• Opini
  • Tata Ruang Kolonial, Mewarisi Mental Pluralisme Agama di Bandung

Tata Ruang Kolonial, Mewarisi Mental Pluralisme Agama di Bandung

Ketimpangan sosial yang tampak pada pembagian urban-rural yang asimetris, mencerminkan bahwa tata kelola keberagaman di Bandung masih setia pada penjajahan.

Arfi Pandu Dinata

Pegiat Dialog Lintas Iman. Penyuka Teologi dan Studi Agama.

Ilustrasi. Intoleransi menjadi tantangan serius bagi negeri bhineka seperti Indonesia. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).

19 September 2025


BandungBergerak.id – Kota Bandung dirancang memakai nalar kolonial. Pengaturan ruangnya diletakkan pada segregasi rasial dan kelas sosial. Ada kawasan elite administratif khusus bagi warga Eropa, area Timur Asing untuk etnis non-pribumi seperti Tionghoa dan Arab, juga wilayah pribumi sebagai tempat tinggal masyarakat lokal. Jalan Raya Pos yang kini bernama Asia-Afrika, adalah marka yang membelah Bandung secara geografis sekaligus menjadi penanda dari relasi kuasa. Membentang dari selatan ke utara menghadap Gunung Tangkuban Parahu, struktur tripartit Bandung juga turut membangun wajah representasi keragaman agama di Bandung.

Kawasan utara yang katanya mencerminkan keberadaban terasosiasi kuat dengan Kekristenan Barat melalui berdirinya Gereja Bethel di Jalan Wastukencana (1925), Gereja Katolik Bunda Tujuh Kedukaan di Jalan Pandu (1935), atau Gereja Katedral Bandung Santo Petrus di Jalan Merdeka (1922). Kini di kawasan ini, wajah Eropa yang maju dan cenderung berasosiasi dengan norma kebebasan tampak melalui perkembangan berbagai destinasi wisata, taman kota, kedai kopi, tongkrongan, vila-vila staycation, dan berbagai tempat hiburan malam. Silih berganti tren nge-mal dari BIP, Ciwalk, 23 Paskal, hingga PVJ Mall. Orang-orangnya mungkin tidak begitu minat memperbincangkan agama, sekuler. Namun kapitalisme tumbuh subur, gaya hidup konsumtif menjadi standar moral untuk membeli sebuah nama yang disebut Bandung estetik. Dago dan Lembang diperjualbelikan, menjadi layak hanya bagi mereka dari kelas menengah ke atas.

Daerah ala-ala pecinan di kawasan Cibadak, Pagarsih, dan Kebonjati, tampak hadir nuansa multikultural. Vihara, klenteng, kong miao, tao kwan, berbagai gereja, pasraman, dan masjid berdiri berdekatan. Sejarah panjang asimilasi paksa terhadap orang Tionghoa, termasuk konversi agama pasca-isu komunis 1965 meninggalkan luka batin yang masih berbisik hingga kini. Keberagaman ini menjadi bagian dari identitas Bandung, warga dituntut secara kultural untuk berbaur dan guyub dengan orang lain. Fenomena ini terus dirayakan, misalnya saat Pemerintah Kota Bandung mengukuhkan Kampung Toleransi di Kelurahan Cibadak pada akhir April 2025. Menariknya 5 dari 6 kawasan seperti Gang Luna, Paledang, Balonggede, dan Kebonjeruk, sejatinya merupakan produk tata ruang kolonial yang menunjukkan bahwa keberagaman bukan semata adanya pasar sebagai pusat perbelanjaan.

Pendopo Bupati Bandung sebagai simbol masyarakat pribumi adalah garda terdepan dari wilayah selatan yang dikesankan urakan dan kumuh. Demografi di wilayah sini selalu dibayangkan homogen, penduduknya identik dengan muslim sunda. Lapang Tegallega, bengkel tambal ban, warung remang-remang, sampah, dan spanduk-spanduk partai bukan hanya mencitrakan kawasan rakyat tapi lahan subur untuk menyemai mentalitas fundamentalisme beragama. Kian menarik ke sumbu selatan yang masuk ke Kabupaten Bandung, tidak ada bangunan gereja yang berdiri secara legal. Mungkin kawasan ini juga menjadi tempat yang pas untuk mengkonsolidasi umat dengan mendirikan Gedung Dakwah ANNAS. Dengan bayang-bayang kolonialisme, urang Bandung dibingkai pada cara pikir yang kudu resistan pada asing dan aseng.

Baca Juga: Ijeum Basa Warga Penghayat, Melihat Kompleksitas Cara Beragama Kita
Kapitalisme Budaya (Bukan) Soal Sesajen Saja
Dari Gerobak Tukang Putu Kita Belajar tentang Budaya Rakyat

Memimpikan Bandung yang Toleran

Kebinekaan yang ada di Bandung ternyata tidak seindah yang kita kira. Selain tumbuh yang organik juga besar peranan reka-rekaan politik. Marginalisasi pada penghayat Kepercayaan tampil pada pola bangunan-bangunan pasewakan (tempat temu warganya) yang berdiri di pinggiran Bandung, persis seperti cara negara menempatkan komunitas ini. Berbagai pura di Bandung Raya masih berada di kawasan militer, Pura Agung Wira Loka Natha di Cimahi sebagai tempat ibadah umat Hindu tertua saja baru hadir pada tahun 1978. Masih maukah kita bicara soal kondusivitas rumah ibadah tanpa melibatkan adanya kekuatan adu mekanik dengan kelompok non-sipil?

Begitu pun sepertinya negara tidak cukup serius untuk menyediakan fasilitas rumah ibadah bagi umat Katolik yang kiwari sudah berjumlah banyak. Penolakan gereja baik di Rancasari, Cinunuk, sampai Arcamanik adalah cerminan dari mandeknya pendidikan kultural tentang toleransi. Meskipun batas Kota Bandung ujung timur kini berada di Bundaran Cibiru, tapi penduduk dan pelayannya masih menganut mentalitas pada batas kota Cicaheum. Gereja Katolik Paroki Santa Odilia, dekanat Bandung Timur masih berdiam di Cicadas, naas.

Di tengah ambisi besar tentang Bandung yang kini dan kelak akan terus tumbuh menjadi metropolitan. Kesemrawutan Bandung adalah potret manusianya yang sampai hari ini tidak dipersiapkan untuk membuka diri pada keberagaman yang lahir dari hidup sehari-hari, bukan klaim politik. Ketimpangan sosial yang tampak pada pembagian urban-rural yang asimetris, mencerminkan bahwa tata kelola keberagaman di Bandung masih setia pada penjajahan.

Masih adakah harapan untuk menjawab Bandung yang toleran? Masih adakah orang-orang yang mau menyiapkan Bandung sebagai tempat kediaman yang layak bagi keberagaman yang betul-betul berpijak di dalamnya? Bicara masa depan Bandung seharusnya mengejawantahkan peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Bukan saling melempar tanggung jawab yang terpatok pada batas-batas wilayah administratif kota dan kabupaten. Mari berbenah, menyongsong uga leluhur yang menyatakan Bandung heurin ku tangtung.

Wilayah tripartit telah menyediakan ruang hidup yang berbeda-beda bagi orang Bandung.  Dalam masa yang panjang, tempat ini telah membentuk karakter mental orang Bandung dalam menyikapi keberagaman. Kita bisa merefleksikan bahwa di Bandung setidaknya, terdapat empat karakter orang. Pertama, tipe individual sekuler yang cenderung punya sikap penerimaan keragaman agama di tingkat circle-circle mainnya. Teman-temannya mungkin orang yang berbeda agama, malah non-religius termasuk orang yang ragam gender. Namun pada saat yang bersamaan sikapnya agak cuek pada masalah sosial. Kedua, tipe pro-keberagaman yang pragmatik yakni orang yang mau membela keberagaman. Tapi pada satu sisi, orang ini bekerja pada satu kebutuhan untuk mengambil sikap demikian karena alasan tekanan dan keamanan. Ketiga, tipe fundamentalis yang menghidupi budaya lokal. Sisi gelapnya kerap terjebak pada  chauvinisme dan resistan pada hal-hal baru. Keempat, kelompok minoritas yang tersisihkan yang sulit mendapatkan ruang hidup.

Bisakah kita mentransformasi mental orang Bandung baru, yang lahir dari karakter masyarakat tersegregasi akibat tata ruang kolonial? Kita membayangkan urang Bandung yang bukan hanya penganut skena atau starboy/ girl, tapi mereka yang terbuka terhadap perbedaan sejak dalam lingkaran sosial terkecil. Mereka adalah orang yang juga aktif membela keberagaman dengan strategi yang bijak menghadapi tekanan sosial, sekaligus menjaga tradisi dan budaya lokal dengan setia. Orang-orang inilah yang layak menghuni Bandung dengan semangatnya menyerap ketangguhan dalam menemukan ruang hidup alternatif.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//