• Berita
  • Pementasan Naskah Tragedi 1998 Karya Seno Gumira Ajidarma di Perpustakaan Bunga di Tembok

Pementasan Naskah Tragedi 1998 Karya Seno Gumira Ajidarma di Perpustakaan Bunga di Tembok

Kelompok Teater Samana berkeliling ke ruang-ruang literasi di Bandung, mementaskan teater di tempat-tempat tidak lazim untuk menjangkau Gen Z.

Teater dengan lakon Mengapa Kau Culik Anak Kami? karya Seno Gumira Ajidarma yang dipentaskan Teater Samana di Tembok, Kamis, 9 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Teater Samana)

Penulis Salma Nur Fauziyah14 Oktober 2025


BandungBergerakSuasana temaram menyelimuti sepasang suami-istri yang tenggelam dalam bacaannya. Duduk hening di hadapan meja makan, sang bapak memutuskan untuk menyudahi membaca koran, menghampiri istrinya yang sedang membaca buku.

“Bu. Lagi baca buku apa to?”

“Buku baru, Pak. Cara Melawan Terror.”

Sambil mengunyah kudapan di atas meja dan menuangkan air ke dalam gelas seng, perbincangan mereka berkembang ke arah yang tidak terduga. Sang Ibu menuduh suaminya bahwa ia telah berdosa besar karena melupakan suatu hal yang penting.

“Pak… Pak. Kita memang tidak pernah membicarakannya selama ini. Ya, tapi itu tidak berarti Bapak boleh melupakannya,” tegur sang istri, berusaha mengingatkan suaminya.

Dialog demi dialog berlanjut. Menyelami ingatan yang mulai terlupakan yang terpantik oleh satu kata; ’teror’. Kedua pasangan suami-istri itu menggali ingatannya; tentang orang-orang yang dikejar dan diburu seperti musang. Tentang mereka yang menghilang entah ke mana.

Hingga satu nama yang dilupakan muncul: Satria! Sang anak bungsu yang diculik dan tidak diketahui keberadaanya. Kedua pasangan itu kembali berduka, sambil mengingat-ingat kekejaman yang dilakukan oleh petinggi negara.

“Politik itu sejarahnya memang tidak ada yang beres. Orang-orang diciduk, orang-orang disembelih, orang-orang dibakar, dan dibuang tanpa pengadilan.”

Begitulah adegan babak pertama Tiga Drama Bagian I “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” karya Seno Gumira Ajidarma dalam acara Temu KawanKata Edisi Cinebook #3. Lakon ini dipentaskan Teater Samana yang berkolaborasi dengan komunitas Kembang Kata BookClub di kafe Perpustakaan Bunga di Tembok, Kamis, 9 Oktober 2025.

Meski tidak didukung ruang teater dengan segala fasilitasnya, ruangan kafe disulap menjadi ruang pertunjukan minimalis berupa ruang makan yang dilengkapi meja makan dan makanannya.

Pemeran bapak (yang diperankan oleh Ghaly Arsa Wardana) dan ibu (diperankan Fadhila Shofy Andina) dibiarkan melebur dengan tempat tampil mereka, tanpa panggung dan lampu sorot. Lampu kafe dengan warna kuning hangat menjadi menjadi latar cahaya utama.

Suasana pentas terasa realistik. Penonton disuguhi bukan hanya akting pemeran tetapi juga suasana berada di ruang makan rumah sendiri. Pun interaksi antarpemeran yang begitu domestik, percakapan mengalir sambil melipat baju dan menyemir sepatu. Bahkan pemain bolak-balik menuju dapur untuk memasak mie.

Musik jazz lewat radio usang dan suara berita televisi menjadi latar suara lakon ini. Suara-suara tersebut bahkan membaur secara alamiah dengan bunyi kendaraan yang lewat maupun adzan Isya di luar kafe.

Semakin lama, atmosfer ketegangan muncul. Suasana duka terpancar saat babak terakhir drama, ketika lampu dimatikan dan kedua pasangan suami-istri itu mengenang Satria, anak bungsu mereka. Dan setelah berjalan satu setengah jam lebih, pertunjukan itu mendapatkan tepuk tangan meriah dari penonton yang memadati kafe.

Baca Juga: Bandung Menjelang Reformasi 1998
Mengingat Tragedi Muram Reformasi 1998 Melalui Pertunjukkan Seni Tari di Kampus ISBI Bandung

Upaya Menolak Lupa

Kemal, salah satu penonton, merasa menonton lakon “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” karya Seno Gumira Ajidarma seperti membuka kilas balik buku-buku yang pernah ia baca, antara lain buku karangan Leila Chudori berjudul Laut Bercerita dan Namaku Alam, serta buku-buku lainnya yang membahas tentang peristiwa penculikan terkait tragedi 1998. Menurutnya, kejadian penculikan tidak boleh terulang.

“Menyiksa banget buat orang tua, buat keluarga korban dan lain sebagainya,” ucapnya, menyimpulkan bagaimana perasaan orang-orang yang kehilangan akibat penculikan.

Drama yang membahas soal kekejaman negara terhadap orang-orang ‘kritis’ juga membuka celah atau ruang untuk berbagi dan memahami perasaan trauma antargenerasi. Nova, seorang Generasi Z dan keturunan Tionghoa, merasa bangga dan berterima kasih atas pertunjukan malam teater ini.

Nova baru pertama kali mengikuti kegiatan komunitas dan tidak menyangka bahwa banyak orang muda yang menolak lupa dan berusaha memahami apa yang terjadi pada 1998.

Selama ini Nova belum pernah bertemu dengan orang-orang yang lantang bersuara tentang ketidakadilan. Sebagai etnis minoritas, ia merasa suara-suara tersebut masih tertutup.

Ia pun bercerita sekilas mengenai peristiwa 98 yang dialami keluarga. Ketika kerusuhan terjadi, sang ibu yang tengah mengandung Nova. Ia mendapat perlindungan dari seorang preman.

Nova tidak memungkiri trauma tersebut membekas. Terlebih trauma itu diturunkan lewat rasa ‘takut’ ke generasi berikutnya, seperti yang dialaminya. Ia menilai acara komunitas yang mempertemukan orang-orang dengan berbagai latar belakang penting dirawat, untuk saling memahami keberagaman.

Pentas di Beberapa Tempat Literasi

Ide mementaskan di ruang-ruang literasi seperti Perpustakaan Bunga di Tembok berawal dari naskah drama yang didapatkan Utta selaku sutradara pementasan di tahun 2017-an. Naskah ini dipilih setelah sebelumnya dilakukan riset tentang buku-buku yang menceritakan peristiwa 98 dan peristiwa lainnya.

Persiapan pentas dilakukan sejak bulan Juli oleh tim Teater Samana yang berisi sembilan orang. Tadinya lakon akan dipentaskan bertepatan dengan September Hitam. Namun karena eskalasi yang terjadi selepas demonstrasi Agustus, mereka mengundurkan tanggal pementasan.

“Walaupun ada beberapa maksudnya enggak pengin cuma pentas doang ya. Yang pasti karena pengin salah satu bentuk respons atas kejadian itu,” ujarnya, saat sesi diskusi.

Selain menjadi bentuk respons terhadap situasi negara, pementasan ini sebagai bentuk menghempaskan stigma bahwa teater sebagai seni pertunjukan yang berjarak dan hanya bisa ditampilkan di gedung-gedung pertunjukan.

Prita Trivena Hasmono, pimpinan produksi pementasan, menambahkan selama riset pihaknya menemukan fakta bahwa generasi muda (Gen Z) cenderung lebih banyak mencari tahu sendiri suatu kebenaran. Namun mereka juga menghadapi jarak dengan seni pertunjukan.

“Kita emang coba memberikan nih loh teater tuh. Bentuknya sebenarnya bisa di mana aja dan memang bisa dibawa ke mana-mana,” jelas Prita.

Selain di Perpustakaan Bunga di Tembok, pementasan ini juga berlangsung di Toko Buku Pelagia dan Perpustakaan Batoe Api. Meski skala pementasan di ruang-ruang literasi relatif kecil dan terbatas, Prita berharap langkah ini akan menjangkau lebih banyak penonton dan inklusif.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//