• Berita
  • Bagaimana Teknologi Kecerdasan Buatan dan Realitas Virtual Merambah Industri Film? Diskusi Tentang Kecerdasan Buatan di FSAI 2025 Bandung

Bagaimana Teknologi Kecerdasan Buatan dan Realitas Virtual Merambah Industri Film? Diskusi Tentang Kecerdasan Buatan di FSAI 2025 Bandung

Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan Realitas Virtual (Virtual Reality/VR) memungkinkan dipakai untuk memproduksi film sejarah.

Ilustrasi. Teknologi digital tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia modern. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah14 Juni 2025


BandungBergerak.idBagi sebagian orang kemunculan Artificial Intelligence (AI) menjadi alarm bagi beberapa lini pekerjaan yang akan tergantikan mesin. Fenomena menolak AI pun marak. Di sisi lain, diskursus yang membicarakan pemanfaatan AI tak kalah marak. Semua sektor nyaris tersentuh perubahan AI. Terbaru, bagaimana pemanfaatan AI di dunia perfilman? 

Victoria Duckett, seorang Associate Professor dari Deakin University dan direktur Deakin Motion Lab, menerangkan bagaimana produksi realitas virtual (VR/Virtual Reality) dan AI dapat digunakan dalam proses produksi film-film secara umum. 

Realitas Virtual adalah teknologi komputer yang menciptakan sebuah dunia simulasi secara virtual. Para pengguna dapat masuk dan berintaksi di sana. Victoria menganggap teknologi ini sebagai alat yang menarik untuk melakukan eksplorasi dalam koridor storytelling. 

“Kau bisa berkolaborasi dengan cerita yang belum pernah diceritakan sebelumnya,” kata Victoria, saat ditemui seusai acara Masterclass: Immersive Screen Experiences: New directions in Virtual Production, VR, and AI di Deakin Lancaster University, Jalan Moch. Toha No. 77, Bandung, Rabu, 11 Juni 2025. Forum tersebut merupakan rangkaian acara peringatan ke sepuluh tahun Festial Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2025, yang digelar oleh Kedutaan Besar Australia. 

Melihat bagaimana penampakan suku asli dan kebudayaan mereka di Australia 60.000 tahun lalu akan seperti apa, sangat mungkin dilakukan dengan adanya teknologi-teknologi tersebut. “Kau tahu, seperti masyarakat adat, khususnya di Australia, yang memiliki sejarah selama 60.000 tahun lalu dan kau dapat memperkenalkannya pada khalayak baru,” lanjut Victoria. 

Sebagai seorang yang bekerja dalam bidang eksplorasi batas dan batas film, Victoria berbagi pekerjaan yang ia dan rekan-rekan lainnya di Deakin Motion Lab. Di sana mereka mengamati screen interfaces dan hubungan kehidupan kita sehari-hari dengan apa pun yang kita lihat di layar - baik melalui AI, bisa juga melalui produksi virtual. 

Hal yang sedang dikembangkan saat ini berupa Virtual Avatar, yang saat itu ditampilkan saat presentasi. Mencoba mengembangkannya hingga pada level dapat memprogram semua orang di sekitar karakter itu untuk benar-benar terlibat dengan karakter itu.

“Kami pun masih bekerja dengan pelaku industri dalam hal workshop dan training, terutama dalam hal AR dan VR, yang menurut saya sangat penting dalam hal pembelajaran,” ujarnya, sembari memberikan sebuah info projek residensi bagi para seniman yang baru dibuka tahun ini. Ia juga berharap di masa mendatang seniman dari Indonesia dapat mengikuti residensi ini. 

Hanya Sebagai Alat, Bukan Pengganti Semua Pekerjaan Manusia

Victoria sadar bahwa masih banyak orang yang menolak keberadaan dan penggunaan kecerdasan buatan. Tentu ia tidak mendukung penggunaan AI dalam sebuah produksi pembuatakan karya seratus persen dengan alat kecerdasan buatan. 

VR dan AI menurutnya hanyalah alat bantu. Masih perlu keterlibatan manusia dalam menggunakannya. Ia dan rekan-rekannya di Deakin Motion Lab masih menggunakan Motion Capture dalam menginstruksi pergerakan karakter dalam layar.

“Saya masih belum mempertimbangkan gagasan bahwa, ‘oke mari kita singkirkan motion capture, mari kita hilangkan seluruh tubuh manusia, dan mari kita hasilkan seluruhnya hanya menggunakan AI’. Kami masih memilih untuk tidak melakukan hal itu, karena hal yang menarik buat kami adalah bagaimana tubuh manusia masih tetap terlibat dalam mengarahkan tubuh yang kita lihat dalam layar,” jelas Victoria.

Ia juga menambahkan bahwa mulai banyak pembuat film atau sineas sudah mencoba menggunakan AI untuk membantu mereka dalam membuat kerangka atau gambaran umum percakapan dalam sebuah naskah. Namun, ini bukanlah satu-satunya alat yang mereka gunakan. Mereka masih menggunakan penilaian kritisnya dalam hal tersebut.

Dan bagaimana caranya untuk memproteksi mereka agar tidak bisa tergantikan oleh AI? Victoria percaya bahwa perundingan dan pendekatan kolektif menjadi salah satu jawabannya. 

“Sekarang, di banyak pengajuan kesepakatan, klausul soal ini banyak diajukan. Seperti bagaimana alat ini seharusnya digunakan, apa batasan-batasan penggunaan AI dalam setiap projek. Semua itu tidak akan terjadi ketika orang-orang tidak berkumpul untuk berserikat,” kata direktur dari Deakin Motion Lab itu.

Baca Juga: Peluang dan Tantangan Kecerdasan Buatan (AI) sebagai Teknologi Masa Depan
BERKAWAN KECERDASAN BUATAN: AI di Mata Jurnalis 

Tentang Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2025

Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) pertama kali diselenggarakan tahun 2016. Sejak saat itu festival ini berusaha membawa masyarakat Indonesia masuk dalam bahasa universal yang berada dalam film.

“Selama sepuluh tahun, festival ini menjadi platform yang kuat untuk mempromosikan koneksi-koneksi dan pemahaman di antara dua negara kita,” kata Rod Brazier, Ambassador Australian untuk Indonesia, dalam pers rilis FSAI 2025.

Dalam acara peringatan sepuluh tahun ini, Rod  Brazier, menyampaikan bahwa FSAI kali akan menampilkan kemahiran dan kreativitas dalam industri film di Australia dan Indonesia. Ada 7 film terpilih dan lima film pendek dari peserta Australia dan peserta kursus singkat yang akan diputar di 10 kota di Indonesia. Bandung salah satunya. Kegiatannya berlangsung dua hari, 7-8 Juni 2025, di CGV Paris Van Java. FSAI pun juga menawarkan beragam lokakarya dengan topik beragam seperti penulisan naskah, penyutradaraan film, dan menciptakan pengalaman layar yang imersif serta dihadiri oleh para ahli film dari Australia.

Amanda Panayotou, Publik Kedutaan Besar Australia, menekankan bahwa keberadaan FSAI bukan hanya wadah sebagai pemahaman kebudayaan antar kedua belah pihak. Tetapi juga sebagai agenda penting bagi masyarakat Indonesia-Australia untuk memajukan ekonomi kreatif dan sebagai sektor strategis dalam pembangunan ekonomi. 

“Ke depannya, kami yakin bahwa FSAI akan terus menjadi sebuah wadah untuk menghubungkan pelaku kreatif dan seniman, membangun dialog, serta kolaborasi. Sekali lagi terima kasih telah hadir di sini hari ini, dan saya harap Anda terinspirasi dalam acara ini,” ujar Amanda dalam sambutan di acara hari itu.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//