• Opini
  • Dari Gerobak Tukang Putu Kita Belajar tentang Budaya Rakyat

Dari Gerobak Tukang Putu Kita Belajar tentang Budaya Rakyat

Gerobak tukang putu dan pedagang keliling lainnya telah menjadi bagian dari penjaga memori kita tentang nilai hidup yang sulit dicari di ruang-ruang formal.

Arfi Pandu Dinata

Pegiat Dialog Lintas Iman. Penyuka Teologi dan Studi Agama.

Seorang pedagang mendorong gerobak di area Pasar Bingung, Terminal Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu dini hari, 23 April 2025. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)

9 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Tidak ada sertifikasi halal atau informasi kandungan gizi, yang ada denging suitan asap kukusan. Putu adalah kudapan jadul yang terbuat dari tepung beras dan berisi gula merah. Manis, hangat, dan gurih, begitu rasanya. Etimologi rakyat bilang, putu itu singkatan dari pencari uang tenaga uap. Lucu, cerdik, dan satir.

Tukung putu adalah jejak dari budaya rakyat kita yang masih bertahan di tengah gerusan kapitalisasi yang datang bertubi-tubi. Kita diingatkan bahwa berjalan kaki ternyata masih relevan meskipun kredit motor sudah lumrah. Gerobak dorong masih bisa diandalkan meskipun lapak digital terus bermunculan. Dari kaleng blék bekasnya dan tali karet ban dalam, kita belajar soal daur ulang yang sejati bukan eco-lifestyle yang ramai belakangan. Mungkin hijau gincu sintetis sudah menggantikan suji dan pandan, termasuk kertas nasi dan sobekan koran yang awalnya dialasi pincuk daun pisang. Tapi kita sama-sama maklum, sebab cuma itu yang instan dan terjangkau buat pedagang kecil.

Di laci gerobaknya, si tukang mengais-ngais tepung dengan butiran kasar itu. Lalu dimasukkannya dengan cekatan ke dalam tabung bambu, dipadatkan, diisi sisiran gula, ditutup tepung lagi. Kue dikukus di atas lubang yang membumbungkan uap panas. Sambil mengulangi pekerjaannya tadi, tabung dibalik, diambilnya, disodok, dan kue siap ditaburi kelapa parut. Rasanya sederhana begitu juga cara membuatnya, mencerminkan visi hidup penjual putu. Ketekunan adalah nilai yang kita dapat, sebagaimana si tukang yang harus berkeliling menjajakan jualannya.

Untungnya mungkin tidak besar, tapi dagang keliling sudah jadi harapan rakyat kita buat bertahan hidup. Kalau gas elpiji jadi barang langka, tentunya mereka bakal terkena dampaknya. Belum lagi mereka rentan tertubruk truk atau terpelosok ke dalam solokan, tanpa jaminan keselamatan kerja.

Baca Juga: Kedaulatan Rakyat yang Terancam
Potret Robohnya Gedung Pusat Kebudayaan Kami
Moderasi Beragama dan Budaya Bangsa

Rakyat

Gulali tarik, gelembung sabun, sate, cendol, bakso, dan masih banyak lagi yang dijajakan pedagang keliling. Termasuk cara-cara menjualnya, menggendong bakul, menanggung rancatan. Ada juga kentongan, tusukan bambu, jojodog, yang semuanya berfungsi baik menjadi alat sehari-hari. Kita bisa bayangkan jika pedagang rujak bebek hilang maka penumbuk berbentuk daun love berwarna-warna yang nyentrik pun akan ikut punah. Melalui pedagang keliling, barang tradisional selalu berdampingan dengan produk kebaruan masa kini seperti lampu senter, pelantang suara, dan radio tua. Spanduk bekas dijadikan terpal gerobak. Ember plastik cat digunakan lagi untuk mencuci piring. Botol-botol kaca yang awalnya berisi kecap, sekarang diisi sambal rumahan. Tak lupa juga terselip jimat keberuntungan. Gerobak seolah-olah galeri kebudayaan, di kacanya tertempel stiker-stiker klub bola dan janji kampanye caleg bergradasi memudar dari masa ke masa.

Rute dagangnya adalah jejaring sosial rakyat. Dentingan mangkuk “ayam jago” atau suara kenung yang digebuk, termasuk slogan spontan yang diucapkan sambil lalu bukan hanya mengundang senyum. Juga pelanggan, anak-anak, emak, dan abah, yang tinggal di gang sempit atau kampung padat penduduk. Di lapak dagang yang sederhana selalu ada topik yang bisa diobrolkan seperti cuaca, kabar warga sakit, gosip artis, tren, dan tanggal cairnya dana bantuan desa.

Kepandaian lokal telah menciptakan daya tarik yang otentik, tradisi yang lahir dari situasi sulit dan seadanya. Inilah kebudayaan rakyat yang enggan tunduk pada kategori estetik modern yang serba mahal itu dengan jenama-jenama kenamaannya. Kebudayaan rakyat tidak memerlukan museum, seminar, atau cetak pamflet. Ia hidup dalam ruang keseharian yang beneran, bergerak meniti trotoar sempit. Kebudayaan model ini entah pihak mana yang merasa berkepentingan untuk mendokumentasikannya, sebab ia bukan artefak kejayaan aristokrat masa lalu, bukan koleksi para konglomerat, atau pameran dan hiburan yang memukau.

Mungkin tidak ada kandungan filosofi abstrak yang dipandang luhur sebagaimana pemikiran yang lahir di kampus-kampus besar. Tidak juga “sehebat” kebudayaan yang lahir dari istana yang cenderung halus dan teratur. Sebaliknya kebudayaan rakyat lebih spontan, tidak peduli dilihat urakan dan menentang wibawa. Ia lebih suka merayakan keluwesan, mengekspresikan rintihan ketidakadilan, dan merekam sistem penindasan yang terjadi.

Begitulah sistem kebudayaan alit ini bekerja menjaga keseimbangan hidup lewat cara-caranya sendiri. Ia mempertahankan lanskap sosial, ekonomi, agama, dan ekologi meskipun tidak selalu dihargai oleh sistem elite. Pedagang keliling yang masuk ke dalamnya, telah menjadi bagian dari penjaga memori kita tentang nilai hidup yang sulit dicari di ruang-ruang formal.

Wacana Budaya Lokal

Semua ini menegaskan pada satu hal penting yang kerap luput dari pandangan kita, bahwa rakyat juga berbudaya. Di tengah pertarungan wacana, budaya memang sering didefinisikan pada standar kemapanan. Ada yang tidak terkatakan tapi banyak orang yang setuju kalau budaya itu harus estetik dan beradab. Maka tidak mengherankan jika ada pewajaran pada penyematan kata-kata kumuh atau katro pada kebudayaan rakyat yang disingkirkan dari wacana budaya lokal.

Budaya lokal selalu dibingkai sebagai percakapan tentang naskah kuno, prasasti, tarian, atau bangunan cagar budaya, yang seluruhnya berpusat pada kelas atas di lingkungan kerajaan. Pemahaman ini diperkuat oleh konstruksi para orientalis kolonial, dilanggengkan di masa Orde Baru, lalu diwariskan dalam regulasi-regulasi publik yang mengatur kebudayaan daerah. Kita pun bersorak menghargai budaya lokal, padahal yang dirayakan hanyalah versi yang telah dipilah-pilah dengan tidak menyertakan budaya rakyat. Dalam pandangan arus utama, budaya rakyat tetap dianggap sebagai patologi kultural yang menjijikkan, bukan sebagai kebudayaan yang hidup dan terbentuk dari jerit kemiskinan struktural serta ketimpangan sosial.

Hal ini secara lugas menunjukkan bahwa budaya lokal yang kini digembar-gemborkan sejatinya adalah warisan budaya penguasa, budaya orang-orang yang dahulu menindas rakyat. Sementara itu budaya rakyat yang tidak rapi dianggap tidak layak masuk dalam seleksi elite, lalu perlahan dihapus dari ingatan kolektif. Padahal kenyataannya, justru budaya inilah yang paling banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh mayoritas rakyat. Maka tak heran jika yang kini dirayakan hanyalah versi hasil suntingan sejarah yang hegemonik, bukan gambaran utuh dari realitas kebudayaan yang hidup.

Di atas wacana inilah, gerobak tukang putu dan pedagang keliling lainnya sebagai artefak kebudayaan rakyat direduksi menjadi simbol kemalasan. Kita sering mendengar sendiri betapa mudahnya orang tua menakut-nakuti anaknya dengan membandingkannya pada anak sebaya yang berjualan keliling, seolah-olah itu adalah takdir buruk yang harus dihindari. Tampak sepele, tapi menyimpan bias kelas. Melalui nalar yang telah terjajah oleh standar kemapanan modern, kerja keras rakyat kecil justru dianggap aib, bukan sebagai bentuk laku hidup yang pantas dihargai. Kita pun telanjur menganggapnya sebagai kegagalan hidup dan diamit-amit di pikiran yang terdalam, bukan sebagai respons kreatif atas kemiskinan struktural yang diwariskan oleh sejarah.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//