• Opini
  • Bandung Heurin Ku Tangtung, Kemacetan Tanpa Solusi?

Bandung Heurin Ku Tangtung, Kemacetan Tanpa Solusi?

Ramalan Bandung lumpuh karena macet total tahun 2037 bisa jadi kenyataan melihat situasi sekarang. Sistem transportasi umum terintegrasi sudah tak dapat ditawar.

Fanny S. Alam

Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia

Kendaraan terjebak kemacetan sepanjang 2 Km lebih saat exit tol Pasteur, Bandung, Jawa Barat, 6 Juli 2021. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 April 2024


BandungBergerak.id – Masih terpatri dalam pikiran  salah satu bagian lagu daerah Jawa Barat, “Di lingkung gunung, heurin ku tangtung, Puseur kota numulya Parahiyangan”,  yang kira-kira berarti dikelilingi gunung, padat penduduknya, pusat kota Parahiyangan. Lirik ini berasal dari lagu berjudul Bandung, ciptaan Mang Koko. Sejenak dipikirkan ulang, lirik lagu ini menjadi kenyataan di masa sekarang. Ramalan teori Thomas Robert Malthus terkait pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur dan pertambahan bahan makanan mengikuti deret hitung, yang menekankan pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat daripada pertambahan sumber daya makanan benar-benar memperlihatkan kondisi di kota Bandung sekarang. Dengan jumlah total penduduk pada tahun 2023 sebesar 2 506 603,00 berdasarkan hasil perhitungan Badan Pusat Statistik Kota Bandung , menjadikannya kota terpadat di Jawa Barat, yang hanya memiliki luas total 16.751 hektar.

Heurin ku Tangtung” yang menggarisbawahi pertumbuhan penduduk yang membuat kota semakin padat, berimbas pada keperluan mobilitas penduduknya yang semakin lama semakin menambah permasalahan baru namun klasik, yaitu kebutuhan akan transportasi umum. Padatnya area pemukiman yang sudah beralih dari pusat kota ke daerah pinggiran kota menyebabkan banyaknya pembangunan kompleks pemukiman. Imbasnya adalah mobilitas penduduk dari arah pinggiran kota untuk beraktivitas di arah pusat perkotaan bertambah, yang membutuhkan sarana transportasi yang seharusnya memadai untuk mendukungnya

Bandung pernah juga masuk dalam lingkar kota termacet, bahkan peringkatnya pun masuk kelas Asia pada tahun 2019. Melalui survei yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB). Bandung berada pada urutan ke 14 kota termacet se-Asia. Mantan  wali kota Bandung, Yana Mulyana, pada saat itu mengakui bahwa otoritasnya masih mengalami kesulitan untuk mengatasi permasalahan kemacetan di Bandung. Sementara itu, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pernah menyentil perilaku penduduk yang manja karena sedikit-sedikit menggunakan kendaraan pribadi, walau juga memandang perlu memperbaiki moda transportasi publik.

Baca Juga: Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung
Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu
Pembangunan Jalan TOL Dalam Kota Bandung Bukan Solusi Mengatasi Kemacetan

Macet Bandung Menggurita

Semakin maju perkembangan kota, semakin kota membutuhkan infrastruktur terintegrasi agar memudahkan penduduknya  melakukan mobilisasi terkait aktivitasnya dari tempat tinggal menuju pusat kota. Tidak dapat ditampik yang menjadi persoalan berikutnya adalah volume kendaraan bermotor yang nyaris sama jumlahnya dengan jumlah penduduk kota Bandung tanpa adanya imbangan dari sistem transportasi umum yang memadai. Dinas Perhubungan melansir jumlah kendaraan pribadi sudah mencapai angka 2,2 juta, yang nyaris setara dengan jumlah penduduk kota Bandung, yang pada akhirnya berimbas pada kemacetan yang semakin menggurita, terutama di daerah-daerah pinggiran yang menjadi lokasi hunian banyak penduduk, terutama yang berbasis di daerah Bandung Timur, yang hanya mengandalkan  perempatan jalan Soekarno Hatta-Kiara Condong-Buah Batu untuk mencapai daerah perkotaan. Setiap pagi, neraka kemacetan ini sudah dimulai hingga menyempit ke daerah perkotaan yang dianggap menjadi “bottle neck” alias daerah puncak kemacetan, dan siklus macet akan kembali berulang di sore hari menjelang pulang dari aktivitas harian bekerja. Intensitas kemacetan di Bandung akan semakin bertambah pada akhir pekan atau masa libur panjang ketika Bandung dibanjiri kendaraan pribadi yang didominasi oleh penduduk kota lain yang ingin berlibur.

Perlu dicatat fenomena urbanisasi. Fenomena ini terjadi karena Bandung memiliki daya tarik tersendiri  bagi masyarakat pedesaan  yang sudah nyaris kehilangan lahan untuk bekerja sehingga kota menjadi target lapangan pekerjaan mereka, karena adanya pembangunan infrastruktur yang lebih baik. Ini merupakan suatu tren global di mana pada tahun 2050 diperkirakan 68 persen penduduk dunia akan bertempat tinggal di daerah perkotaan. Yang perlu diperhatikan juga adalah akan terhambatnya kelancaran fasilitas publik darurat, seperti ambulans, pemadam kebakaran, serta layanan darurat terkait kepolisian untuk mencegah tindak kriminal. Tidak dapat dibayangkan nyawa hilang atau rumah terbakar karena terhambatnya pencegahan karena macet.

Kemacetan Tanpa Solusi?

Ramalan Bandung lumpuh karena macet total tahun 2037 ke depan tampaknya bukan isapan jempol belaka jika kita melihat apa yang  terjadi pada masa sekarang. Keberadaan sistem transportasi umum terintegrasi di Bandung merupakan hal yang sudah tidak dapat ditawar. Jika memang hal ini dirasa sulit karena anggaran daerah yang dianggap minim, maka sebenarnya penganggaran yang lebih tepat alokasinya akan membuat sistem transportasi ini terencana lebih baik. Sekarang memang sudah ada bus kota, seperti Trans Metro Pasundan, yang sudah cukup nyaman, namun dari segi ukuran, bus ini masih kecil, jadwal pun masih tidak tepat waktu, salah satu alasannya karena masih didera macet.

Perubahan perilaku penduduk untuk lebih memilih transportasi umum memang diperlukan, namun lebih perlu lagi adalah bagaimana pemerintah lokal dapat mengusahakan moda transportasi umum yang nyaman, harga terjangkau, aman, dan tepat waktu. Harap diingat bahwa penduduk memilih kendaraan pribadi karena tidak adanya infrastruktur moda transportasi umum yang dapat diandalkan di Bandung. Perubahan ini juga sebenarnya harusnya dimulai dari pejabat pemerintah yang dapat memilih kendaraan umum sebagai bagian mobilitas mereka, bukan hanya mengandalkan kendaraan dinas yang juga berkontribusi terhadap kemacetan. Karena kita semua sama yaitu warga negara Indonesia. Semoga Bandung “teu heurin ku tangtung” lagi hingga tenggelam.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//