“Ekonomi Dadas”
Jokowi memainkan pelbagai persepsi publik melalui narasi populisnya. Pertumbuhan ekonomi yang diklaim tinggi di atas 5% tidak dirasakan langsung rakyat kebanyakan.
Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
14 Februari 2024
BandungBergerak.id – Setelah “demokrasi rungkad” dipertontonkan secara telanjang oleh pemerintahan Jokowi selama dua periode ini termasuk hingga menjelang Pemilu 2024. Pelbagai upaya dilakukannya untuk menggerus demokrasi dan pilar negara-bangsa, mengerahkan tangan aparatus untuk membentuk sekaligus menekan opini publik termasuk melakukan cuci otak terhadap persepsi publik dalam beragam sektor dengan tujuan elektabilitas dan statistik ekonomi-pembangunan guna menciptakan rezim status quo kekuasaan berkelindan oligarki.
Juned (35 tahun), pedagang nasi goreng keliling malam hari di sekitar Jalan Cilaki, Jalan Citarum, Jalan Bengawan hingga Taman Pramuka yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah. Juned menjadi obat kelaparan di tengah malam bagi saya dan banyak teman skater lainnya yang biasa bermain skate “kelas malam” hari. Sejak awal tahun 2024 ini, secara tidak langsung Juned mengeluhkan bahwa harga beras sebagai bahan baku nasi gorengnya yang terus naik dan mencapai dalam beberapa minggu terakhir menjelang Pemilu 2024. Harga nasi goreng tidak bisa naik, tapi harga beras naik. Kalau nasi goreng naik, teman-teman skater ini gak beli dan pasti kelaparan, lalu saya akan bangkrut!
Serupa Juned, Ibu Gendut (50 tahun dan tidak menjurus body shaming), memang demikian beliau ingin dipanggil walaupun dalam 5 tahun terakhir mengurus drastis karena diabetes. Berjualan nasi goreng mangkal di jalanan di depan pasar Sederhana sejak tahun 90-an dan sejak pasar di renovasi tahun 2015 lalu, lapak Ibu Gendut masuk ke area parkir pasar. Akibatnya tidak seramai dulu ketika di jalan di mana sang koki, sang bapak menggoreng nasi tanpa henti dari magrib hingga jam 10-an di mana bahan nasi sudah habis. Ibu Gendut telah menjadi langganan sejak SMA, penulis diberitahu oleh teman-teman hip-hop yang pada medio akhir 90-an dan awal 2000-an banyak beredar di sekitar daerah Cipaganti- Sederhana, dan jika malam hari lapar, Ibu gendut menjadi pilihan utama karena murah, maknyus dan porsi banyak –ciri-ciri yang sangat digemari pelajar dan mahasiswa. Namun terakhir kali sekitar minggu lalu ke lapak ibu Gendut tidak seramai dulu bahkan jauh dari ketika masih di jalanan sebelum masuk pasar. Selain itu, celotehannya “beas teh awis ayeuna, naek terus. Ibu dagang kumaha? Rek dinaekeun hese, dikurangan asa kacida jeung Ibu bisa tekor, lieur Cep?” . Penulis mendengarkan itu sambil makan dengan perasaan campur aduk.
Kedua pedagang nasi goreng ini langganan penulis, keduanya secara tidak langsung berada di arena scene sub-culture, Juned dengan scene skate dan Ibu Gendut dengan scene hip-hop serupa dengan salah satu bagian dari aktivitas penulis, maka soal ada kedekatan emosional, waktu dan ruang yang dikompresi melalui kedekatann intim dari relasi ini. Suasana dan perasaan yang disampaikan keduanya melekat dalam memori dan aktivitas penulis. Kedua cerita dari tokoh di atas merupakan refleksi situasi nyata di situasi menjelang Pemilu 2024. Mereka adalah lapisan masyarakat bawah yang paling terkena dampak situasi politik panas, ekonomi amburadul, pembangunan serampangan dan demokrasi rungkad yang langsung berdampak pada krisis keseharian mereka – dadas euy!
Maka soal, tidak semua setuju dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah Jokowi periode ke-2 telah tumbuh eksplosif di atas 5% pasca krisis tanpa melihat depresi yang diakibatkan. Faktanya, berdasarkan angka tersebut tidak terlalu kuat karena sensitif terhadap asumsi spesifik. Perdebatannya berdasarkan argumen pertumbuhan yang berkontribusi pada produksi barang dan jasa: tenaga kerja, modal, dan teknologi, yang secara kolektif dikenal sebagai "faktor-faktor produksi”. Ini dapat dikalkulasi melalui rumusan persamaan tradisional untuk memberi gambaran proporsi peningkatan output hasil dari partisipasi tenaga kerja yang lebih tinggi dan penggunaan modal yang lebih baik disertai proporsi hasil dari penggunaan teknologi.
Baca Juga: Pion Suprastruktur Politik Rezim Jokowi dan Kemelut Negara
Jokowi, Mitos Politik, dan Kematian Nalar Publik
Riuh Mengkritik Jokowi, Mulai dari Asosiasi Rektor hingga Koalisi Masyarakat Sipil
Misteri Angka Pertumbuhan Ekonomi
Namun ini tetap tidak meyakinkan untuk menjelaskan misteri angka pertumbuhan itu walaupun kebijakan intervensionis selektif dilakukan, misalnya, memastikan bahwa nilai tukar mencerminkan fundamental ekonomi, bahwa suku bunga menghasilkan pengembalian positif, inflasi terkendali, pajak tidak begitu memberatkan hingga terus melakukan hutang luar negeri untuk pelbagai kebutuhan domestik, kelancaran proyek infrastruktur dll. Namun demikian, angka pertumbuhan yang diperoleh ini malah menjadi angka politik yang dimainkan oleh pemerintah untuk menggiring persepsi publik.
Jokowi sangat ahli memainkan pelbagai persepsi publik melalui narasi populisnya. Ketika sektor riil seperti pangan mengalami krisis yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan politik, maka digaungkanlah impor beras, pembuatan food estate yang ditanam singkong tapi panen jagung padahal yang pangan utamanya beras hingga dilakukan bantuan sosial (bansos) dan pembagian beras di istana.
Nyatanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak dirasakan langsung oleh rakyat yang perlu pangan melalui beras –oleh Juned atau Ibu Gendut. Yang paling menikmati ini adalah para eksportir bisnis ekstraktif, importir pangan dan obat, oligarki tambang khususnya nikel, batu bara serta tycoon sawit yang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam jaring laba-laba kabinet Jokowi dan lingkaran partai pendukung pemerintah.
Efek spektakuler dari klaim pertumbuhan di atas 5% ini membuat terpesona dan menunjukkan Indonesia baik saja, maka investasi silakan datang terlebih regulasinya telah disiapkan –omnibus law. Nyatanya pertumbuhan itu sebenarnya bukan datang dari konsumsi rumah tangga rakyat mayoritas yang diwakili Juned atau Ibu Gendut yang berada dalam angka negatif –menuju kehancuran ekonomi skala rumah tangga terutama di perkotaan termasuk berakhirnya subsidi gaya hidup milenial pengguna teknologi keuangan dalam transaksi konsumsi.
Padahal itu semua konsumsi dalam transaksi online menjadi salah satu yang dibanggakan pemerintah Jokowi ini. Dibaliknya, hampir setiap kali Anda atau saya memesan makanan atau memanggil transportasi online, maka perusahaan di balik aplikasi itu merugi. Akibatnya, start-up ini, yang didukung oleh modal ventura, membayar kita, konsumen, untuk membeli produk mereka.
Sebagai teknologi konsumen penakluk dunia pola ini adalah jebakan dalam satu putaran pendanaan, cara terbaik untuk memulai dalam menghasilkan uang dari pemodal ventura dengan cara kehilangan uang untuk mendapatkan triliun pelanggan. Celakanya jutaan warga Indonesia menggunakannya dan mayoritas adalah kelas menengah. Seiring waktu, perusahaan-perusahaan itu menghadapi perhitungan. Start-up ini bukan nirlaba, amal, atau perusahaan sosialis yang dikelola negara. Akhirnya, mereka harus melakukan kapitalisme dan menghasilkan keuntungan. Pada tahun 2022, kenaikan suku bunga mematikan keran untuk start-up yang merugi, yang dikombinasikan dengan inflasi energi dan kenaikan upah bagi pekerja berpenghasilan rendah, telah memaksa seperti Grab, Gojek, dan Shopee untuk membuat layanan mereka lebih mahal. Dan disisi lainnya, fake growth economy that runs our lives with spinning perception from goverment.
Situasi di atas menjadi gambaran awal mengapa ketimpangan ekstrem dengan gini ratio 0,384 tahun 2023 yang meningkat terus sejak Undang-undang Cipta Kerja disahkan, sejak mekanisme finansialisasi konsumsi publik dikendalikan oleh fintech. Di sisi lain, lowongan pekerjaan secara historis berlimpah dan upah nominal meningkat paling cepat untuk pekerja berpenghasilan rendah. Namun masa keemasan diskon teknologi perkotaan berdasarkan permintaan bougie telah berakhir. Kita sekarang harus kembali membayar biaya produk dan layanan yang sebenarnya dan pemerintah tidak peduli itu, karena telah menyerahkan ekonominya pada sistem pasar liberal.
Kondisi lainnya menggambarkan tingkat kemiskinan yang melonjak menjadi 10,14% atau sekitar 28 juta jiwa dan Tingkat Pengangguran Terbuka naik 7%. Padahal Undang-undang Cipta Kerja ini konon diciptakan untuk pemulihan pasca krisis dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Terdapat 84% penurunan UMKM, sekitar 25 juta orang belum bisa keluar dari krisis dan masih kehilangan pekerjaan, lalu puluhan juta orang lainnya yang berada di sektor informal mengalami kehancuran ekonomi bertahap dan berada pada jurang rawan kemiskinan baru.
Pemerintah yang Tidak Peka
Sensitivitas temuan klaim angka di atas 5% harus juga dilihat dalam kontribusi relatif tenaga kerja dan modal, angka inflasi, tingkat depresiasi, periode referensi untuk ekstrapolasi, periode estimasi yang dipilih, dan tanggal dimulainya akumulasi modal serta belanja negara. Pemerintah seyogyanya menjelaskan angka-angka ini kepada publik tanpa memainkan persepsi publiknya hanya untuk narasi politik.
Pemerintah Indonesia tidak peka terhadap masalah sosial-ketimpangan, bukan hanya karena tradisi wacana yang didasarkan pada doktrin kapitalis sejak era Orde Baru, tetapi juga karena Indonesia yang belajar bagaimana terus melakukannya, memaksa tangan pemerintah terus bekerja di bawah kendali imperialisme dan neoliberalisme dengan dalih pertumbuhan-pembangunan. Pasca Reformasi 98, dimensi sosial ini telah menurun sebelum prioritas langsung untuk mempercepat pertumbuhan, hari ini di bawah Jokowi kecenderungannya terbalik. Pertumbuhan tampak terlihat ajaib namun itu tampak semu, hanya 1 persen saja menikmati –yang sebenarnya adalah tujuan dari mengadvokasi hal tersebut dengan ditutupi oleh wajah new-developmentalism.
Serupa “rungkad” yang mencerminkan demokrasi kita, “dadas” pun mencerminkan ekonomi kita saat ini. “Dadas” berasal dari bahasa Sunda dan mempunyai makna baret, rusak, habis sama sekali –kekecewaan yang mendalam. Lagu “Dadas” dinyanyikan dengan lantun bahasa sunda oleh rapper Majalaya, Asep balon. “Dadas”, sebagai kekecewaan yang mendalam, serupa “cinta teh bisa maehan teu geutihan” –cinta itu bisa membunuh tapi tidak berdarah, serupa ketimpangan, kelaparan dan tanpa tanah itu bisa membunuh tanpa perang.
Jokowi menggunakan cara terbaik untuk memahami cara efektif untuk bergerak melalui imajinasi pertumbuhan-kemajuan bersama rakyat, dipahami dan didukung oleh mayoritas besar dalam wajah demokratisasi masyarakat yang dipadukan dengan pertumbuhan-kemajuan ekonomi, sosial dan politik. Namun, pertanyaan tentang demokratisasi yang terkait dengan kemajuan sosial politik –berlawanan dengan “demokrasi” yang terputus dari pertumbuhan tersebut sering dikaitkan dengan regresi sosial-perlahan itu terjadi nyata, linear dengan regresi ekonominya.
Jokowi terpukau oleh angka pertumbuhan dan seperti tidak melihat kondisi riil ini yang seolah dapat diselesaikan dengan pelbagai kebijakan parsial tambal sulam. Di area perkotaan mencapai rasio gini 0,4, membuat masyarakat perkotaan sangat rentan terjebak kemiskinan dengan ketimpangan ekstrem. Daya beli masyarakat menurun, harga komoditi konsumsi harian terus naik termasuk BBM, listrik serta pajak di pelbagai sektor yang membebani masyarakat tanpa proteksi dari negara. Juned dan Ibu Gendut sulit memperoleh beras murah.
Bantuan Sosial memang tersedia namun sangat timpang jauh porsi anggarannya dibandingkan untuk infrastruktur dan militer. Rakyat tidak perlu infrastruktur dan armada perang berlebihan, rakyat seperti Juned dan Ibu Gendut perlu beras untuk hidupnya, memberikan makan anak dan banyak orang lainnya dalam usahanya. Bantuan sosial yang tersedia belakangan dipakai untuk melanggengkan dinasti dan kepentingan politik oleh Jokowi termasuk dalam Pilpres 2024 ini. Jokowi menciptakan atmosfer cinta tersebut dan rakyat terhipnotis dalam dua periode manis namun getir dan kejam. Tahun 2024 ini menjadi situasi nyata berakhirnya bulan madu pertumbuhan-pembangunan yang meroket itu, di mana rakyat tekor, ekonomi dadas!