Fotografer Pernikahan: Perdebatan antara Visual dan Harga
Fotografi pernikahan sebagai representasi budaya menekankan pemahaman literasi visual serta ekosistem yang holistik. Fotografer bukan sekadar memotret perayaan.

Sandi Jaya Saputra
Dosen dan Seniman
12 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Ada masanya saya menjadi fotografer pernikahan, berburu foto model, bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM), berkomunitas, dan mengikuti berbagai macam kegiatan agar dianggap sebagai fotografer. Dari sekian banyak aktivitas fotografi, yang paling bertahan hingga saat ini adalah memotret pasangan pra-pernikahan dan resepsi pernikahan –meskipun lebih sering pra-pernikahan, karena kambing guling lebih menarik ketimbang memotret resepsi pernikahan. Setidaknya hal tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) atau semacam “Jumat Berkah” versi fotografer. Jika menelisik tema diskusi “Perang Harga vs Perang Visual: Perspektif dalam Industri Fotografi Pernikahan”, bisa diasumsikan saya termasuk salah satu fotografer yang dianggap merusak harga.
Memotret pra-pernikahan dan resepsi pernikahan adalah aktivitas komersial pertama yang saya lakukan. Alasannya, karena hal tersebut paling mudah dilakukan dengan portofolio yang masih minim. Sepengetahuan saya, belum pernah ada revisi dari pengantin atas kinerja saya, berbeda dengan ketika memotret untuk kebutuhan iklan. Karena klien foto pernikahan berasal dari beragam skala ekonomi, maka selera visual dan kemampuan keuangannya pun cukup beragam. Posisi klien dalam fotografi pernikahan, menurut saya, jarang dibicarakan. Fotografer pernikahan lebih sering sibuk mengurusi estetika, harga, asosiasi, dan sebagainya. Padahal, hal yang jarang diperhatikan justru adalah siapa sebenarnya klien fotografi pernikahan itu.
Baca Juga: Keriaan Fotografi di Kampung Braga
Memori Matahati, Merayakan Keindahan dan Kehangatan Sosok Ibu Melalui Fotografi
Para Seniman Mengarsipkan Sisa-sisa Masa Depan di Kota Bandung, Merekam Ingatan Melalui Fotografi dan Lagu Sabubukna
Representasi dan Simbolisme Kebudayaan
Fotografi pernikahan bukan sekadar memotret sebuah perayaan. Dalam cara pandang kebudayaan, foto pernikahan adalah representasi personal sekaligus kolektif. Fotografi pernikahan memiliki makna simbolik yang dapat dilihat dari cara pengantin berbusana, susunan acara atau prosesi adat yang beragam sesuai kesepakatan pasangan, hingga bagaimana pengantin, keluarga, dan tamu mengekspresikan emosinya dalam sebuah perhelatan pernikahan. Selain hal-hal yang tampak secara gamblang atau denotatif, pernikahan juga mengandung unsur ideologis seperti etnisitas, agama, dan kelas sosial.
Fotografi pernikahan sebagai representasi budaya dalam perspektif antropologi visual menekankan perlunya fotografer pernikahan memahami literasi visual serta ekosistem yang holistik. Dengan demikian, visual yang diproduksi dapat merujuk pada argumentasi filosofis, bukan hanya sekadar murah atau sekadar bagus dan keren. Visual bahkan bisa didorong ke dalam sebuah diskusi yang konstruktif, di mana visual dipandang sebagai teks yang dibangun atas kesadaran konstruksi sosial. Maka, dengan kesadaran penuh, apa yang tampak dalam visual adalah representasi realitas atas dua aspek, yaitu personal dan kolektif. Visual tidak berhenti pada aspek estetik –apalagi estetika dalam pemahaman umum. Dalam pandangan populer, estetika sering dikonotasikan dengan “keindahan”. Padahal, indah hanyalah persepsi dasar atas bentuk visual. Estetika lebih dari sekadar indah; ia berlapis.
Estetika adalah ilmu tentang bentuk, baik geometris maupun organik. Dari kedua bentuk tersebut, audiens bebas menginterpretasikan apakah suatu bentuk indah, bermakna, atau keduanya, tergantung pada pengetahuan mereka dalam menafsirkan bentuk fotografi. Karena itu, fotografer perlu memahami literasi visual, metodologi visual, dan pengetahuan yang mendukung argumentasi visual –yang dibentuk tidak hanya dari pengetahuan visual semata. Tujuannya adalah menghasilkan visual yang memiliki narasi tentang klien yang difotonya. Dengan demikian, fotografer tidak menempatkan kliennya hanya sebagai “manekin”, melainkan subjek yang memiliki nilai dalam kolaborasi artistik (estetika), narasi, dan latar belakang personalnya. Dalam sebuah foto, keputusan tentang pose, setting, dan editing tidak hanya bertujuan menghadirkan “keindahan”, tetapi juga menciptakan makna tertentu. Harapannya jelas: konsep foto yang dipajang di rumah klien tidak sama dengan konsep foto tetangganya. Akan sangat mengerikan apabila hal itu terjadi. Namun, barangkali tidak mengapa jika klien hanya mampu membayar di bawah UMR.
Dengan demikian, persoalan harga dan visual, atau aspek lain dalam fotografi pernikahan, dapat diarahkan menjadi isu kebijakan. Nantinya, pemangku kebijakan bisa merumuskan regulasi yang berpihak pada fotografer, khususnya fotografer pernikahan. Akan tetapi, apakah Anda yakin fotografer pernikahan yang menawarkan paket lima ratus ribu rupiah atau bahkan paket di atas dua digit memahami hal tersebut dan mengaplikasikannya dalam visual mereka? Jawabannya tentu beragam. Sebagai pelaku foto pernikahan, seyogianya Anda bisa menjawab pertanyaan tersebut. Kalaupun tidak, jelas itu bukan salah Anda. Mungkin salah pemerintah.
Fotografi masuk dalam 17 subsektor ekonomi kreatif. Hal ini tentu membanggakan. Namun, apakah fotografi pernikahan sebagai artefak budaya pernah secara spesifik diulas oleh kementerian yang disebut paling kreatif itu? Jika Anda meluangkan waktu sekitar satu menit untuk membaca definisi fotografi versi mereka, Anda akan menemukan bahwa perhatian mereka hanya pada angka yang dipolitisasi dalam bentuk sertifikasi. Mereka tidak peduli pada ekosistem fotografi secara umum, apalagi secara khusus pada fotografi pernikahan. Karena itu, tidak berlebihan jika saya menuliskan hal tersebut sebagai judul tulisan ini.
Keriuhan diskusi dalam wacana fotografi pernikahan sangat wajar, dan justru baik adanya, sebagai ciri masyarakat demokratis. Diskusi-diskusi masih banyak didominasi oleh komunitas foto, kampus dan pihak terkait masih sibuk merancang kurikulum. Diskusi-diskusi konstruktif harus terus didorong, sebab fotografi bukan hanya sekadar representasi, melainkan juga medan kuasa (Sekula, 1986). Perlu diingat, keriuhan dalam percakapan seputar fotografi juga dialami oleh cabang fotografi lainnya, misalnya fotografi jurnalistik dan sebagainya.
Komodifikasi Fotografi Pernikahan
Selain persoalan pembacaan antara representasi dan simbol dari aspek visual, fotografi pernikahan juga perlu dilihat dari sisi industri. Saya akan mulai dengan cara pandang klien fotografi pernikahan. Karena orang Indonesia rata-rata menikah dengan berbagai macam ideologi, etnis, dan kelas sosial, maka Anda sebagai fotografer harus memulainya dari model bisnis. Dalam ekosistem kreatif, fotografer juga harus memahami manajemen, selain aspek teknis dan wacana. Jika dirasa tidak mampu dalam hal manajerial, Anda bisa berkolaborasi.
Pasar fotografi pernikahan memiliki jangkauan yang cukup luas, dengan berbagai strata ekonomi dan modal sosial yang beragam. Karena itu, seorang fotografer perlu menyadari posisinya dalam skala bisnis. Dengan menyadari hal tersebut, kita bisa melihat pada level mana pasar perlu diedukasi. Mengedukasi pasar bukanlah hal mudah, apalagi pernikahan termasuk kategori penting bagi berbagai lapisan masyarakat. Mungkin, untuk strata ekonomi tertentu, peran fotografer tidak terlalu penting; yang utama adalah katering. Menurut saya, bagi Anda yang berada pada target pasar strata masyarakat tersebut, tidak terlalu mendesak untuk mendiskusikan aspek harga, apalagi visual. Asalkan mereka bisa memajang foto pernikahan sebagai bentuk identitas personal, itu sudah cukup.
Namun, untuk strata ekonomi lainnya, misalnya mengundang Davy Linggar sebagai fotografer pernikahan, mungkin dianggap sangat penting –meskipun hasil fotonya goyang-goyang dan hampir bisa dikategorikan keliru menurut materi fotografi dasar. Ya, tapi tetap saja itu Davy Linggar, meskipun biaya pernikahannya masih ditanggung orang tua mempelai. Maka dari itu, relasi ekonomi dalam strata masyarakat menjadi salah satu faktor dalam merumuskan harga jual sebuah jasa kreatif, dalam hal ini fotografi pernikahan.
Selain membaca target pasar, fotografer pernikahan juga perlu memahami posisinya dalam ekosistem fotografi. Dalam pendekatan fotografi (approaches to photography), foto pernikahan merupakan turunan dari fotografi komersial. Fotografi komersial adalah bentuk fotografi yang berfungsi sebagai alat produksi ekonomi: menciptakan citra yang dapat dipasarkan, digunakan untuk menjual produk, jasa, atau ide (Wells, 2015). Karena sifatnya yang berorientasi pada pasar dan klien, fotografi pernikahan termasuk bagian dari fotografi komersial. Namun, dalam bahasa budaya, sebagaimana saya paparkan di awal tulisan ini, fotografi pernikahan pada fitrahnya juga memiliki aspek budaya: tidak hanya merekam momentum perayaan pernikahan, tetapi juga merekam simbol adat, nilai budaya, dan relasi personal dalam konteks budaya (ibid).
Fotografi pernikahan sebagai alat produksi ekonomi untuk menjual produk atau ide menjadikannya penting dalam perumusan harga jual, strategi model bisnis, serta siasat mengambil ceruk pasar yang luas maupun sempit dengan berbagai cara untuk bertahan. Saya pernah dua kali difoto di area protokol kota: pertama di Bandung, Jalan Asia Afrika; kedua di Kuningan, Jalan Siliwangi, Jawa Barat. Keduanya menamakan dirinya street photographer. Saya merasa bangga difoto oleh mereka, karena mereka benar-benar setiap hari berada di pinggir jalan –bukan hanya setiap Rabu atau akhir pekan– sebagai konsistensi atas pekerjaannya. Dari dua lokasi tersebut, selain hasil fotonya bagus, harganya juga murah. Di Bandung, satu foto hanya lima ribu rupiah, sedangkan di Kuningan cukup seikhlasnya.
Sebagai ilustrasi, mereka pun bisa membuat foto pra-pernikahan. Dengan modal seratus ribu rupiah, calon pengantin bisa mendapatkan banyak foto. Fotografi komersial hari ini, khususnya dalam konteks foto pernikahan, bisa diibaratkan seperti perang diskon antara toko hijau dan toko oranye. Pada akhirnya, yang bertahan adalah mereka yang memahami pasar, teknis, dan wacana.
Visual dan Harga
Representasi adalah bahasa visual yang berbicara tentang bagaimana realitas dihadirkan kembali melalui medium visual. Dalam konteks ini, aspek kebudayaan dalam pernikahan menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Pertanyaannya, apakah fotografer pernikahan di Indonesia memikirkan aspek tersebut saat bekerja? Bahwasanya, apa yang mereka foto adalah bagian dari arsip budaya. Saya tidak akan membahas hal ini terlalu jauh, mungkin bisa dijadikan bahan diskusi oleh para fotografer, asosiasi, dan sebagainya.
Sebagai ilustrasi, saya pernah berbincang singkat dengan seorang fotografer pernikahan di Bandung, di sela-sela waktu ia bermain padel. Fotografer pernikahan rata-rata “latah” secara visual –sering kali mengikuti gaya fotografer lain. Misalnya, pada beberapa tahun terakhir banyak yang meniru gaya Govinda Rumi, dan pada tahun 2025 ini, menurut rekan saya, sebagian besar fotografer pernikahan merujuk pada gaya Derai Studio. Tidak ada salahnya terinspirasi; dalam prinsip representasi, saat realitas dihadirkan kembali melalui medium apa pun, dalam hal ini foto dan video, maka yang muncul bukanlah realitas itu sendiri. Namun, cara pandang si fotografer tersebut secara personal. Keutamaan dalam berkarya sebagai adalah menemukan kekhasan personal atau gaya visual yang menjadi ciri khas fotografer tersebut.
Itu idealnya. Jika Anda adalah fotografer yang menyasar pasar kelas C dan D, mungkin cukup berfokus pada aspek teknis. Namun, jika ternyata pasar Anda cukup cakap dalam literasi visual, ada baiknya Anda terus melakukan peningkatan (improvement). Memahami target pasar yang Anda sasar secara tidak langsung akan memengaruhi gaya visual Anda. Selain kelas sosial, latar belakang budaya juga berperan dalam membentuk gaya visual. Oleh karena itu, belajar fotografi bukan hanya soal memotret, tetapi juga memahami ekosistem fotografi itu sendiri, secara spesifik fotografi pernikahan. Jika Anda merasa kemampuan utama hanya di aspek fotografi, elemen lain dapat dikolaborasikan.
Persaingan harga menjadi hal yang tidak bisa dihindari karena fotografi pernikahan termasuk dalam ranah fotografi komersial. Dalam prinsip ekonomi, perang harga merupakan keniscayaan dari sistem ekonomi dan produksi. Namun, hal yang perlu dikritisi oleh fotografer, asosiasi, dan komunitas adalah perlunya perumusan standar upah minimum fotografer.
Jika merujuk pada temuan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) yang dirilis pada Maret 2024, disebutkan bahwa:
“Pengupahan termasuk masalah utama yang sering dihadapi freelancer. Banyak di antara mereka terjebak dalam situasi upah yang tidak layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata upah pekerja ekonomi kreatif pada 2019 mencapai Rp 2,2 juta, lebih rendah dari rata-rata Upah Minimum Provinsi. Sementara itu, riset SINDIKASI (2021) menunjukkan sebanyak 83,7 persen pekerja mengaku khawatir atau sangat khawatir terhadap penghasilan mereka yang tidak pasti.”
Berdasarkan temuan tersebut, para fotografer sebagai pekerja kreatif sebaiknya berkolaborasi atau juga membuat serikat pekerja sendiri untuk spesifik memperjuangkan hak-hak fotografer pernikahan dalam merumuskan kebijakan pengupahan yang layak bagi fotografer. Salah satu akar masalah perang harga adalah tidak adanya kejelasan atau standar baku mengenai upah. Kondisi ini memungkinkan pemilik vendor dan asosiasi untuk mengambil keuntungan lebih besar dibandingkan fotografer.
Saya meyakini bahwa apabila sistem bisnis berjalan dengan sehat, para pemilik usaha atau vendor akan menggaji fotografernya secara layak, bahkan mungkin melebihi Upah Minimum Regional (UMR). Sebab sejatinya, UMR lebih menguntungkan pengusaha daripada pekerja. Ukuran yang paling tepat menurut hemat saya bukanlah UMR, melainkan standar hidup layak di wilayah tempat fotografer tersebut bekerja. Karena faktanya, UMR sering kali tidak mencerminkan standar hidup layak. Jika kita menggunakan data negara terkait standar hidup layak, cobalah refleksikan apakah UMR benar-benar mencukupi kebutuhan dasar pekerja kreatif.
Fotografi merupakan bagian dari ekosistem kesenian. Dalam era kontemporer, seni dipandang sebagai karya yang bersifat saintifik. Oleh karena itu, harga sebuah foto maupun jasa fotografi seharusnya dapat ditentukan secara rasional. Sebagai perbandingan, Anda bisa merujuk tulisan R. E. Hartanto berjudul “Tips Menjual Karya Seni untuk Perupa Pemula” atau buku Mikke Susanto Mengapa Sih Lukisan Mahal? Wacana Penetapan Harga Seni. Mikke mengajukan sejumlah indikator penentuan harga lukisan, di antaranya: reputasi perupa, publikasi, ide dan tema, riwayat karya, riwayat akuisisi, kondisi karya, ukuran karya, media dan bahan, serta gaya atau pendekatan visual.
Indikator-indikator ini dapat diadaptasi oleh industri fotografi dengan berbagai penyesuaian sesuai karakteristik fotografer dan target pasarnya. Namun yang pasti, karya dan jasa fotografi dapat diukur secara objektif dan rasional.
Melampaui Fotografi
Pada tahapan selanjutnya, fotografi didefinisikan dengan berbagai macam pendekatan. Dalam era kontemporer, penggunaan istilah “genre” untuk menjelaskan aliran tertentu sudah terkikis; istilah tersebut bergeser menjadi pendekatan atau approaches. Hal ini disebabkan penggunaan istilah genre dianggap terlalu sempit untuk dipahami dalam kondisi dunia yang bergerak terlalu cepat.
Pengertian fotografi sebagai “melukis dengan cahaya” perlu dipertanyakan ulang. Atas dasar argumen tersebut, diskusi teknis seperti jenis kamera, lensa, preset, dan lain-lain perlu diperkecil porsinya. Aspek teknis memang penting dipahami oleh fotografer untuk mendeskripsikan gagasannya dalam bentuk visual, tetapi bukan satu-satunya obrolan. Obrolan bisa bergeser dalam lingkup ekosistem fotografi itu sendiri. Bahkan, pemahaman atas fotografi kini diperluas dengan menggunakan kata sifat, menjadi “fotografis.”
Segala kemungkinan wacana akan segera menyambut kita di kemudian hari. Misalnya, pengertian fotografi sebagai melukis dengan cahaya akan segera usang, digantikan dengan melukis dengan prompt. Maka, bagi fotografer generasi Alpha ke depan, yang perlu dilakukan bukan lagi googling teknis fotografi yang spesifik, melainkan mencari prompt yang paling tepat. Dengan demikian, sertifikasi yang ada hari ini, di masa depan mungkin hanya akan menjadi pajangan, layaknya uang kuno.
Lahirnya fotografi sendiri sudah problematis dan melahirkan banyak perdebatan. Salah satunya adalah pergeseran posisi pelukis, meskipun di sisi lain justru menguatkan posisi seni lukis itu sendiri serta melahirkan banyak inovasi. Hal serupa juga terjadi dengan lahirnya teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) yang justru menguatkan kembali posisi fotografi manual, sekaligus menghadirkan beragam inovasi baru.
Eksplorasi isu identitas, privasi, dan warisan budaya, serta dorongan untuk menembus batas-batas medium fotografi menjadi sangat diperlukan. Dengan kata lain, fotografi menawarkan alternatif pembacaan zaman atas konsumsi visual kontemporer yang sarat dengan determinasi teknologi. Hal ini sejalan dengan argumen bahwa foto adalah penekanan dalam membangun identitas dan realitas sosial (Edwards, 2011; Pink, 2013).
Maka, menjadi keniscayaan bagi fotografer pernikahan untuk meningkatkan referensi visual dan wacana. Harapannya, hasil dari semua proses dapat menjadi lebih maksimal. Jangan takut mengeksplorasi pendekatan apa pun, sebagaimana fotografi pernikahan yang bisa menggunakan pendekatan jurnalistik, dokumenter, bahkan seni. Karena dalam era kontemporer, batasan-batasan genre semakin kabur, digantikan oleh pengakuan atas kekaryaan itu sendiri.
Selamat berkarya.
*Tulisan ini dibuat untuk melengkapi sesi kelas online yang diselenggarakan Kelas Pagi dengan tajuk “Perang Harga vs Perang Visual: Perspektif dalam Industri Fotografi Wedding” pada Selasa, 30 September 2025.
**Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB