Quarter Life Crisis, Kegelisahan Anak Muda yang Dijual Berulang
Narasi quarter life crisis seolah tak pernah berhenti dalam slogan semu. Hal ini dipecah menjadi strategi bisnis berbagai lini industri yang mengincar anak muda.

Pinggala Adi Nugroho
Lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Teknokrat Indonesia. Mencoba kembali menulis setelah setahun vakum. Dapat dihubungi di instagram n_adingrho
29 Juli 2025
BandungBergerak.id – Quarter life crisis. Kalimat yang amat sangat populer sejak tahun 2000-an awal. Kata ini juga sering dipakai di akun-akun Instagram berbau motivasi, podcast, atau bahkan caption galau. Bagi orang yang belum merasakan apa arti dan makna dari kata “Quarter Life Crisis”, pasti akan acuh dan merasa bodo amat. Namun bagaimana dengan yang sedang merasakan atau sudah merasakan?
Fase ini terjadi di usia 20-an hingga menjelang 30 tahun. Kata ini seolah menjadi mantra sakral yang berisi: wajar merasa bingung, wajar merasa gagal, wajar merasa orang-orang lebih berhasil dan sebagainya. Kata- kata ini tak hanya menjadi renungan dan tren belaka saat ini. Tapi di balik itu semua, pernahkah kita bertanya: benarkah krisis ini sekedar fase yang wajar, atau justru sudah menjadi produk baru yang laku dijual berkali-kali di era digital yang menjual kegelisahan?
Baca Juga: Puisi Sebagai Refleksi Pemikiran dan Perasaan dari Setiap Insan Manusia
Sepakbola adalah Cinta yang Tak Akan Pernah Menjadi Mantan
Kenangan Indah yang Ternyata Menipu, Hal-hal yang Dulu Kita Anggap Enak Ternyata Gak Gitu-gitu Amat!
Fase Hidup atau Target Pasar?
Merasa tersesat di usia 20-an itu wajar. Kalimat ini sering kali terdengar di berbagai akun motivasi yang tersebar di seluruh media sosial. Bagaimana pengemasannya? Tentu dibalut dengan musik sendu ataupun dengan lirik yang seolah dunia tak lagi berpihak kepada kita, klip orang menatap jendela yang di luarnya sedang hujan, lalu muncul dengan slogan: “Kamu tak sendirian kok, kami di sini menemani perjalananmu.” Sepintas, ini seperti pelukan hangat dari malaikat surga yang berusaha untuk merangkul kita agar tak merasa sendirian. Namun faktanya di dunia ini tak ada yang benar-benar tulus dan gratis. Selalu ada udang di balik batu. Ada fakta yang jarang dikupas dan tersembunyi di sana: quarter life crisis telah dikemas rapi, dipoles dramatis, dibungkus dengan cantik, lalu dijual kembali sebagai “komoditas” yang laku keras di pasaran.
Quarter life crisis itu nyata adanya di fase hidup umat manusia. Merujuk para ahli, Menurut Robbins dan Wilner, Quarter Life Crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan yang mencakup karier, pertemanan, keluarga, bahkan kehidupan percintaan yang umumnya terjadi di sekitar usia 20 tahunan. Survei LinkedIn 2022 menyebutkan, 75 persen profesional muda global mengaku pernah mengalami quarter life crisis, dengan keluhan umum: bingung mengenai karier, merasa tertinggal, hingga tertekan oleh ekspektasi keluarga.
Fenomena ini punya dua sisi yang bisa kita pahami. Yang pertama adalah sisi baik yang muncul karena masyarakat sekarang sudah berani berbicara terkait hal ini. Namun di sisi lain, Industri sangat cepat menangkap tren ini sebagai peluang bisnis. Krisis di usia 20-an diolah menjadi sebuah narasi yang “relate” demi mencari nama dan mendekatkan para brand dengan anak muda yang butuh “dimengerti” perasaannya. Mulai dari iklan kopi di sosial media, film dan series TV, seminar motivasi, ebook self help, atau bahkan sekarang ada jasa startup yang menjual jasa konseling online. Kegelisahan ini ditransformasi menjadi narasi, lalu dilekatkan ke barang, layanan, atau konten.
Kapitalisasi Galau
Narasi quarter life crisis seolah tak pernah berhenti di dalam sebuah slogan semu. Hal ini dipecah menjadi strategi bisnis di berbagai lini industri anak muda. Sebagai contoh, iklan kopi kekinian dipasarkan dengan embel-embel yang berbau hal tersebut. Kemudian startup konseling kesehatan mental yang berisi para konselor yang siap mendengarkan semua keluhan dan kegelisahan klien dengan mematok tarif tertentu. Atau bahkan industri film yang makin ramai merilis tema anak muda yang hilang arah, toxic relationship, atau depresi. Hasilnya? Para konsumen merasa dipahami, lalu brand pelan-pelan merangkak naik dan meraup keuntungan dari kapitalisasi galau ini.
Apakah ada yang salah? Tidak ada sama sekali. Lalu apa yang dicermati? Nah di sinilah paradoksnya. Di satu sisi, narasi quarter life crisis ini bisa menenangkan, bahwa kegalauan bukanlah aib. Namun, framing yang berlebihan akan membuatnya menjadi identitas utama dan permanen. Atau bisa dibilang dapat menyebabkan “menye-menye” berkepanjangan. Para anak muda merasa wajar apabila mengalami stuck dan menyerah begitu saja tanpa berusaha lebih keras. Atau yang lebih parah adalah mereka menjadikannya pembenaran untuk tidak bergerak maju. Di titik inilah krisis identitas personal berubah jadi “komoditas” bisnis.
Industri sangat paham dengan apa yang terjadi dan adanya “produk” dari kegalauan quarter life crisis ini. Rasa galau = ladang penjualan = menghasilkan uang. Celakanya adalah ketika tren galau ini dipelihara terus menerus, produk-produk ini menjadi solusi semu. Penonton jadi kelewat nyaman dan relate, tapi lupa berpikir lebih jauh: “Solusi nyatanya seperti apa ya?” Dan lebih parahnya lagi, sasaran empuk di situasi ini adalah para mereka yang masih labil dan sering termakan oleh pencerahan instan. Semua permasalahan ini dapat segera teratasi apabila tidak ada framing berlebihan dan adanya kesadaran dari diri masing-masing untuk bangkit dan tidak menjadi pribadi yang gampang diracuni oleh konten-konten industri.
Solusi Nyata
Kalau sudah tahu kegelisahan anak muda sering jadi bahan dagangan, pertanyaannya: apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya bukan cuma berharap brand berubah, tapi juga bagaimana kita sebagai audiens lebih sadar dan bijak.
Pertama, kalau kita merasa benar-benar stuck, jangan hanya berhenti di konten motivasi atau series yang bertemakan kegalauan. Coba cari pertolongan profesional: psikolog, atau mentor yang memang paham caranya membantu orang menemukan arah. Sekarang aksesnya makin mudah ada konseling online, komunitas diskusi dan sejenisnya.
Kedua, jangan ragu belajar hal baru. Banyak orang terjebak quarter life crisis karena merasa tidak punya arah, padahal mungkin belum mencoba banyak pintu. Ketika kita menghadapi suatu kegagalan dan belum menemukan arahnya, jangan ragu untuk membuka pintu yang lain. Dunia akan terus berjalan dan tidak akan pernah peduli apa yang kamu rasakan.
Ketiga, kita perlu lebih kritis saat melihat tren yang terjadi atau influencer bicara soal quarter life crisis. Apakah mereka benar-benar menawarkan solusi? Atau hanya menjual rasa relate agar kita terus membeli produknya dan hanya berkutat di lingkaran itu saja. Kalau cuma memelihara galau tanpa arah keluar, sebaiknya kita pilih stop menelan narasi itu mentah-mentah.
Terakhir, jangan sungkan membangun ruang aman di sekitar kita sendiri. Curhat ke teman dekat, keluarga, atau komunitas justru sering lebih menenangkan daripada curhat ke iklan atau mencari pembenaran di konten-konten serupa yang mendukung kegelisahan tak berujung tersebut. Galau itu wajar, tapi kalau disimpan sendirian, makin lama makin berat. Membagi cerita ke orang yang bisa dipercaya sering jadi awal yang lebih sehat daripada hanya menggantungkan diri pada janji motivasi instan.
Intinya, quarter life crisis bukan aib, tapi juga bukan identitas tetap. Dan tidak ada yang salah dalam mengomersialkan kegalauan dari quarter life crisis ini menjadi sebuah produk yang dapat menghasilkan uang. Tetapi yang perlu di ingat adalah jangan jadikan ini identitas tetap dan jangan framing berlebihan.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB