dari masyarakat sipil, mahasiswa, atau netizen biasa, respons pemerintah justru berupa klarifikasi panjang yang tidak menjawab apa-apa. Kalau bisa, diselipkan jargon seperti “ini sudah sesuai prosedur”, “kita mengikuti peraturan”, atau “masyarakat belum paham kebijakan ini”, atau malah yang terjadi saat ini malah lebih parah dan sering memicu amarah rakyatnya sendiri.
Seolah-olah, rakyat yang selalu keliru memahami, bukan pemerintah yang keliru bertindak.
Ini bukan hanya persoalan komunikasi. Ini soal mentalitas kekuasaan yang tidak siap dikoreksi. Kritik bukan ditanggapi dengan diskusi, melainkan ditutup dengan retorika kosong. Sementara masalah nyata tetap menggantung. Polusi udara dibilang karena warga terlalu banyak pakai motor, bukan karena transportasi publik yang payah. Banjir dianggap musiman, bukan karena tata kota amburadul. Dan yang paling klise: ekonomi sedang baik-baik saja, padahal harga cabai bikin kepala berasap.
Baca Juga: Quarter Life Crisis, Kegelisahan Anak Muda yang Dijual Berulang
Jalan Tikus Demokrasi, Peran Besar Media Sosial dalam Membentuk Opini Publik
Demokrasi Eceran, Elite Grosiran
Ketika Kritik Dianggap Ancaman
Yang lebih mengkhawatirkan, kritik kini mulai dikriminalisasi. Mengeluh di media sosial bisa berujung laporan polisi. Mahasiswa yang menyampaikan aspirasi dikawal aparat seolah sedang merancang kudeta. Bahkan jurnalis pun tidak luput dari intimidasi. Padahal kritik yang ditujukan oleh rakyat adalah bentuk kepedulian dan cinta atas apa yang sedang terjadi.
Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah makin tidak bisa membedakan antara kritik yang membangun dan ujaran kebencian. Bedanya tipis? Tidak juga. Yang tipis justru kulitnya. Oposisi politik pun nasibnya tidak lebih baik. Dalam sistem demokrasi parlementer, oposisi seharusnya menjadi pilar penyeimbang. Tapi di negeri ini, oposisi sering dilabeli sebagai penghambat pembangunan. Malah lebih parahnya adalah oposisi sering dianggap sebagai musuh dalam selimut karena memiliki perbedaan pendapat dan pikiran. Bukankah negara ini termasuk negara demokrasi? Lantas mengapa kritik yang membangun dan memberi masukan berbeda sering dianggap melawan dan pemberontak? Bukankah kita hidup di bawah ideologi Pancasila yang menekan sebuah prinsip kesatuan dan kesatuan bersama? .
Ketika semua suara diseragamkan, negara kehilangan denyut nalar kritisnya. Demokrasi berubah jadi seremoni. Ada pemilu, tapi tidak ada pilihan. Ada parlemen, tapi tidak ada perlawanan. Yang tersisa hanya barisan pemuja kekuasaan, yang tepuk tangannya lebih nyaring dari suara rakyat sendiri.
Kondisi ini menular ke masyarakat. Karena kritik sering dibalas represi, masyarakat akhirnya memilih diam. Rasa takut mengalahkan hasrat untuk bersuara. Media menjadi hati-hati, kampus kehilangan daya dobrak dan kejeniusannya, dan warga biasa menahan diri. Jangan sampai salah bicara, bisa panjang urusannya.
Akhirnya, kritik hanya datang dari dua tempat: akun anonim dan warung kopi. Di dunia nyata, semua tampak tenang dan terkendali. Tapi di bawah permukaan, kemarahan terus mengendap. Pemerintah mungkin merasa stabilitas sudah tercapai. Tapi jangan lupa, diamnya rakyat bukan selalu tanda setuju. Kadang itu cuma strategi bertahan hidup.
Masyarakat Dipaksa Jinak
Kita coba mundur sedikit ke belakang untuk mengingat sejenak kejadian, Ketika oposisi dilemahkan dan ekosistem kritik tidak berjalan, sebuah negara berada di jalur berbahaya menuju kekuasaan absolut. Pemerintah tanpa pengawasan mudah terjebak pada ilusi kebenaran sendiri. Tanpa lawan politik yang kritis dan masyarakat yang berani bersuara, kesalahan kebijakan akan terus berulang tanpa koreksi.
Kita bisa melihat contohnya pada masa Orde Baru di Indonesia. Oposisi politik dibungkam, media dibatasi, dan kritik dianggap ancaman. Akibatnya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur. Rakyat tidak punya ruang menyuarakan kegelisahannya secara terbuka, hingga akhirnya kemarahan itu meledak dalam Reformasi 1998.
Contoh ekstrem lainnya adalah Korea Utara. Negara ini sama sekali tidak memiliki oposisi. Semua media dikendalikan negara, rakyat hidup di bawah pengawasan ketat, dan sekadar menyampaikan pendapat bisa dianggap sebagai kejahatan berat. Akibatnya, rakyat hidup dalam ketakutan, informasi tidak transparan, dan dunia luar nyaris tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam negeri atau sebaliknya. Kekuasaan yang absolut membuat negara ini tertutup terhadap evaluasi, dan kesalahan dibiarkan terus berlangsung tanpa perbaikan.
Atau yang baru-baru ini terjadi ketika salah satu Jurnalis CNN mengalami pencabutan kartu liputan oleh istana usai Bertanya soal Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto. Padahal hal ini telah diatur dalam fungsi pers yang mengemban amanah publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Tanpa oposisi, tidak ada alternatif kebijakan. Parlemen hanya menjadi stempel formal, bukan tempat perdebatan yang sehat. Masyarakat kehilangan saluran legal untuk menyampaikan kritik. Ketika ruang-ruang ini tertutup, ketidakpuasan publik tak punya tempat, hingga akhirnya bisa berubah menjadi aksi massa atau kekacauan sosial.
Sama seperti gunung yang tampak tenang tapi ternyata menyimpan magma, masyarakat yang dibungkam bisa meledak kapan saja. Sejarah sudah berkali-kali membuktikan bahwa represi tidak pernah menciptakan ketenangan abadi namun hanya penundaan masalah untuk masalah lain yang lebih besar.
Oposisi dan Kritik adalah Investasi Demokrasi
Lucunya, pemerintah sering bicara tentang "inovasi", "transformasi", dan "digitalisasi". Tapi lupa satu hal: tidak ada inovasi tanpa ruang untuk berpikir berbeda. Dan tidak ada transformasi tanpa keberanian mengakui kesalahan.
Kalau pemerintah benar-benar ingin maju, mereka harus berhenti takut pada kritik. Justru keberadaan kritik yang tajam, argumentatif, dan konsisten adalah cermin sehatnya demokrasi. Kritik itu bukan sabotase. Ia adalah bentuk cinta. Karena orang yang peduli akan bicara, meski risikonya besar.
Kritik yang tidak didengar hari ini, bisa berubah jadi amarah yang tak terkendali besok. Dan ketika sudah sampai titik itu, dialog sudah terlambat. Yang ada hanya saling tuduh dan pembalasan. Kita pernah ke sana. Jangan ulangi lagi.
Mudah bagi pemerintah untuk bicara soal partisipasi publik. Tapi yang sulit adalah benar-benar mendengar. Dan lebih sulit lagi: menahan diri untuk tidak membalas kritik dengan kuasa. Tapi di situlah kualitas kepemimpinan diuji bukan pada berapa banyak proyek diresmikan, tapi seberapa lapang dada menerima suara yang tidak enak didengar untuk kemakmuran dan menjunjung tinggi demokrasi di Indonesia. Karena itu, membangun ekosistem kritik bukan soal gaya, tapi kebutuhan. Bukan soal popularitas, tapi keberanian. Dan bukan soal menjaga citra, tapi menjaga masa depan.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB