Urbisida Bandung Kota Kreatif
Penghancuran struktur fisik kota dalam konteks Bandung adalah tindakan penghancuran kampung kota, tempat di mana masyarakat hidup bersama. Pada akhirnya urbisida.
Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
19 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Kota menyumbang 56% populasi, 75% konsumsi energi, dan 82% perekonomian dunia. Bersama dengan negara dan swasta, kota merupakan pemain utama global. Namun, secara paradoks melalui perencanaan kota neoliberal, kota dimusnahkan secara masif, selektif dalam bentuk dan situasi beragam. Perencanaan kota global-modern menciptakan kawasan pemukiman besar-elite, mono-fungsional, dan tampak serupa. Disisi lain penghancuran infrastruktur material dan fasilitas sosial-budaya serta administrasi informal juga meluas. Bandung menangkap tren ini melalui Bandung Juara di bawah kendali, kontrol dan kuasa Wali Kota Ridwan Kamil (2013-2018) melalui imajinasi Smart City dan Creative City yang tetap berlangsung ketika menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat (2018-2023) karena Bandung sebagai ibukotanya. Tidak heran jika kebijakan pembangunan Bandung berorientasi desain arsitektural dalam ornamen ruang publik berupa taman hingga dekoratif kota termasuk proses-proses penyingkiran kampung-kampung kota yang dianggap kumuh, ilegal, dan tidak modern.
Bandung menjanjikan keberagaman dan keseruan –dipandang sebagai magnet menarik yang tak tertahankan. Namun, kota ini menghadapi tantangan keras untuk akses lahan, rumah dan moda transportasi publik. Menghadapinya dengan cara kemauan politik untuk memecah gelembung nilai tanah dan rumah termasuk akses mobilitas hingga mengurus dengan seksama dan adil terhadap kehidupan informalitas dan kerentanan tenurial.
Bandung sebagai kota kreatif mendapatkan rumusan dengan menciptakan kelas kreatif, di mana cara terbaik untuk menumbuhkan daya saing bisnis adalah dengan membina “kelas kreatif” bohemian tersebut yang terdiri dari kapitalis inovatif dan kelompok kelas menengah wirausaha (influencer, profesional, pendidikan tinggi). Kelas kreatif ini berada pada posisi tepat untuk menyatukan keberagaman fisik-sosial dan toleransi budaya dalam pembangunan ekonomi karena mereka dianggap memiliki etos menghargai kreativitas, individualitas, perbedaan dan prestasi dan menunjukkan kepekaan bohemian-borjuis yang dipupuk oleh pusat-pusat yang dinamis dan beragam secara fisik dan jaringan sosial politik. Hasilnya kebijakan kota smart-creative city Ridwan Kamil selalu didukung kuat oleh kelas kreatif/ormas kreatif ini yang dengan power dan penguasaan ruang publik nyata-digitalnya.
Bukannya pembenahan kota menjadi livable cities dan right to the city, tapi yang terjadi adalah Urbicide atau Urbisida yang menggambarkan sebagai perusakan atau "pembunuhan" kota secara sengaja secara langsung maupun tidak langsung. Penyingkiran warga, penggusuran rumah dan perampasan lahan yang tenurial security rendah dilakukan dikampung-kampung kota dengan stigma kumuh, ilegal, tempat berkumpulnya orang-orang miskin yang dianggap oleh statistik pembangunan kota sebagai entitas kota yang tidak berguna atau residu pembangunan. Ini kemerosotan kehidupan sehari-hari, kehancuran simbolis dan material kota.
Baca Juga: Demokrasi Rungkad
“Ekonomi Dadasâ€
Pembangunan di Bandung dan Seoul yang Bertolak Belakang
Urbisida
Istilah “urbisida” menjadi populer selama perang Bosnia tahun 1992-95 sebagai sebutan untuk penghancuran lingkungan perkotaan yang meluas dan disengaja. Diciptakan oleh para penulis tentang pembangunan perkotaan di Amerika, urbisida menangkap kesan bahwa penghancuran bangunan secara luas dan disengaja merupakan bentuk kekerasan yang berbeda. Urbicide tidak selalu berkaitan dengan peperangan, namun sejak perang Balkan tahun 90 an, dengan penghancuran Sarajevo, urbicide didefinisikan sebagai “Penghancuran sebuah kota secara sengaja sebagai bagian dari strategi militer”. Urbicide sendiri sudah lama dikenal dalam sejarah manusia, misalnya dalam peristiwa penghancuran Yerusalem oleh pasukan Romawi pada tahun 70 M. Perang di medan perkotaan telah berubah, di mana setiap jalan, rumah, bangunan, tanah hingga ruang publik harus direbut satu demi satu memberikan keuntungan bagi pihak yang mempertahankan kota.
Dengan Urbisida, mencoba untuk memahami proses perkotaan dengan cara yang berbeda - yaitu, dengan melakukan perubahan metode, mengalihkan penekanan dari bagaimana kota diproduksi ke bagaimana kota tersebut dihancurkan, dan dari ingatan ke pelupaan. Hal ini memberikan alasan untuk memahami kota dengan fokus pada penyebab kehancurannya, menunjukkan secara kritis bagaimana harapan akan realitas perkotaan baru dapat ditemukan dalam model kota yang ada, memulihkan rasa (utopis) akan tempat yang baik bagi kota.
Urbisida dengan buldoser hanyalah salah satu elemen dalam strategi geopolitik kota, polisi, militer dan ormas. Diawali dengan pembongkaran kampung kota terkait dengan transformasi lanskap modern, anti kumuh, anti miskin dan ilegal yang lebih luas dengan maksud untuk penguasaan tanah dengan tenurial yang rendah untuk diambil alih oleh pemerintah kota untuk aset baru atau di transfer kepada pihak swasta atau pihak swasta sendiri yang melakukannya. Semuanya bekerja dengan mengakali/melanggar undang-undang terkait tanah hingga regulasi perkotaan dan pemukiman serta semua perangkat hukum terkait.
Penghancuran struktur fisik kota dalam konteks Bandung adalah tindakan penghancuran kampung kota, tempat di mana masyarakat hidup bersama-sama, di mana pada akhirnya urbicide juga menjadi tindakan penghancuran struktur sosial dan kultural masyarakat, situasi yang akan mendorong masyarakat untuk pergi meninggalkan kampungnya karena terpaksa. Area kampung yang ditinggalkan nantinya hanya akan berisi kelompok tertentu, warga homogen yang mendukung klaim aggressor-Pemkot atau swasta atau keduanya. Tujuan lain dari urbisida ini juga termasuk untuk mempermalukan warga yang dianggap musuh kebijakan pemerintah atau kepentingan swasta dengan menghancurkan simbol kultur mereka, sehingga lupa identitasnya.
Adalah normal bila penduduk kota memiliki ikatan emosional dengan kota tempat ia tinggal, tempat ia dibesarkan, tempat ia mengalami momen–momen istimewa dalam hidupnya, pengalaman sehari-hari yang akan mengikat seseorang atau komunitas untuk bangga menjadi bagian dari kotanya. Ketika sebuah kota secara fisik dihancurkan, maka dampak psikologis yang ditanggung penduduknya dapat cukup dramatis.
Seperti pengalaman warga kampung kota seperti kampung Siliwangi Kolase, Kampung Tamansari, Kampung Babakan Jeruk Stasiun Barat, kampung Jalan Anyer, Kampung jalan Jakarta-Kiracondong di Bandung, sebagian mengalami semacam “amnesia” bahkan menjadi gelandangan kota. Mereka tidak dapat lagi mengingat kampung kotanya sebelum terjadinya urbisida, termasuk menanggung malu dan memendam marah ketika ruang hidupnya diinvasi dan diobrak-abrik. Sekarang, Kampung Dago Elos yang masih berupaya melawan ini semua.
Bentuk modernisasi yang dipaksakan dalam masyarakat kampung kota telah disertai dengan perluasan pemukiman gated community atau kompleks2 mewah di lokasi-lokasi strategis di pusat kota dan pusat turisme yang dipadukan dengan jaringan infrastruktur jalan, trotoar, energi yang menopang kelangsungan hidup masyarakat baru di bekas lokasi kampung kota dengan tingkat mobilitas dan interkoneksi tinggi, serta layanan modern yang baik. Sedangkan, warga kampung kota yang disingkirkan menghadapi pencekikan ekonomi, sosial dan budaya, karena mereka terjebak oleh kombinasi kerentanan dan pengawasan yang memberikan gambaran baru mengenai kewaspadaan panoptik.
Seyogyanya, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob) yang dalam Pasal 11 menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan hidup layak, termasuk hak perumahan dimanapun termasuk dikampung-kampung kota. Maka sesuai ketentuan Pendapat Umum PBB No 7/1997 tentang Penggusuran Paksa terhadap Pasal 11 ini serta United Nations Basic Principles and Guidelines on Development-Based Evictions and Displacement A/HRC/18, paragraph 6 Dewan HAM PBB 2009 dikemukakan bahwa penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional sesuai Resolusi Komisi HAM PBB No 2004/28 serta pengaturan standar HAM bagi warga korban penggusuran. Selain itu hal ini juga termaktub dalam Fact Sheet PBB No. 25/Rev.1/2014 tentang Penggusuran Paksa.
Namun, ketentuan HAM ini sama sekali belum diadopsi ke dalam bentuk peraturan perundangan nasional apalagi tingkat kabupaten/kota yang melindungi warga tergusur dari pelanggaran hak dan kekerasan di Indonesia, khususnya di Bandung. Padahal Bandung melalui walikotanya Ridwan Kamil mengklaim sebagai Ibukota Ramah HAM se-Asia Afrika dalam acara Konferensi Asia-Afrika ke-60 tahun 2015 lalu. Selain itu jika merujuk pada UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM penggusuran paksa bagi warga kampung-kampung kota di Bandung sebagai population transfer dimana pemaksaan eksodus hingga penyingkiran yang menyebabkan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida-pasal 8e dan kejahatan atas kemanusiaan-pasal 9d.
Beberapa kasus penggusuran paksa diatas, pemkot Bandung tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sejalan dengan asas publisitas hukum agraria yang sesuai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria-UUPA No. 5/1960, pasal 19 ayat (4). Selain itu, dalam UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum tidak mengatur norma pidana. Jika merujuk pada Perpu No. 51/1960 yang berjiwa kolonialisme karena menggunakan prinsip domein verklaring (hak menguasai negara) yang digunakan Hindia Belanda. Artinya, semua tanah/lahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh warga pribumi yang berada dalam kekuasaan Hindia Belanda menjadi milik tanah negara dan pemerintah itu bagian dari negara. Domein verklaring sebenarnya telah dinegasikan atau dikesampingkan dalam UUPA. Artinya, penerapannya tidak serta merta memberi kewenangan absolut bagi Pemerintah pusat termasuk pemerinntah daerah kab/kota terutama dalam hal pembebasan lahan/tanah, apalagi ditambah dengan penggusuran paksa seperti yang dilakukan di Bandung dan banyak tempat lainnya di Indonesia.
Kurangnya kesadaran sosial membuat persepsi terhadap lingkungan tidak ‘tercemar’ oleh pertimbangan sosial. Dia belum memperoleh penglihatan selektif yang membedakan keindahan bunga dari keindahan rumput liar. Ketika bertambah tua maka akan kehilangan hal tersebut, karena indra menjadi tumpul karena keakraban, namun maksudnya adalah bahwa telah terjadi penurunan kepekaan fisik terhadap rasa, terhadap bau, terhadap warna, terhadap suara, terhadap ruang. Lingkungan yang dibangun telah menjadi jauh lebih membosankan dan perencanaan kota yang berorientasi komersial jelas ditujukan hanya pada satu kelompok saja: Asumsi tak terucapkan telah dibuat bahwa kota itu ada untuk satu jenis warga tertentu: orang kaya, anak-muda gaul dengan kanon smart dan creative serta para turisme luar kota.
Kelas Kreatif
Memang terdapat dimensi perkotaan yang kuat dalam idealisasi luas kota metropolitan dalam kapitalisme maju sebagai pusat nilai-nilai kosmopolitan. Bandung sebagai kota kreatif mendapatkan rumusan dengan menciptakan kelas kreatif, di mana cara terbaik untuk menumbuhkan daya saing bisnis adalah dengan membina “kelas kreatif” bohemian tersebut yang terdiri dari kapitalis inovatif dan kelompok kelas menengah wirausaha (seniman, profesional, lulusan universitas). Kota Bandung diyakinkan oleh paradigma dengan meyakinkan kota-kota yang mudah tertipu bahwa keberagaman budaya, etnis, seksual, dan arsitektur menawarkan kunci untuk berhasil bersaing dengan kota-kota serupa lainnya dalam persaingan untuk menarik investasi.
Kelas kreatif ini berada pada posisi yang tepat untuk menyatukan keberagaman fisik, pembangunan ekonomi dan toleransi budaya karena mereka memiliki etos kreatif yang sama yang menghargai kreativitas, individualitas, perbedaan dan prestasi dan menunjukkan kepekaan bohemian-borjuis yang dipupuk oleh pusat-pusat yang dinamis dan beragam secara fisik. Hasilnya sangat jelas, bahwa kemudian semua kebijakan kota smart-creative city di Bandung dibawah pemerintahan Ridwan Kamil akan selalu didukung kuat oleh kelas kreatif ini yang dengan power dan penguasaan ruang publik nyata-digitalnya berubah menjadi ormas kreatif yang agresif untuk melakukan urbisida, salah satunya terhadap warga kampung kota dan PKL. Namun yang mendasari terjadinya kekerasan yang ikonik ini adalah kampanye dan gerakan yang lebih luas melawan kekerasan yang terjadi di kota ini.
Kota dapat bertujuan untuk menghilangkan bentuk-bentuk organisasi sosial yang otoriter dan menggantinya dengan bentuk-bentuk yang dikelola sendiri dan tidak hierarkis. Kota dapat menjelaskan kemiskinan dan ketimpangan yang terus-menerus terjadi di kalangan keluarga tertentu yang sebagian besar disebabkan oleh cara kerja diatur, komersialisasi waktu luang, perubahan skala kota dan akses terbatas terhadap sumber dan ruang hidup. Semuanya menuntut tingkat kompetensi dan pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan yang diperoleh penduduk kota di masa lalu. Dengan kata lain: tergantung pada modal sosial dan ekonomi suatu rumah tangga apakah seseorang sadar dan dapat menggunakan berbagai pilihan hidup di kota tersebut.
Gambaran tentang penghancuran kampung-kampung kota menghantui mimpi kita. Gang-gang kecil, anak-anak yang berlarian dan informalitas yang bekerja secara sosial-ekonomi-politik merupakan jendela kehidupan perkotaan yang berwarna. Namun kepulan asap pembakaran kampung kota, debu abu-abu penggusuran yang mengaburkan segala sesuatu dan membuat gambar tampak monokrom, kota Bandung kehilangan warna karena tidak ada penduduknya. Tumpukan material rumah, beton, balok, genteng pecah, kayu terbakar dan batu bata remuk, puing-puing yang dulunya begitu padat dengan kehidupan. Apakah ini masih kerja arsitektur ?, kerja perencanaan kota ? praktik urbanitas ? Penilaian ulang terhadap fenomena ini sudah lama tertunda, menghambat penelitian kritis yang membahas titik temu yang kompleks antara kekerasan politik dan upaya untuk menargetkan atau memusnahkan wilayah (kampung) perkotaan.
Merampas tanah dan rumah, memonopoli transportasi privat di ruang publik yang menghancurkan kota dengan merusak taman, trotoar, gedung, dan meningkatkan kontaminasi . Pariwisata yang tidak terkendali, yang sebelumnya dianggap sebagai industri tanpa cerobong asap, secara radikal mengubah fungsi kota sehari-hari. Kekerasan perkotaan mengurangi waktu, ruang, dan kewarganegaraan di kota. Ini merupakan kemerosotan kehidupan sehari-hari, kehancuran simbolis dan material kota.
Warisan dirusak oleh kerakusan kapital dan kebijakan konservasionis, kelupaan dan kombinasi imajinasi, denial dan fallacy publik yang masif dalam menghilangkan fisiognomi dan cara hidup yang terbentuk secara historis untuk mematikan kehidupan sehari-hari sebelumnya. Hak atas kota berasal dari kebutuhan untuk memulihkan sejarah sehingga ingatan akan kehancuran berfungsi untuk mencegah terulangnya hal tersebut, dan untuk memungkinkan pemukiman urbanisme warga. Tentu saja, urbisida adalah kenyataan biasa di kota-kota saat ini, yang hanya menjadi kenangan tanpa sejarah; namun karena ingatan adalah bagian dari konflik, maka yang merusak itu harus dihilangkan demi pembangunan memori warga negara yang sesuai dengan pemerintahan mandiri kampung-kota.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel Frans Ari Prasetyo, atau tulisan-tulisan tentang Bandung