Ijeum Basa Warga Penghayat, Melihat Kompleksitas Cara Beragama Kita
Justru di akar rumputlah warga mengidupi cara beragama yang autentik dan penuh inovasi. Salah satunya lewat penggunaan bahasa.

Arfi Pandu Dinata
Pegiat Dialog Lintas Iman. Penyuka Teologi dan Studi Agama.
23 Mei 2025
BandungBergerak - Kekuasaan telah menjinakkan pikiran kita untuk selalu membayangkan bahwa beragama berarti menganut satu agama, atau malah secara khusus terikat pada sebuah institusi tertentu. Bagi kita sekarang, agama adalah kategori nominal yang menjelaskan identitas penganutnya. Ada buddhis, muslim, atau kristiani.
Ini tentu merupakan konstruksi belakangan, semenjak kehidupan berwarga negara kita terus didesak oleh kebutuhan mengisi kolom agama di berbagai formulir dan kartu-kartu. Agama menjadi matriks untuk mengklasifikasi statistik demografi penduduk, area yang pantas mendapatkan jatah layanan bimbingan masyarakat di Kementerian Agama.
Justru di akar rumputlah warga mengidupi cara beragama yang autentik dan penuh inovasi. Keyakinan mereka tidak selalu padu dan cocok dengan buku-buku teks pendidikan agama di sekolah. Namun praktiknya selalu aplikatif dan relevan dengan ritme keseharian.
Baca Juga: Anak Kabupaten, Ejekan, dan Masalah Kelas di Bandung
Terjal Jalan Murid-murid Penghayat Kepercayaan Menghadapi Perundungan
Bahasa Warga
Dalam praktik beragama yang autentik di akar rumput, warga bisa saja berseberangan dengan standar ketentuan penyelenggara negara. Muslim Aboge, misalnya, selalu punya keberanian untuk berlebaran menurut perhitungannya sendiri.
Warga juga secara kreatif melahirkan bahasanya sendiri untuk menjelaskan berbagai fenomena keberagamaan pada diri dan sekitarnya. Bahasa warga sangatlah sederhana, sekaligus memantulkan estetika lokal yang penuh makna metaforis nan mendalam.
Di tengah percakapan, pergaulan, dan lalu-lalang yang tampak biasa saja, warga penghayat Kepercayaan yang hidup di sekitar Bandung tampil, mungkin tanpa sadar, memberi potret yang lebih konkret dan alami tentang cara beragama kita yang sesungguhnya sangat kompleks. Juga tentang ide-ide yang pada hari ini disebut dengan kebebasan beragama.
1. Maké, artinya memakai. Ragam hormat menyebutnya dengan kata anggo. Kini secara khusus, maké atau nganggo mengacu pada situasi seseorang yang mengamalkan ajaran atau tradisi leluhur baik sebagian maupun seluruhnya. “Siga urang nu masih nganggo ….” ucap salah seorang warga penghayat di Lembang.Maké adalah ungkapan yang menegaskan bahwa unsur yang sangat penting dari suatu agama, ialah praktik. Dengan kata ini, agama tidak cukup dimengerti saja tanpa dilaksanakan. Kita diingatkan kembali bahwa agama juga adalah cara-cara yang diimplementasikan: doing religion. Kita seharusnya bisa lebih memahami kalau beberapa penganut agama meletakkan praktik religius sama pentingnya dengan iman, bukan melulu “Yang penting mah percaya!”. Umat Katolik tidak boleh dirintangi melangsungkan misa di Gedung Serba Guna Arcamanik, Kota Bandung. Bolehlah kita melihat lagi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, kok bisa mengintervensi secara teknis pada cara beribadah kita?
2. Nyumput Buni di Nu Caang, merupakan peribahasa Sunda yang secara harafiah berarti sembunyi tertutup rapat dalam terang. Bagi salah seorang muda penghayat, sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XIII/2017 bahasa ini kerap digunakan untuk menggambarkan situasi ketika warga penghayat masih berlindung dalam nomina agama yang difasilitasi negara. Penghayat mau tak mau harus memilih identitas agama yang tidak dianutnya. Termasuk juga keterlibatan pendidikan agama dan bahkan penggunaan atribusi kerudung di sekolah.
Kiranya istilah ini bisa dikembangkan untuk menjelaskan tentang masih banyaknya penganut atau kelompok agama lain yang terdesak. Banyak orang harus bersembunyi, termasuk komunitas muslim tertentu yang tidak mudah membuka diri sebagaimana jemaat Ahmadiyah, akibat Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011. Inilah crypto-religion.
3. Dua Parahu. “Bapa mah nyebutna dua parahu.” Istilah ini digunakan tokoh penghayat untuk menyebut situasi seseorang yang menganut dua agama. Faktanya, di tengah masyarakat kita ada yang menganut dua atau malah mungkin lebih agama. Akademisi Barat menyebutnya double or multiple religious belonging. Awalnya lebih akrab disebut secara menghina sebagai sinkretik.
Menghidupi berbagai agama secara bersamaan telah menjadi musuh politik hari ini. Negara terus-menerus melakukan pemurnian terhadap suatu agama. Ia seolah-olah tahu bahwa ada versi paling valid dari suatu agama yang tidak mungkin dinodai sebagaimana Undang-undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Nomor 1 Tahun 1965. Korban terbanyak dari kekuasaan model ini adalah kelompok abangan yang dikomuniskan sejak 1965.
Lucunya di tengah ketakutan ini, setidaknya kita sedikit-sedikit masih mewarisi model beragama ini. Percaya pamali, ramalan zodiak, pelaku pantrang, dan pengamal ajaran agama sendiri!
4. Sabeulah-sabeulah, celetukan salah seorang warga penghayat di tengah forum diskusi untuk menggambarkan kondisi perkawinan yang salah seorang pasangannya menganut agama yang berbeda. Realitas warga negara yang membangun rumah tangga lintas agama tidak terhindarkan, apalagi bagi warga penghayat di Bandung yang tinggal di tengah dominasi masyarakat muslim. Sabeulah-sabeulah yang artinya sebelah-sebelah bukan hanya bahasa yang menangkap keterampilan warga akar rumput yang mampu menjalin hubungan romantik-sensual di tengah perbedaan. Ini adalah juga usaha untuk menghidupi nilai kebebasan beragama bagi pasangan dan anak untuk mengikuti suara nuraninya masing-masing.
Kita, yang katanya tumbuh dengan wawasan yang luas dan kemajuan zaman, bisa belajar banyak. Publik dan pelayannya semestinya memiliki kedewasaan sikap yang bisa memaknai bahwa perkawinan bukanlah sarana penaklukan untuk membangun massa religius tertentu. Kita boleh tertawa jika berkaca pada lagu-lagu pop seperti “Peri Cintaku”, “Kita Yang Beda”, dan “Melawan Restu”. Juga pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang hakim untuk mencatatkan perkawinan beda agama.
5. Teu Sakartu tapi Sakarta. Saguru saélmu berarti seguru seilmu. Tidak bisa terhindarkan bahwa setiap agama pastilah tidak seragam. Termasuk keniscayaan lahirnya berbagai interpretasi, organisasi, mazhab, aliran, dan denominasi. Pada malam peringatan kelahiran Mama Mei Kartawinata, tokoh penggali ajaran leluhur tahun 2024, salah seorang putranya mengakui dengan jujur keadaan ini. Seiring berjalannya waktu, ajaran ayahandanya berkembang menjadi beberapa organisasi. Di antaranya yang populer adalah Aliran Kebatinan Perjalanan, Budi Daya, dan Aji Dipa.
Sebagai Hidup Keseharian
Kenyataan ini menjadi pelajaran penting bagi dunia kita sekarang yang sering terburu-buru memandang seakan-akan setiap agama hadir tanpa perbedaan di tingkat internalnya. Bukankah perbedaan ini juga pantas untuk diterima dan dirayakan? Ada wajah keragaman yang berlapis, termasuk Kabuyutan Dayeuh Luhur Geger Kalong yang mengambil ekspresi muslim Syiah dan kesundaan. Kok masih bisa-bisanya dibingkai jadi aliran sesat?
Di tengah modernisasi yang terus-menerus membelenggu kita, warga penghayat yang melokal itu telah memberi teladan soal keberanian menerabas batas pada kita yang selalu ketagihan pada pola pikir hegemonik Barat. Mereka berbicara, menamai, bahkan terlibat dalam cara-cara agama yang dihidupi dalam keseharian. Wargalah yang berhadapan dengan relasi-relasi kuasa yang mendesak agar beragama menjadi kaku, yang dengannya menyingkap lapis keragaman agama yang pelik pada tingkat diri sendiri, keluarga, organisasi, hingga publik.
Tulisan ini bukan sekadar upaya menyanjung kearifan lokal, tapi ikhtiar dalam mencermati lebih jauh cara pengetahuan warga bekerja, melakukan penyelidikan, dan merekam kehidupannya sendiri. Terbukti, warga lokal mampu menangkap kompleksitas cara beragama manusia, melampaui kita yang banyak menghabiskan waktu untuk mengenal kebebasan beragama yang teksual. Warga penghayat telah mengungkap kejujuran bahwa manusia tidak pernah beragama di ruang ahistoris dan apolitis.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang Cerita Guru