• Opini
  • Pesta Rakyat dan Proyek Kebangsaan

Pesta Rakyat dan Proyek Kebangsaan

Pesta rakyat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah cara, sekali lagi meminjam Benedict Anderson, merawat imajinasi kebangsaan.

Sylvester Kanisius L.

Dosen Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Pawai kemerdekaan di lapang Desa Sukamanah, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/8/2022). Pawai kostum untuk memperingati HUT RI ke 77 ini diikuti sekitar 1.000 warga desa. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 September 2024


BandungBergerak.id – Perayaan HUT ke-79 Kemerdekaan RI baru saja lewat beberapa hari. Meski demikian, kemeriahan Bulan Kemerdekaan masih terlihat dan terasa di jalan dan sudut-sudut kota atau perkampungan. Bahkan masih terlihat beberapa komunitas masyarakat mengadakan “Pesta Rakyat” untuk merayakan HUT RI. Denyut pesta rakyat setidak-tidaknya masih terus mengisi ruang-ruang sosial masyarakat selama bulan Agustus. Demikian halnya juga yang terjadi pada masyarakat Perumahan Taman Kopo Indah III Blok E. Sebagai bagian dari Indonesia, warga perumahan ini, sejak 2015 yang lalu, tidak pernah luput dan lalai (kecuali pada masa Covid-19)  menyelenggarakan Pesta Rakyat. Berbagai aktivitas dalam menyambut Pesta Rakyat dilaksanakan, mulai dari mendekorasi lingkungan tempat tinggal dengan ornamen dan pernak-pernik kemerdekaan dan puncaknya adalah perayaan bersama HUT RI pada tanggal 17 Agustus.

Dalam berbagai kegiatan mengisi perayaan HUT RI, masyarakat meluapkan kegembiraan dengan mengikuti berbagai jenis perlombaan yang dipertandingkan dari tingkat anak-anak sampai tingkat dewasa. Antusiasme warga terlihat dari persiapan yang dilakukan mulai dari pembentukan kelompok lomba sampai pengadaan kostum yang mencirikan kesatuan dan kekompakan. Masyarakat larut dalam upaya mempersiapkan diri secara kreatif dan inovatif demi memberikan penampilan terbaik dalam memeriahkan perayaan ulang tahun RI.

Barangkali momen perayaan HUT RI dapat diibaratkan sebagai pembentukan “rasa kolektif”.  Sebagian besar warga negara merasakan semacam aliran energi dalam bentuk imajinasi kebangsaan yang menulari dan memengaruhi emosi sehingga tergetar rasa ke-Indonesia-an-nya. Tak peduli apa pun latar belakang sosial, budaya, agama, dan politik yang membentuk dan memengaruhi identitas seseorang atau suatu komunitas masyarakat, kita menyaksikan suatu aliran energi yang sedang menyatu, melebur, dan menguat menggerakkan rasa kebangsaan yang dimiliki bersama, yaitu Indonesia. Energi itu yang dapat kita definisikan sebagai rasa atau hasrat kebangsaan (passion of nationalism). Hemat saya, hanya pada momen tahunan peringatan HUT RI itulah, energi tersebut menggelora dan membara.

Baca Juga: Tiga Menit Mengheningkan Cipta di Bandung, Kemerdekaan RI Bukan Pemberian Bangsa lain
Sebetulnya Masa Revolusi Kemerdekaan itu Penting Enggak Sih?
Bukan Karnaval Kemerdekaan di Dago Elos

Sekilas Sejarah Pesta Rakyat

Pesta Rakyat (Perak) adalah istilah yang merujuk pada perayaan memperingati HUT kemerdekaan RI yang diselenggarakan oleh seluruh masyarakat di semua tingkatan dari RT/RW sampai ke tingkat pusat. Seluruh masyarakat berpartisipasi mengikuti beragam perlombaan yang diselenggarakan oleh panitia semisal yang sangat umum Lomba Makan Kerupuk, Balap Karung, Balap Bakiak, Tarik Tambang, Panjat Pinang, dan lain sebagainya. Jenis-jenis perlombaan ini memiliki keunikan (varian) yang beragam sesuai dengan kreativitas penyelenggara. Misalnya Lomba Makan Kerupuk dibuat dalam beragam bentuk; ada yang makan kerupuk sambil tangan diikat ke belakang, ada juga makan kerupuk sambil ujung tali yang satu diikatkan pada jempol, dan sebagainya. Semua jenis perlombaan tersebut dibuat semenarik mungkin sehingga suasana perayaan semakin meriah dan menggembirakan.

Merujuk pada berbagai sumber disebutkan bahwa asal mula perlombaan 17 Agustus tidak diketahui secara pasti.  Kompas TV pada tanggal 16 Agustus 2023, mengutip pendapat dosen sejarah dari Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko, menyebutkan bahwa  lomba-lomba tersebut dapat diduga berasal dari tradisi perayaan pernikahan di kalangan bangsawan Jawa yang selalu dilakukan secara meriah di mana salah satunya adalah Panjat Pinang. Misalnya saja, berdasarkan sumber yang sama, lomba panjat pinang diadakan secara meriah pada saat pernikahan Mangkunegara VII (1885-1944). Berbagai jenis lomba tersebut kemudian di replikasi dan diadaptasi untuk merayakan kemerdekaan RI serta mulai marak dilakukan pada tahun 1950-an.

Pendapat senada dikemukakan juga oleh sejarawan dan budayawan J.J. Rizal sebagaimana diulas pada Okezone tanggal 19 Agustus 2023 yang mengemukakan bahwa berbagai perlombaan 17 Agustus baru diselenggarakan secara masif di Indonesia pada tahun 1950, tepat 5 tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Berbagai jenis lomba tersebut merupakan ungkapan syukur dan kegembiraan masyarakat Indonesia setelah berhasil membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan penindasan bangsa asing yang telah berlangsung lama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis perlombaan tersebut  selain memiliki makna historis, juga mencerminkan hasrat ontologis masyarakat melawan kesewenang-wenangan.

Momen Simbolik

Meminjam Ernst Cassirer dalam “The Philosophy of Symbolic Form“ (New Haven & London: Yale University Press, 1980), bahwa manusia disebut sebagai makhluk yang selalu terarah pada simbol dan memberi makna terhadap simbol yang terkait dengan realitas atau pengalaman tertentu (animal  symbolicum). Manusia adalah makhluk yang membentuk dan memahami simbol.

Berbagai jenis perlombaan yang dipertandingkan pada HUT RI simbol atau tanda yang menghadirkan makna terkait dengan peristiwa atau situasi tertentu. Jenis-jenis perlombaan tersebut dapat ditafsirkan dan dimaknai sesuai dengan peristiwa, kejadian, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terjadi dalam sejarah masyarakat Indonesia. Karena HUT RI adalah mengenang sejarah besar bangsa Indonesia melepaskan diri dari penindasan dan penjajahan, maka jenis-jenis perlombaan mengisyaratkan makna yang terkait dengan situasi perlawanan dan perjuangan membebaskan diri dari situasi keterjajahan tersebut.

Dalam peristiwa simbolik melalui beragam jenis perlombaan yang dipertandingkan, masyarakat Indonesia hendak menyampaikan pesan pembebasan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang sepenuhnya bebas dan tak tunduk pada bentuk-bentuk penindasan apa pun. Tetapi juga, ia dapat diinterpretasikan sekaligus sebagai representasi dari kerinduan masyarakat akan kebebasan sejati yang belum sempat dinikmati sejak momen proklamasi terjadi. Masyarakat Indonesia selalu merindukan dan menantikan datangnya kebebasan yang menempatkan semua orang secara setara tanpa memandang latar belakang sosial, budaya, ekonomi, maupun ideologi mereka.   

Merawat Bangsa

Benedict Anderson melalui karyanya “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism” (London: Verso, 1983), dapat dibenarkan ketika mengatakan bahwa suatu bangsa dapat tetap bertahan dengan merawat imajinasi kebangsaan bersama-sama. Pesta rakyat identik dengan proyek kebangsaan yang menyediakan ruang bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengekspresikan semangat dan cinta terhadap negeri Indonesia. Pada momen historis itu seluruh masyarakat seolah-olah terhenyak dan sadar bahwa mereka terpanggil untuk menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Masyarakat seolah-olah menemukan diri mereka berada pada garis sejarah Indonesia yang membentang selama berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun. Dengan perkataan lain, momen pesta rakyat menarik masyarakat Indonesia memasuki labirin pengalaman kebangsaan yang sarat dengan perjuangan untuk membebaskan diri dari penderitaan dan penindasan. Melalui pesta rakyat, masyarakat sesungguhnya tengah membentuk jaring-jaring kebangsaan sebagai pengait dan penguat hasrat dan emosi sebagai anggota keluarga komunitas Indonesia.

Barangkali tidak ada yang menyadari akan hal itu. Bayangkan di seluruh pelosok negeri pada tanggal yang sama tengah berlangsung suatu pesta akbar memperingati kemerdekaan RI. Bayangkan juga suatu energi besar, suatu kegembiraan sedang melanda seluruh penghuni negeri ini. Pada Pesta Rakyat, kalah dan menang dalam perlombaan bukanlah ukuran. Semua masyarakat membaur dalam keriuhan yang penuh canda dan tawa. Semua memerankan diri sebagai pelaku, sekaligus korban dari suatu perayaan yang dinikmati bersama. Karena itu, pada pesta rakyat kegembiraan dan sukacita dirayakan dan dinikmati bersama. Itulah energi sesungguhnya dari suatu rasa memiliki terhadap bangsa dan sejarah yang membentuknya. Masyarakat tumpah dan riuh  hanya untuk bisa merasakan energi kegembiraan yang mengalir dan memengaruhi rasa dan imajinasi mereka. Seluruh imajinasi terarah pada kegembiraan dan sukacita itu.

Bandingkan dengan pesta demokrasi seperti Pemilu atau Pilpres. Meskipun di rayakan di seluruh pelosok negeri oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, ukuran kegembiraan adalah menang. Tidak ada yang bersedia menerima kekalahan karena itu ibarat mengalami kebinasaan atau kehancuran. Pada momen Pemilu atau Pilpres ada kecenderungan di mana yang menang dianggap musuh oleh yang kalah, demikian pun sebaliknya. Maka paradigma yang menguat adalah perlawanan atau penolakan. Paradigma semacam itu tentu saja tidak ditemukan pada momen pesta rakyat memperingati HUT Kemerdekaan RI. Semua orang larut dalam paradigma yang sama, “Kalah atau menang yang penting happy.” Dari situasi inilah, saya dapat meyakini bahwa pesta rakyat adalah sebuah cara, sekali lagi meminjam Benedict Anderson, merawat imajinasi kebangsaan. Dalam peristiwa semacam itu, ikatan sosial menguat dan identitas kebangsaan menemukan formulasi yang melampaui perbedaan dan keragaman. Jaya Indonesia, jaya negeriku.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang perayaan hari kemerdekaan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//