• Opini
  • Jika Pendidikan adalah Proses, Mengapa Kita Mengizinkan AI Melompati Proses itu?

Jika Pendidikan adalah Proses, Mengapa Kita Mengizinkan AI Melompati Proses itu?

AI seharusnya menjadi alat bantu pedagogis yang memperluas metode mengajar. Kurikulum harus diarahkan agar siswa diajari “membongkar” algoritma.

Freya Kalyca Handayono

Penulis lepas dengan topik seni, sains, filsafat, psikologi, dan sastra.

Ilustrasi. Teknologi digital tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia modern. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

14 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Di era globalisasi ini, manusia dituntut beradaptasi dengan teknologi. Salah satunya adalah kecerdasan buatan (AI), yang di Indonesia, kehadirannya disambut dengan antusiasme  tinggi. Berdasarkan survei Statista Consumer Insights (2024), Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara paling antusias dalam penggunaan AI di kehidupan sehari-hari. Tidak heran, terlebih dengan kepraktisan yang ditawarkannya. Namun, justru di ruang pendidikan, kepraktisan ini melahirkan masalah baru: etika pemanfaatan AI. Apa jadinya bila kelas hanya menjadi ruang konsumsi informasi, bukan lagi ruang perdebatan dan pencarian makna?

Pendidikan Indonesia –meski puluhan tahun telah merdeka– masih banyak terikat pada warisan kolonial; yaitu penggunaan metode yang sering kali menitikberatkan pada pengulangan dan penerimaan materi, demi mempertahankan kontrol dan melahirkan tenaga kerja yang patuh pada penjajah. Metode itu kita kenal sebagai hafalan. Apakah kini penjajahan akan berubah wujud dalam bentuk alat yang kita sebut teknologi?

AI melengkapi sistem yang bias itu dengan jawaban cepat. Siswa cukup bertanya, lalu menerima. Tanpa kemampuan berpikir kritis, mereka tidak lebih dari operator mesin. Padahal, berdasarkan studi Compilatio (2023), lebih dari 63 persen pengajar kesulitan mendeteksi teks yang dihasilkan AI. Informasi yang bias dan jawaban instan membuat siswa mudah tertelan bulat-bulat. Orisinalitas pun terkikis, sementara yang dikorbankan jauh lebih besar: masa depan bangsa. Jika belajar direduksi menjadi menyalin jawaban dari mesin, apa yang tersisa dari makna belajar itu sendiri?

Baca Juga: Sebuah Percakapan Dengan Kecerdasan Buatan Mengenai Negara yang Terlambat Hadir
Meretas Bias Pendidikan Melalui Integrasi Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Majemuk
Bagaimana Teknologi Kecerdasan Buatan dan Realitas Virtual Merambah Industri Film? Diskusi Tentang Kecerdasan Buatan di FSAI 2025 Bandung

Sisi Gelap AI

Tulisan ini bisa dibaca sebagai cermin dari gagasan saya sebelumnya tentang integrasi AI dan kecerdasan majemuk, sebuah optimisme yang lahir dari harapan akan masa depan pendidikan. Jika kala itu saya menyoroti peluangnya, kini saya justru merasa perlu menegaskan sisi gelap yang menyertainya. Sebab tanpa kebijaksanaan, AI berhenti menjadi solusi, dan malah menjelma ancaman.

Apalagi, pembangunan dan pendidikan kita masih tersentralisasi di Jawa. Tak jauh bedanya dengan program Makan Bergizi Gratis, integrasi AI hanya akan memperlebar jurang ketimpangan dengan wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) yang bahkan akses internet pun masih terbatas. Data APJII menemukan bahwa penetrasi internet di pedesaan hanya mencapai 30,5 persen, dibandingkan dengan 69,5 persen di daerah perkotaan. Bukankah lebih mendesak bagi pemerintah membangun sistem pendidikan yang adil dan merata, ketimbang berfokus pada gagasan “visioner” yang tak realistis?

Literasi digital memang meningkat, tetapi ancaman privasi tetap besar. Anak sekolah termasuk kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan ekstra. Tanpa pengawasan yang serius, AI lebih berbahaya daripada membantu.

Lebih jauh lagi, AI bisa menggerus sense of self siswa. Mereka sibuk mencari jawaban ‘benar’ ketimbang menemukan suara dan cara berpikir khas mereka. Di tangan AI, jawaban menjadi seragam, rata-rata, dan mudah ditebak. Bagaimana mungkin pendidikan yang seharusnya memperluas imajinasi justru menyempit pada jawaban yang “paling sering muncul di internet”?

Meskipun AI kerap memberi jawaban “logis”, ia tidak sepenuhnya objektif. Jawaban yang muncul dipengaruhi preferensi pengguna maupun pengaturan bawaannya yang terbatas, sehingga perspektif beragam justru terpinggirkan. AI tidak netral; ia membentuk cara pandang, menanamkan bias, dan bisa menyesatkan siswa yang hanya menerima begitu saja. Padahal, inti belajar ada pada literasi dan diskusi, bukan sekadar menyalin jawaban. Apakah bangsa ini siap menyerahkan daya kritis generasinya pada algoritma yang bahkan tidak sepenuhnya netral?

Yang perlu kita ingat, AI tidak hanya memengaruhi cara belajar, tapi juga cara siswa memahami benar–salah. Peran guru dan orang tua jelas diperlukan untuk membimbing seorang anak memahami dan mengelola pola pikir mereka sendiri. Yang menjadi masalah, jika jawaban moral pun direduksi menjadi keluaran algoritma, apakah generasi mendatang masih bisa membedakan antara etika dan sekadar probabilitas kata? Di mana posisi manusia ketika jawaban-jawaban hidupnya sudah lebih dulu dirumuskan oleh mesin?

Selain itu, ketergantungan pada AI nyata adanya. Dengan kualitas literasi digital dan sumber daya manusia kita saat ini, pemanfaatannya cenderung defensif ketimbang produktif. Indeks literasi digital Indonesia tahun 2024 di angka 3,78 dari skala 5, dengan kategori “sedang”, yang artinya belum cukup kuat untuk integrasi khusus teknologi besar seperti AI. Terlebih sebuah riset dari University of Waterloo menemukan bahwa orang yang sering mengandalkan smartphone untuk jawaban cenderung memiliki kapasitas berpikir analitis yang lebih rendah.

Penggunaan AI dalam pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa ditolak sepenuhnya, tetapi jelas belum waktunya untuk dipaksakan. Kesadaran masyarakat terhadap teknologi harus dibangun terlebih dahulu. Dan jika kelak diterapkan, AI yang masuk ke ruang kelas bukanlah AI sembarangan, melainkan AI yang dirancang khusus untuk mendidik –bukan sekadar menjawab.

Mencari Model AI untuk Pendidikan

Alih-alih menutup pintu rapat-rapat, pendidikan Indonesia perlu mengonsep model di mana AI bukan sekadar mesin pemberi jawaban, tetapi sparring partner untuk berpikir. AI yang dipakai di ruang kelas harus didesain untuk memicu pertanyaan, bukan hanya memberi jawaban; mendorong diskusi, bukan menggantikan imajinasi –seperti di Finlandia, di mana AI dipakai untuk simulasi interaktif yang mendorong diskusi (University of Eastern Finland, 2024); atau di Singapura, AI dimanfaatkan untuk personalized learning tetapi tetap dalam kendali guru (Ministry of Education Singapore, 2023).

Guru harus tetap menjadi poros. AI seharusnya menjadi alat bantu pedagogis yang memperluas metode mengajar, bukan memangkas peran pendidik. Kurikulum harus diarahkan agar siswa diajari “membongkar” algoritma –melihat bagaimana bias terbentuk dan bagaimana suatu informasi dapat tercipta. Dengan begitu, literasi digital naik kelas, dari sekadar “memakai teknologi” menjadi “memahami dan mengkritiknya”.

AI di sekolah tidak seharusnya dibiarkan menjadi jalan pintas yang mematikan proses belajar, melainkan sebagai alat bantu yang melengkapi. Solusi praktisnya adalah menanamkan literasi digital dan berpikir kritis terlebih dahulu, lalu memberi ruang terbatas bagi penggunaan AI dalam tahap eksplorasi –misalnya untuk mencari referensi awal, “teman berdiskusi”, dan simulasi ide– sementara tahap inti seperti analisis dan penulisan tetap harus dikerjakan siswa. Dengan demikian, AI tidak lagi menjadi pengganti proses, tetapi justru penguat proses.

Ketika kesadaran kritis telah terbentuk, barulah AI bisa benar-benar menjadi mitra belajar. Bukan sebagai algoritma yang mengatur pikiran siswa, melainkan siswa yang mengendalikan teknologi dengan pikiran yang merdeka.

Mungkin inilah pertanyaan besarnya, apakah pendidikan akan tunduk pada “logika mesin”, atau tetap berpihak pada kebebasan berpikir manusia? Apakah kita akan membiarkan masa depan bangsa tergerus oleh arus, atau justru membiarkan mereka menciptakan arus mereka sendiri?

Pendidikan tidak boleh menyerah pada yang instan. Ia harus tetap menjadi ruang untuk berdebat, mempertanyakan, meragukan, dan menemukan. Karena itu, AI dan sistem pendidikan, seharusnya  mampu memantik pertanyaan, bukan mengubur imajinasi. Bukankah inti belajar adalah keberanian untuk berpikir, bahkan ketika jawaban belum pasti?

Seperti yang pernah ditulis Albert Camus, “Kebebasan hanyalah kesempatan untuk menjadi lebih baik.” Maka, jika benar kita hendak merdeka sebagai bangsa, kebebasan itu harus kita wujudkan dalam ruang kelas—dengan keberanian menolak ketundukan pada mesin ataupun ‘logika mesin’, dan memilih untuk tetap berpikir sebagai manusia.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//