• Opini
  • Abangan, Tragedi 1965, dan Sejarah Luka di Indonesia

Abangan, Tragedi 1965, dan Sejarah Luka di Indonesia

Abangan kepalang disalahpahami sebagai rakyat yang agamanya samar-samar. Ia menjadi tugu pengingat bahwa agama yang luhur tidak pernah lahir di ruang yang hampa.

Arfi Pandu Dinata

Pegiat Dialog Lintas Iman. Penyuka Teologi dan Studi Agama.

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

13 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Di Indonesia, berbagai macam agama dan kepercayaan sering disebut-disebut. Dirayakan bahkan didaku sebagai warisan nenek moyang yang katanya menurunkan darah hidup saling menghargai.

Mungkin benar, tapi di sisi lain barangkali hanya isapan jempol yang berhasil menyembunyikan sejarah gelap bangsa sendiri. Masa lalu yang tidak menyoal kisah kerajaan-kerajaan yang membentang jauh pada periode Nusantara yang lebih awal. Tapi rentetan kejadian historis yang baru terjadi tadi, yang berpusat di Tanah Jawa, dan yang selalu menjadi acuan kita dalam membentangkan historiografi negeri ini (Tatiana Ponka, Nikita Kuklin, dan Dame Maria Nova Sibarani, “The Historical Influence of the Javanese Ethnicity and Culture on the Political Consciousness and Mentality of Indonesian People”, ICCESSH 2019).

Di situlah kita akan memulai cerita ini. Dari sebuah kaum kecil yang hidup bertani di desa-desa yang dalam. Dari tangan kasar yang sekaligus piawai menata sesaji, dari tubuh lengket berpeluh dan berlumpur yang pandai merapal jampi menangkal anasir jahat. Merekalah yang disebut sebagai abangan, yang kepalang disalahpahami sebagai rakyat yang agamanya samar-samar (Clifford Geertz, The Religion of Java, 1960; Robert R. Jay, Religion and Politics in Rural Central Java, 1963).

Mereka adalah manusia Indonesia yang dalam perjalanan bangsa ini, terus dipinggirkan, raib ditelan kekuasaan. Identitasnya dihapus. Kehadirannya diperebutkan.

Baca Juga: Agama dan Ekologi: Mencari Keseimbangan Harmonis antara Kemanusiaan dan Alam Semesta
Diskusi Lintas Agama, Mendorong Negara untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan
Tata Ruang Kolonial, Mewarisi Mental Pluralisme Agama di Bandung

Awal Mula Trauma

Setelah kemerdekaan, umat muslim di Indonesia menempatkan perjuangan politik sebagai salah satu fokus utama. Partai-partai Islam seperti Masyumi dan PSII menuntut pengakuan atas kontribusi mereka selama revolusi dan penerapan Piagam Jakarta, meski penyelenggara negara tetap keukeuh memilih menghapus 7 (tujuh kata) itu. Di sisi lain, kelompok yang sama juga mendorong pembentukan Departemen Agama, dengannya diharapkan urusan umat muslim dapat dikelola secara khusus. Setelah sempat menuai perdebatan dan digabung sementara dengan kementerian lain, akhirnya departemen ini resmi dibentuk pada 1946 guna mengelola pendidikan, pernikahan, pengadilan agama, dan wakaf, sekaligus menjadi jalur patronase bagi organisasi Islam (Kevin W. Fogg, Indonesia’s Islamic Revolution, 2020).

Pada belahan yang berbeda spiritualitas lokal yang sejak abad sebelumnya mulai lahir kembali, tumbuh dikenal naman “kebatinan”. Ia berkelindan sebagai bagian dari ekspresi agama leluhur. Kelompok ini berada dalam satu ruang dengan kaum abangan. Bentuk keagamaan yang khas membumi ini menampilkan wajah rakyat jelata, akar sosial bagi PKI dan gerakan kiri di Indonesia. Ketegangan kultural mengkristal jadi dua kutub politik yang berhadap-hadapan. Kita mengenalnya dengan santri vs abangan, Islam vs komunis-sosialis, serta agama dan kepercayaan (Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, 2017).

Tragedi 1965 pecah dan mengubah segalanya. PKI ditumpas, dan abangan sebagai basis sosial politiknya turut terseret. Amos Sukamto dalam “Ketegangan Antar Kelompok Agama pada Masa Orde Lama sampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik” (Jurnal Teologi Indonesia, 2013) memaparkannya dengan apik.

Rezim Orde Baru mengambil sikap tegas, setiap warga negara wajib beragama. Agama dengan syarat-syarat yang sempit, bertuhan, bernabi, dan berkitab suci. Wacana Soeharto ini sangat kentara, sebuah pendekatan akomodasi politik Islam agar suaranya tak lagi kencang. Khas, zaman ini memotong haluan ideologi yang dianggap ekstrem kiri dan kanan, mengejar stabilitas kekuasaan. Dengan kewajiban beragama yang terpeta seperti ini, negara pastinya diuntungkan buat lebih leluasa mengontrol rakyatnya sendiri.

Bagi kaum abangan yang selama ini hidup dengan keberagamaan yang cair dan majemuk, keputusan itu terasa seperti pemaksaan. Namun dengan menengok kejadian yang sudah-sudah, kaum ini akhirnya berbondong-bondong memilih identitas agama yang ajek dan formal. Keputusan ini didukung oleh ormas dan gerakan politik Islam, apalagi bagi mereka yang percaya bahwa komunis itu sama dengan tidak beragama alias ateis. Langkah ini juga dirasa bisa membuka jalan baru yakni pembinaan agama, setelah jelas-jelas kekuatan politiknya dikebiri kekuasaan.

Namun akibat konflik terpolarisasi yang mengakar kuat dengan kaum santri, sempat mengalami relasi tak berimbang di antara tuan tanah yang haji dan pekerja serabutan yang mistik lokal, dan pernah jadi bulan-bulanan konflik berbasis kekerasan secara horizontal, banyak dari kaum abangan lebih memilih berpindah ke Kristen. Kompromi ini dirasa lebih aman untuk strategi bertahan hidup agar tetap diakui di mata hukum dan dari label komunis itu. Seketika gereja mendapatkan angka jemaat yang naik secara signifikan.

Perdebatan tentang posisi abangan pun terjadi bahkan di lingkungan musyawarah lintas agama. Kelompok Islam berargumen bahwa abangan secara nominal telah menjadi muslim, yang perlu hanyalah pemurnian dari ritus lokal yang dipandang klenik, syirik, dan bidah. Sebaliknya, kelompok Kristen melihat mereka sebagai kelompok yang “belum beragama”, akibatnya berhak ditawarkan jalan hidup baru. Perbedaan pandangan ini sekali lagi menegaskan absurditas posisi abangan di mata dua penganut agama abrahamik. Mereka diperebutkan sebagai obyek legitimasi, bukan sebagai subjek beragama yang otonom.

Akibat-akibatnya

Semenjak inilah, dialog lintas agama lahir secara resmi di panggung nasional kita dengan nama Musyawarah Antaragama pada tahun 1967. Bahkan berikutnya berhasil merumuskan konsep “trilogi kerukunan” yang sangat terkenal itu. Pada titik yang sama juga penyebaran agama di Indonesia mulai diatur. PBM No. 9/ 2006 dan No.8/ 2006 yang meregulasi pendirian rumah ibadah termasuk bangunan gereja, dan yang kerap diterjemahkan sebagai usaha membendung ekspansi Kekristenan, lahir dari ruh KBM Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969. Dua tahun, setelah dialog antarumat beragama yang perdana. Empat tahun setelah tragedi ‘65.

Jika kita mau kilas balik, kita bisa mundur pada awal tahun sebelum peristiwa 1965. Di titik ini kita akan menemukan ketakutan kekuasaan pada bayang-bayang keberagamaan rakyat yang terus melahirkan kebaruan di tengah gaya hidup abangan. Akhirnya negara juga menerbitkan Penpres No.1/ 1965 soal penodaan agama. Kemurnian agama dipandang harus dilindungi dari potensi pencemaran, dari potensi munculnya “aliran-aliran”.

Sejalan dengan sejarah ini, Hindu baru benar-benar diakui sebagai agama di Indonesia pada 1969 setelah berproses lama dari satu dekade sebelumnya dengan polemik soal status religiusitas masyarakat Bali yang khas. Begitu juga Buddha menyusul direkognisi oleh Departemen Agama pada 1967, dan baru final statusnya pada 1978, menghadapi tuntutan negara bahwa setiap agama harus punya konsep Tuhan yang personal.

Sementara Konghucu dengan kerumitannya sendiri, baru bisa dipulihkan haknya lagi lewat Keppres No. 6/2000 setelah diasosiasikan dengan isu “Cina” dan komunisme. Sebuah catatan, fenomena yang menimpa abangan juga berlaku serupa bagi warga Tionghoa, keberagamaannya yang khas Tridarma (perpaduan Konghucu, Tao, dan Buddha) ikut diintervensi sampai ujungnya mencari suaka di gereja.

Apalagi Penghayat Kepercayaan meski belum dianggap 100 persen agama, baru dapat jaminan haknya lewat Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016, setelah sekian lama diperselisihkan dengan penuh kecurigaan dan dipandang jadi kelompok sempalan yang berbahaya.

Dalam satu arus lintasan sejarah ini, ada hal penting yang mesti kita sadari. Bahwa sejak abangan diperselisihkan itulah, kita mulai dibina secara serius untuk beragama sesuai dengan KTP masing-masing.

Seiring dengan rekognisi agama-agama lain yang berlaku secara bertahap, kita dikenalkan pada cara beragama orang modern lewat buku-buku ajar pendidikan di sekolah, lewat keanggotaan organisasi keagamaan yang kita ikuti, lewat masifnya lembaga penyiaran agama, dan tak terkecuali lewat tren serta gaya hidup. Tiba-tibalah kita jadi taat beragama, melihat replikasi visi berbagai institusi soal “meningkatkan iman dan takwa” yang hadir di mana-mana.

Akhirnya kita sampai pada simpulan dan tonggak tempat berdirinya kita sekarang. Ternyata kita baru sungguh beragama dan memaknainya sebagai identitas pada masa yang belakangan ini, seturut rezim melegitimasi kekuasaannya, sejalan dengan hasil kompromi politik dan sosial.

Kita boleh diam sejenak, menghirup kekecewaan, dan menghadapi kenyataan bahwa kebhinnekaan kita ternyata sedangkal reka-reka belaka. Semua ini tidak seperti narasi populer yang menggambarkan bahwa kita konsisten beragama sejak era nenek moyang dulu.

Agama dan Ruang Hampa

Kejadian demi kejadian telah berlalu. Tepat enam dasawarsa silam, namun rasanya luka itu masih terasa pilu. Ia masih mengalir senyap dalam denyut spiritual bangsa Indonesia yang tak terkatakan. Agama kita dipilah-dipilih, ditampilkan yang aman-amannya saja. Padahal jauh di relung memori kita ada gumpalan trauma yang sengaja diendapkan, disembunyikan dari arsip historis. Entah alam bawah sadar kita kiranya merasa terlalu berisiko buat diangkat menjadi suara yang kritis.

Menemukan jalan pintas, akhirnya kita menganggap bahwa ketaatan ini adalah sambungan langsung dengan para Resi, Buddha Gautama, Kong Hu Cu, Yesus Kristus, Nabi Muhammad, dan tokoh-tokoh suci lainnya. Kita tidak mau mengenal lapisan transmisi di antaranya. Lembaran warsa, abad, dan bahkan milenium hilang begitu saja.

Catatan Akhir

Mengerti tentang sejarah ini bukan berarti kita mau membuat huru-hara berbalas dendam. Justru di sinilah momennya, kita hendak belajar soal arti beragama melalui perenungan kritis yang mungkin menyakitkan sekaligus membingungkan. Tak apa bukan? Kita juga mau bertumbuh menjadi insan Indonesia yang punya kepekaan pada masa lalunya. Pada tragedi yang memberangus kemanusiaan kita sebagai bangsa.

Dalam waktu yang berlalu, abangan telah hadir sebagai tugu pengingat bahwa agama yang luhur ini tidak pernah lahir di ruang yang hampa. Ia menyejarah, ia dilukis kekuasaan, dan kitalah yang menanggung beban jika penulisannya tidak pernah berpihak pada kemanusiaan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//