Kedaulatan Rakyat yang Terancam
Berbagai peraturan yang ditujukan untuk membungkam kritik dan membatasi ruang untuk berpendapat merupakan tindakan yang mencederai kedaulatan rakyat.
Angga Pratama
Penulis, Pendiri Ruangan Filsafat, dan Redaktur Gudang Perspektif,
5 September 2024
BandungBergerak.id – Pemerintahan di seluruh dunia dapat berdiri kokoh hingga hari ini – meski beberapa di antaranya telah mengalami pasang surut– didasarkan pada pengakuan dan kesepakatan masyarakat di wilayah tertentu. Suatu pemerintahan tersebut dapat ada dan berdiri karena masyarakat setuju untuk menyerahkan dirinya di bawah suatu otoritas yang menjalankan segala tugasnya merujuk pada kebutuhan dan perlindungan terhadap seluruh anggota masyarakatnya.
Di masing-masing dataran, kebutuhan masyarakat dan ancaman yang mengintai kehidupan setiap anggota masyarakat dapat berbeda-beda. Akibatnya, setiap pemerintahan tidak dapat menerapkan suatu peraturan yang sama dengan pemerintahan lainnya walau pun mereka bertetangga. Keberagaman ini pada dasarnya dapat memberikan keuntungan bagi setiap pemerintahan untuk mempertahankan identitasnya dan melaksanakan aktivitas perekonomian karena adanya perbedaan kebutuhan seperti yang telah disebutkan di awal.
Keadaan tersebut mendorong pemerintah untuk menetapkan dan merumuskan identitas nasionalnya yang kemudian tercermin melalui nilai-nilai filosofis yang ada di lambang negara, bendera, hingga lagu kebangsaan. Dengan terbentuknya berbagai elemen yang mendukung keberadaan suatu negara atau pemerintahan, hal ini secara jelas menyatakan bahwa negara tersebut memiliki kedaulatan yang tidak dapat diganggu oleh negara lainnya.
Sebuah ancaman bisa datang dari negara lain yang diakibatkan oleh sebuah permusuhan di masa lalu –merujuk pada sejarah berdirinya sebuah negara– atau dikarenakan perebutan sumber daya alam yang cukup langka. Situasi ini, tidak jarang mengakibatkan intervensi negara lain yang kemudian menjadi ancaman bagi stabilitas suatu pemerintahan atau negara.
Baca Juga: Politik Dagang Sapi, Kompromi Elite Vs. Kepentingan Rakyat
Daulat Rakyat di Dago Elos
Pesta Rakyat dan Proyek Kebangsaan
Apa itu Kedaulatan?
Secara umum, kedaulatan mengacu pada otoritas dan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara atau wilayah. Hal ini ditandai dengan adanya kemampuan atau hak untuk memerintah secara independen (membuat keputusan dan mengatur rumah tangga negara) tanpa adanya campur tangan dari negara asing.
Schmitt (2006) dalam bukunya menjelaskan bahwa kedaulatan bukan hanya berkaitan dengan aspek kekuasaan tetapi juga tentang kemampuan suatu otoritas atau pemerintahan untuk membuat keputusan yang tidak terikat oleh kendala atau ancaman eskternal. Meski begitu, kita menyadari bahwa ancaman eksternal selalu ada dikarenakan dinamika globalisasi dan agenda pemasaran gagasan neoliberalisme telah secara sporadis mengganggu keberadaan kedaulatan sebuah negara atau pemerintahan.
Pembentukan kedaulatan suatu negara atau pemerintahan pada dasarnya tidak dilakukan dengan “serampangan” atau secara paksa agar membentuk justifikasi bahwa setiap anggota masyarakat harus tunduk kepada perwakilan atau individu tertentu sehingga terciptalah sebuah negara. Jika hal-hal tersebut dilakukan hanya untuk membentuk sebuah kedaulatan, hal ini sama saja mencederai keberadaan kedaulatan yang sesungguhnya dan membentuk kedaulatan semu sebagai bagian untuk melegitimasi pemerintahan seorang tiran atau oligarki.
Perlu ditekankan bahwa setiap anggota masyarakat (individu) memiliki kedaulatannya masing-masing, bahwa terdapat tindakan timbal-balik yang akan terjadi antara individu dan negara ketika membuat suatu kesepakatan atau kontrak sosial. Hal tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap individu memiliki kapasitas ganda yang mana sebagai seorang anggota penguasa mereka terikat pada individu lainnya dan sebagai anggota negara mereka terikat pada penguasa.
Untuk menjalankan operasinya dengan benar –yang berkaitan dengan kedaulatan– masing-masing anggota yang telah secara sukarela menyatukan dirinya ke dalam satu kesatuan, sejatinya tidak mungkin untuk saling menyerang satu sama lain. Hak dan kewajiban serta wewenang bersama mewajibkan pemerintah dan anggota masyarakat untuk saling membentuk kontrak sosial yang di dalamnya setiap anggotanya harus berusaha untuk bersatu dalam memenuhi dan memberikan bantuan agar kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Hal ini sebagai bentuk dari implementasi kapasitas ganda yang telah hadir di dalam kesepakatan sehingga menghasilkan kapasitas dengan ukuran tertentu untuk memberikan keuntungan di masing-masing anggota masyarakat.
Jika suatu pemerintahan atau orang yang ditunjuk sebagai “aktor” untuk mengendalikan kepentingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat justru melanggar kesepakatan yang telah dibuat, hal ini secara terang-terangan telah merenggut kedaulatan. Dan, masyarakat tersebut tidak lagi memiliki kedaulatan seperti pada saat pertama kali kontrak sosial tersebut dirumuskan.
Ancaman dan Kuasa Rakyat
Berbagai gangguan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah pasti ada dan terjadi. Hal ini mencakup dari ancaman berbasis intelijen hingga perang terbuka yang sering kali banyak memakan korban. Jika kita melihat kembali sejarah kehidupan manusia, telah banyak peperangan yang terjadi di masa lalu. Salah satunya adalah tragedi Perang Dunia I dan II.
Motif-motif peperangan yang terjadi relatif beragam dan tidak jarang melibatkan konflik ideologis serta upaya dominasi. Tentu hal ini dapat terlihat dari propaganda yang dilakukan oleh Nazi di Jerman, Kapitalisme atau Liberalisme di Amerika Serikat (dan sekutunya), dan Komunis di Uni Soviet. Masing-masing kubu mempromosikan keunggulan dari sistem dan ideologi yang mereka miliki, ada yang mengedepankan semangat ultra-nasionalisme, kolektivisasi, atau individualisme. Sebagai akibat banyaknya persaingan yang terjadi, khususnya ketika perkembangan zaman tidak dapat dibendung, globalisasi memainkan peran yang sangat krusial sebagai wadah peperangan ideologi, ekonomi, dan politik.
Kita dapat berkaca pada kasus yang terjadi di Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) yang mana media asing tidak dapat masuk dengan bebas untuk meliput fenomena yang terjadi di sana. Penerapan lembaga sensor pemerintahan di sana yang begitu ketat sehingga memungkinkan adanya kendali atas opini masyarakat terhadap pemerintahan melalui siaran yang disajikan di media massa. Berbagai tindakan yang dilakukan tersebut mencerminkan adanya ketakutan pemerintah atau negara terhadap pengaruh negara asing terhadap penduduknya sehingga secara ketat mengendalikan lembaga-lembaga yang berpotensi membawa informasi asing masuk ke dalam negara atau wilayahnya. Tindakan tersebut apabila diterapkan secara total dan represif justru akan menimbulkan ancaman bagi kebebasan berpendapat sehingga masyarakat tidak dapat menyuarakan pendapat dan mengkritik pemerintahnya, hal ini menjadi salah satu penyebab bagi hancurnya checks and balances bagi sebuah negara atau pemerintahan.
Dari tindakan-tindakan represif yang mungkin dan sangat mungkin dilakukan oleh pemerintah atau negara terhadap rakyatnya, hal ini menegaskan bahwa kedaulatan rakyat tidak hanya terancam oleh gerakan dari lingkungan eksternal, namun juga dapat terancam oleh lingkungan internalnya. Berkaca pada kasus di Indonesia. Beberapa kali kedaulatan rakyat terancam oleh tindakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah peraturan yang diterbitkan. Misalnya Omnibus Law bahkan yang terbaru adalah RUU PILKADA yang memicu konflik di dalam kehidupan bernegara.
Jika kita ambil pada kasus yang terbaru –RUU PILKADA– terdapat poin yang cukup kontroversi terkait batasan usia calon kepala daerah yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang mana batas usia minimal bagi seorang calon Gubernur adalah 30 tahun dan seorang calon Wali Kota atau Bupati adalah 25 tahun “ketika resmi dilantik”. Usulan ini cukup kontras dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan nomor 70/PPU-XXII-2024 yang menyatakan bahwa usia minimal seorang calon Gubernur adalah 30 tahun dan seorang calon Wali Kota atau Bupati adalah 25 tahun, terhitung saat “ditetapkan” oleh KPU sebagai pasangan calon, bukan dihitung ketika dilantik. Hal ini menggambarkan kondisi yang cukup kontradiktif dengan asas-asas kedaulatan masyarakat atau rakyat yang mana diduga di dalam perancangan suatu peraturan tertentu mengandung unsur politis untuk mengamankan sebuah posisi di masa yang akan datang.
Bertolak pada kasus di atas, kontrak sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya kerja sama dan gotong royong masyarakat Indonesia untuk menciptakan kehidupan bernegara yang berakuntabilitas dan berintegritas menghadapi ancaman internal. Kontrak sosial dapat berjalan dengan baik jika dan hanya jika semua pihak yang terlibat di dalamnya mematuhi dan menjalankan kesepakatan yang telah ditentukan –baik penguasa (pemerintah) atau individu. Apabila salah satu pihak tidak mematuhi kesepakatan yang telah ditentukan, maka semua lembaga yang ada di dalam negara memiliki hak untuk melakukan pemaksaan agar kehendak umum atau kesepakatan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan.
Salah satu bentuk pengendalian terhadap kontrak sosial yang telah ditentukan adalah melakukan protes atau memberikan kritik keras terhadap rezim yang sedang memimpin. Protes yang dilakukan dapat terjadi secara kolektif atau individual, namun yang sering kali memberikan tekanan terhadap salah satu pihak adalah dengan melakukan demo, seperti yang dilakukan sebelumnya terhadap fenomena RUU Pilkada. Melalui aksi dan kritik yang dilontarkan secara langsung menggambarkan bahwa rakyat sedang menuntut dikembalikannya kedaulatan ke posisi yang simetris, sehingga menarik arah kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah lebih berorientasi bagi perkembangan masyarakat banyak dibandingkan memuluskan kepentingan segelintir penguasa yang mendukung kelangsungan hidup oligarki dan kapitalisme.
Jalan Panjang Kedaulatan
Kedaulatan yang diperjuangkan oleh masyarakat agar terus berada di koridor yang tepat, yaitu demokrasi. Selalu saja berhadapan dengan banyaknya tindakan-tindakan yang diduga menciptakan sebuah spektrum baru di dalam masyarakat, khususnya untuk melawan demokrasi dengan politisasi berbagai aspek di dalam kehidupan bernegara sehingga pemerintahan yang antidemokrasi perlahan terbentuk dan membenturkan berbagai elemen masyarakat . Akibatnya, kesadaran masyarakat tentang kedaulatan yang sedang terancam menjadi bias dan masyarakat sebagai agen checks and balances suatu pemerintahan direduksi dan terpecah belah.
Produk yang dihasilkan oleh hukum pada dasarnya menjadi salah satu kunci adanya eksistensi kedaulatan rakyat. Apabila eksistensi hukum terus saja dimanipulasi oleh kepentingan yang anti-demokrasi, maka akan menciptakan ketidakseimbangan di dalam masyarakat. Akibat adanya kesukarelaan rakyat untuk menyerahkan seluruh kehidupannya di bawah suatu otoritas yang dapat kita sebut sebagai negara yang di dalamnya terdapat struktur pemerintahan, maka hal ini menciptakan adanya ketidakseimbangan kuasa yang berpotensi untuk disalahgunakan. Ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan yang terjadi di antara rakyat dan penguasa dapat –kurang lebih– diseimbangkan dengan produk-produk hukum yang mendukung kesepakatan dan kontrak sosial yang telah ada semenjak negara ini berdiri.
Rousseau (2024) menyebutkan kedaulatan rakyat yang ada dan dipertahankan hingga hari ini bukan sekedar pelaksanaan dari berbagai kehendak umum yang telah dirumuskan. Lebih jauh lagi hal ini menggambarkan bahwa pelaksanaan yang akan dilakukan juga harus diimbangi dengan kontrol yang ketat oleh banyak pihak untuk menjaga muruah demokrasi dari gerakan atau kepentingan yang anti-demokrasi.
Negara atau pemerintah yang posisinya bergantung pada pengakuan dan kesukarelaan rakyat untuk diatur dan tunduk semestinya memproduksi berbagai peraturan yang tidak antidemokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah hingga mufakat. Berbagai peraturan yang ditujukan untuk membungkam kritik dan membatasi ruang untuk berpendapat merupakan tindakan yang –seperti yang telah disebutkan di awal– mencederai kedaulatan rakyat di mana dasar keberadaan suatu negara berada. Dengan rezim yang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat dan hanya berfokus untuk memolitisasi berbagai kebijakan hanya untuk kepentingan pribadi atau sekutunya, tentu hal ini bukanlah suatu pemerintahan yang demokratis, tetapi sebuah tirani. Ironis.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang politik