• Opini
  • Jalan Tikus Demokrasi, Peran Besar Media Sosial dalam Membentuk Opini Publik

Jalan Tikus Demokrasi, Peran Besar Media Sosial dalam Membentuk Opini Publik

Media sosial dapat memperkuat atau melemahkan demokrasi, bergantung pada bagaimana cara kita menggunakannya.

Pinggala Adi Nugroho

Lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Teknokrat Indonesia. Mencoba kembali menulis setelah setahun vakum. Dapat dihubungi di instagram n_adingrho

Aktivisme digital, yang juga rentan direpresi, merawat keterkejutan, harapan, dan daya tahan perjuangan. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

11 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Sudah sejak lama media telah menjadi pilar utama dalam demokrasi di suatu negara, termasuk di Indonesia. Media berperan sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Jika dulu radio, koran, majalah ataupun televisi memainkan perannya sebagai sumber informasi utama, kini media sosial seperti Tiktok, Facebook, Instagram, maupun Twitter yang sekarang kita kenal sebagai X telah mengambil alih kekuasaan dalam penyebaran informasi, tak terkecuali di ranah politik. Hanya dengan hitungan detik saja, informasi yang di dapat dan di sebarkan bisa menjalar ke berbagai kalangan. Namun, kondisi ini bukannya tanpa risiko. Hoaks, propaganda digital, sampai polarisasi opini semakin marak terjadi. Media sosial tak lagi sebatas ruang interaksi dan kesenangan belaka saja, tetapi telah beralih untuk berbagai kepentingan untuk menggiring opini publik. Namun, apakah media sosial benar-benar memperkuat demokrasi di Indonesia atau malah memperkeruh dari segala sisi yang ada ?

Menurut Kotler dan Keller (2012:568), media sosial merupakan sarana bagi konsumen untuk berbagi informasi teks, gambar, audio, dan video dengan satu sama lain dan dengan perusahaan lainnya. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa media sosial dapat digunakan Dalam dunia politik, media sosial memungkinkan politisi dan partai untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, menyebarkan pesan kampanye dalam berbagai format seperti teks, gambar, audio, dan video. Hal ini memberikan mereka keuntungan dalam membangun citra, meningkatkan visibilitas, serta menggiring opini publik tanpa harus repot untuk sering terjun ke lapangan dan bersentuhan dengan masyarakat.

Penggunaan video pendek di TikTok atau video reels di Instagram dapat menciptakan daya tarik emosional yang lebih kuat dibandingkan teks biasa. Sementara itu, infografis di Twitter atau Facebook dapat digunakan untuk menyederhanakan pesan politik agar lebih mudah dipahami oleh khalayak luas. Algoritma platform juga memainkan peran vitalnya di ranah ini. Dengan pencitraan dan produksi konten politik melalui media sosial yang secara terus menerus dilakukan, maka algoritma platform akan menentukan konten mana yang akan muncul di beranda pengguna. Akibatnya adalah pesan-pesan ini dapat menyebar dengan sangat cepat dan menjangkau target audiens yang lebih spesifik.

Contoh lainnya adalah pemilihan umum di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.  Media sosial memainkan perannya dengan amat sangat agresif dan krusial dalam membentuk persepsi publik terhadap kandidat yang sedang bertarung di arena politik. Strategi komunikasi politik yang efektif di media sosial dapat mengubah narasi, membentuk citra kandidat, membentuk opini dan bahkan menentukan hasil pemilu. Hal ini juga memunculkan ruang diskusi yang lebih luas dan menciptakan pertarungan ide-ide baru di dalamnya.

Baca Juga: Sepakbola adalah Cinta yang Tak Akan Pernah Menjadi Mantan
Kenangan Indah yang Ternyata Menipu, Hal-hal yang Dulu Kita Anggap Enak Ternyata Gak Gitu-gitu Amat!
Quarter Life Crisis, Kegelisahan Anak Muda yang Dijual Berulang

Mobilisasi Massa di Era Digital

Saat ini media sosial bukan hanya sebagai alat komunikasi saja, lebih daripada itu media sosial telah menjadi alat yang ampuh dalam menggerakkan massa untuk menyuarakan aspirasi. Sebagai contoh, dengan satu unggahan di X, Facebook, ataupun Instagram, informasi tentang ketidakadilan dapat menyebar dengan amat sangat cepat dan menjadi sesuatu yang viral. Apabila telah viral di sosial media, sudah pasti gerakan unjuk rasa akan tumpah di jalan raya dengan dihadiri ratusan bahkan ribuan massa. Gerakan seperti #GejayanMemanggil, #MahasiswaBergerak, #Kaburajadulu, #IndonesiaGelap adalah beberapa contoh kecil dari sekian banyak contoh yang ada. Hal ini juga menunjukkan bahwa bukti bagaimana media sosial mampu membangun solidaritas dan menekan pemerintah agar lebih responsif terhadap tuntutan publik dan menjadi pemerintah yang adil.

Namun, di tengah keterbukaan di era digital ini juga membuka celah di sisi manipulasi informasi. Akun anonim ataupun akun palsu sering kali membuat kerusuhan di media sosial dengan menyebarkan hoaks dan menggiring opini buruk untuk menyudutkan satu pihak. Lebih parahnya, saat ini kita sudah mengenal teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang bisa memperburuk penyebaran hoaks. Mungkin banyak dari kita pernah menemui konten video hoaks yang menampilkan suatu tokoh publik di Indonesia yang suaranya di edit menggunakan teknologi AI dan yang dibicarakan tidak sesuai dengan aslinya. Sebagai masyarakat Indonesia yang baik dalam bermedia sosial, kita harus bijak dan pintar memfilter konten yang kita konsumsi. Jangan sampai keterbukaan ini memecah belah ketenteraman kita sebagai masyarakat Indonesia.

Media sosial yang seharusnya menjadi ruang diskusi justru semakin memperdalam polarisasi. Algoritma yang dirancang untuk menampilkan konten sesuai minat pengguna menciptakan echo chamber, di mana seseorang hanya terpapar pada sudut pandang yang mereka setujui dan mengakibatkan seseorang memiliki pemikiran yang sempit. Perbedaan pendapat semakin sulit diterima dan tak jarang mengakibatkan situasi menjadi anarkis.

Membangun Demokrasi Digital yang Sehat

Diskusi politik yang sehat sering kali berubah menjadi ajang saling serang. Bukan lagi adu gagasan, tetapi perang komentar penuh kebencian. Politik identitas semakin diperuncing, dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memperkuat dukungan atau menjatuhkan lawan. Isu SARA mudah dimainkan demi kepentingan elektoral. Jika tidak diwaspadai, fenomena ini dapat merusak demokrasi dan memperlebar jurang perpecahan sosial yang semakin sulit dijembatani.

Demokrasi digital yang sehat hanya bisa tercapai jika masyarakat memiliki kesadaran untuk menyaring informasi dengan bijak. Literasi digital harus menjadi fokus utama, bukan sekadar kemampuan mengakses internet, tetapi juga keterampilan membedakan fakta dari propaganda. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai sumber berita agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang sengaja dibentuk demi kepentingan tertentu.

Selain itu, platform media sosial juga memiliki tanggung jawab untuk lebih transparan dalam mengatur algoritma serta mencegah penyebaran hoaks. Regulasi yang diterapkan harus mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan keamanan informasi. Demokrasi digital bukan hanya soal kebebasan berbicara, tetapi juga bagaimana semua pihak berperan dalam menjaga ruang diskusi yang sehat, terbuka, dan tidak memicu perpecahan.

Pada akhirnya, media sosial hanyalah alat, apakah ia akan memperkuat atau melemahkan demokrasi bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Dengan literasi digital yang lebih baik dan regulasi yang tepat, media sosial dapat menjadi kekuatan positif dalam membangun demokrasi yang lebih sehat dan inklusif di Indonesia.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//