• Opini
  • Anak Kabupaten, Ejekan, dan Masalah Kelas di Bandung

Anak Kabupaten, Ejekan, dan Masalah Kelas di Bandung

Semangat Bandung sebagai Ibu Kota Asia Afrika telah mengalami degradasi yang signifikan. Persepsi tata kota dan kewilayahannya masih berpijak pada segregasi kelas.

Arfi Pandu Dinata

Pegiat Dialog Lintas Iman. Penyuka Teologi dan Studi Agama.

Ilustrasi. Orang muda dan kotanya. (Ilustrator: Arctic Pinangsia Paramban/BandungBergerak)

5 Februari 2025


BandungBergerak.idJamet singkatan dari jajal metal, coba-coba bergaya metal. Ada juga yang bilang bahwa kata ini lakuran dari Jawa metal. Bentuk julukan rasis kepada perantau Jawa yang sebagian besar tergolong kelas pekerja, disandingkan secara lengkap dengan sebutan kuproy yakni kuli proyek. Seturut meluasnya penggunaan julukan ini, makna jamet juga terus diproduksi secara negatif, misalnya menjadi janda mental dan jablay metal. Tentu makna ini bermakna seksis khususnya kepada perempuan.

Sekarang kata ini dipakai secara peyoratif untuk menyebut ekspresi seseorang yang berpenampilan gaul namun dianggap norak. Masyarakat yang memandang bahwa terdapat suatu budaya normal yang menjadi acuan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Mode pakaian, gaya rambut, jenis kendaraan, hingga fitur penyuntingan konten video di media sosial dapat menunjukkan kelas tertentu. Misalnya musik indie yang diberi kesan lebih puitik ketimbang DJ remix dan dangdut koplo yang energik. “Boba tiga” punya daya tarik yang lebih tinggi dari merek ponsel yang lain, sebagaimana pilihan terhadap kedai kopi tertentu.

Fenomena ini tidak terhindarkan tumbuh di kawasan Bandung. Begitu menguatnya hal ini, hingga urang Bandung mempunyai cara mengejeknya sendiri yakni dengan sebutan anak kabupaten. Hobinya identik dengan jajan seblak dan minuman seduh pinggir jalan yang murahan. Mereka memakai hoodie kw lagi berambut pirang, ketawa-ketiwi di pasar malam sebuah ruang sosial kumuh yang terjangkau dan meriah. Kendaraan motornya dimodifikasi. Menjadi seperti mereka tentunya akan dirasa sangat memalukan. Sebab ada asosiasi yang kuat, bahwa kehidupan seperti itu mencirikan kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan perilaku yang kasar.

Baca Juga: Vandalisme, Sampah, dan Pencurian di Taman-taman Kota Bandung
Bandung Heurin Ku Tangtung, Kemacetan Tanpa Solusi?
Urbisida Bandung Kota Kreatif

Bandung Pinggiran

Kata kabupaten merujuk pada wilayah Bandung pinggiran, berkebalikan kontras dengan area kota yang katanya maju. Bandung yang estetik sehabis hujan, tidak berlaku di daerah tersebut. Malah genangan air yang kian meninggi di akses jalan utamanya, aneka coretan vandalisme, marka jalan yang penyok, dan kepulan asap knalpot.

Bandung coret adalah nama khas yang sekaligus satir untuk menyebut area ini. Ada Padalarang, Kopo, Ciparay, Soreang, Rancaekek, dan masih banyak lagi, yang disangkal secara kultural dari pusat kawasan metropolitan. Di Bandung coretlah jamet memiliki ruang hidup, meskipun kadang dilihat sebagai sarang penyakit baik secara medis maupun sosial. Pada deret-deret rumah yang bercat “hijau miskin” dipandang tidak ada kesadaran soal estetika kerapian. Akhir pekan selalu riuh dengan kebisingan réak atau bajidor, tambah resek karena mereka mabuk jamu dan oplosan. Cara berkomunikasi di antara mereka mendapatkan julukan gordés (gorowok désa) yang gaya bicaranya berteriak, jauh dari sifat yang elegan.

Gerombolan ini merangsek ke area perkotaan, ikut nongkrong dan nonton di bioskop. Ada yang ambil foto di Braga, jajan di DU, dan menikmati penataan taman serta lampu di Dago. Jamet makin meresahkan, mengambil jarak yang terlalu dekat dengan ciri kemapanan orang kota. Tidak dekil lagi, sebagian gaya pakaian mereka sudah beralih menjadi the nuruls dan the nopals. Logat “san(d)al, sen(d)ok” sudah memudar, tetapi gelagat kampungannya masih tetap sama. Orang-orang model ini adalah variasi lain dari jamet yang datang dari kelas menengah.

Begitu kuatnya pandangan ini menjamur di tengah-tengah urang Bandung, apalagi kalangan orang muda. Maka dari itu orang-orang berusaha keluar dari kategori ini. Termasuk mereka yang berasal dari kelas menengah bahkan pekerja, mati-matian memaksakan diri agar telihat lebih “berada” secara ekonomi dan “beradab” secara moral. Tidak sedikit orang yang merasa sedang membela harga dirinya itu, rela terlilit utang pinjaman daring atau membiasakan pay later (diksi yang kesannya kekinian sekali). Kecenderungan menganut standar budaya perkotaan dianggap keren, selera ini diklaim terkoneksi dengan tren global yang kekinian.

Pada akhirnya orang-orang yang mabuk kepayang ini, kelimpungan membeli kelas sosial. Satu sama lain bersaing memenuhi ekspektasi lingkungan sekitarnya. Hari demi hari mengumpulkan uang untuk berbelanja lagi dan lagi, mengejar gengsi dan tanda kelas. Seolah-olah Bandung Sang Paris Van Java sedang sepenuhnya mengalami globalisasi dan pembabakan modern yang gemilang. Tentu hal ini tampak pada melesatnya budaya fast fashion dan food, tren konten viral, tongkrongan hype dan instagrammable, bahasa gaul, hingga gengsi akses langganan premium pada aplikasi gawai di Bandung. Makin konsumtif dan hedonis makin dekat dengan imaji tétéh-tétéh dan aa-aa Bandung yang goodlooking itu, sekaligus mengukuhkan kebanggaan satu lagi bahwa betul-betul Bandung Kota Kembang.

Degradasi dan Segregasi Sosial

Semangat Bandung sebagai Ibu Kota Asia Afrika telah mengalami degradasi yang signifikan. Alih-alih vokal menyuarakan keberpihakan pada marginal, Bandung memilih melanjutkan etos kolonial dengan terpesona pada kebudayaan Barat yang hegemonik. Persepsi tata kota dan kewilayahannya masih berpijak pada segregasi kelas. Konsentrasi pembangunan yang estetik itu hanya berlaku di bagian utara kota ini. Maka tidak heran atas nama penertiban, rakyat miskin kota mengalami penggusuran dan terpapar kekerasan. Begitu pun siasat industri kapitalis berhasil mendefinisikan urang Bandung sebagai makhluk sensual demi pangsa pasarnya. Tanda keberadaban dan kegaulan tidak jauh terletak pada jenama (brand) dari barang-barang konsumsi.

Perlahan namun pasti, akhirnya urang Bandung menyangkali selera dan kebutuhan pribadinya, kebebasan diri, ataupun daya belinya dalam menjalani kehidupannya. Superioritas budaya dan dominasi kapitalisme melahirkan hasrat untuk mengoreksi cara yang lain menjadi urang Bandung. Semua ini memaksa para perantau, pekerja, mahasiswa, pelajar, pelancong, dan warga yang berada di Bandung untuk tunduk pada standar yang kekuasaan buat. Akhirnya hal ini makin mengukuhkan eklusivitas definisi wilayah Bandung, sebagaimana muncul pada percakapan sehari-hari warga “rék ka mana?” “ka Bandung!”.

Jamet, anak kabupaten, the nuruls, the nopals, dan warga Bandung coret adalah urang Bandung yang melawan budaya dominan yang memproduksi etika dan estetika yang memiskinkan. Mereka bukan kalangan yang antipati pada dunia yang multikultur, namun orang-orang yang memantaskan diri dengan keadaan, identitas lokal, bahkan keberlanjutan lingkungan Bandung. Mereka membutuhkan ruang publik, sekarang sedang merebutnya.  Di alun-alun kota mereka berkumpul, di pinggir jalan mereka kongkow. Kemiskinan mereka adalah bukti nyata dari statusnya sebagai warga yang terdampak (baca: korban) akibat pembangunan (baca: eksploitasi) di Bandung Raya.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//