• Opini
  • Merawat Luka, Gerakan Kolektif, dan Proses Menuju Pulih

Merawat Luka, Gerakan Kolektif, dan Proses Menuju Pulih

Trauma bukan sekadar milik individu; ia merembes ke dalam komunitas, menempel pada sejarah, dan mewarisi penderitaan.

Ilustrasi. Kesehatan mental memerlukan perhatian serius dari individu maupun negara. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

15 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Ketika kita berjalan di jalan protes, memanggul poster, mendengar teriakan dan tangis yang bergema dari mereka yang tertindas, kita tidak pernah datang dengan tubuh yang kosong. Kita membawa luka. Luka dari pengalaman pribadi yang tidak pernah padam, luka dari kolektif yang pernah patah, dan luka dari harapan yang runtuh di tengah represi. Tetapi di balik duka itu, selalu ada ruang untuk pulih, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari gerakan. Luka dan pulih tidak bisa dipisahkan, karena justru dari keduanya kita belajar bahwa perjuangan bukan hanya tentang melawan, tetapi juga tentang bertahan hidup.

Luka tidak pernah hadir sendirian. Maria Yellow Horse Brave Heart, akademisi keturunan Lakota yang memperkenalkan teori historical trauma, menegaskan bahwa luka kolektif adalah jejak kekerasan struktural yang diwariskan lintas generasi. Trauma bukan sekadar milik individu; ia merembes ke dalam komunitas, menempel pada sejarah, dan mewarisi penderitaan. Kita yang berada di garis depan perlawanan sering kali membawa luka itu masuk ke ruang gerakan.

Perempuan disubordinasi, pekerja diperas haknya, komunitas marginal disisihkan dari akses ekonomi, dll. Semua ini bukan sekadar catatan kasus, melainkan darah yang mengalir di nadi gerakan. Dari luka personal, lahir kesadaran sosial. Dari pengalaman pahit, tumbuh simpul solidaritas yang berkata: “Aku pernah mengalami ini, dan aku tidak akan membiarkan orang lain mengalaminya lagi.” Tetapi luka juga bisa berubah menjadi beban kolektif yang mengimpit, bila trauma tidak dikenali dan dirawat. Karena itu, merawat luka bukan hanya kebutuhan personal, melainkan kebutuhan politik.

Baca Juga: Menggugat Makna dalam Diam, Cara Pantomim Mengekspresikan Trauma
Mengeja Semangat Zaman dan Upaya Membangun Gerakan Politik Alternatif
Menanam Solidaritas Melalui Gerakan Warga Bantu Warga, dari Nasi Bungkus hingga Pakaian Gratis

Merawat Diri

Di banyak ruang aktivisme, merawat diri kerap dianggap kemewahan, bahkan pengkhianatan terhadap militansi. Padahal tubuh dan pikiran punya batas. Memaksakan diri adalah cara paling cepat untuk melemahkan gerakan. Merawat diri bukan berarti berhenti berjuang; justru sebaliknya, ia adalah strategi untuk memastikan perjuangan tidak padam. Mereka yang memberi ruang bagi tubuh dan jiwa untuk pulih sesungguhnya sedang memperpanjang umur gerakan. Pulih berarti mengakui bahwa kita bukan mesin, melainkan manusia yang harus mendengar tubuhnya sendiri, memberi ruang pada kesedihan, dan menyalakan kembali tenaga untuk melawan. Inilah bentuk militan yang paling radikal: bertahan hidup agar bisa terus berjuang.

Gerakan tidak pernah steril dari luka. Intimidasi dan represi, kawan ditangkap aparat, ruang aman dibubarkan paksa, organisasi tercerai-berai karena tekanan, atau kawan mundur karena lelah menghadapi beban yang terlalu berat. Semua itu adalah bagian dari perjalanan kolektif. Luka ini kadang memperkuat solidaritas, tetapi bisa juga menumbuhkan keputusasaan. Maka kita perlu menegaskan: pulih bukan garis lurus. Ada hari ketika semangat seakan terbenam, ada malam ketika ingatan lama kembali menghantui, ada momen ketika langkah terasa mundur. Pulih tidak berarti melupakan luka, melainkan berdialog dengannya. Melalui ritual kecil, menulis, makan makanan kesukaan, tertawa bersama kawan, tujuannya untuk menyambung nafas kembali.

Pulih berarti mengenali batas. Ketika tubuh lelah, kita berani berkata: Aku perlu berhenti dulu agar tidak membebani orang lain. Ketika emosi rapuh, kita mundur sejenak agar bisa kembali dengan kepala tegak. Tanpa mekanisme ini, api perjuangan bisa padam karna terlalu lelah. Pulih kolektif hadir ketika luka dibicarakan bersama tanpa saling menghakimi. Ia ada dalam ruang berbagi tanpa interupsi, pertemuan kecil yang menguatkan, atau tawa setelah hari panjang menghadapi represi. Pulih kolektif berarti membangun budaya gerakan yang tidak hanya mengejar aksi, tetapi juga menjamin keberlanjutan manusia di dalamnya.

Struktur penindasan bekerja dengan cara melelahkan, membungkam, dan memecah konsentrasi. Karena itu, merawat diri dan pulih bersama adalah bentuk perlawanan. Pulih menolak logika bahwa gerakan harus selalu siap tempur tanpa henti. Pulih adalah strategi merawat perlawanan. Ia adalah strategi politik. Kekuasaan ingin kita patah, berhenti, hilang dari sejarah. Tetapi dengan pulih, kita menolak logika itu. Kita menegaskan bahwa hidup kita penting, bahwa perjuangan bukan hanya soal berapa kali kita turun ke jalan, tetapi juga bagaimana kita bertahan, bertumbuh, dan menyembuhkan diri.

Pulih adalah cara mengubah budaya gerakan: dari orientasi produktivitas menuju ruang yang memberi jeda. Dari sekadar strategi aksi menuju ruang aman yang memungkinkan tangis, tawa, dan perayaan hal-hal kecil. Pulih bukan berarti lupa. Luka personal dan kolektif tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Pulih membuat kita berani menatap luka tanpa terjebak di dalamnya. Ia adalah sikap politik untuk berkata: Ya, mengalami penindasan, dan akan terus melawan. Bagi kolektif, pulih berarti menjaga memori luka sejarah tanpa menjadikannya beban permanen. Seperti Aksi Kamisan di Indonesia yang terus berlangsung, memori kolektif dipelihara bukan untuk menjerat, melainkan untuk memastikan perjuangan berlanjut dan memberi ruang bagi generasi baru mencipta bentuk-bentuk perlawanan mereka sendiri.

Ruang yang Memberi Jeda

Gerakan kolektif adalah rumah bagi banyak luka sekaligus ruang untuk pulih. Individu menemukan solidaritas, tetapi juga dihadapkan pada tantangan menjaga kesehatan tubuh dan jiwa. Karena itu, pulih bukan pengkhianatan, melainkan syarat agar perjuangan bisa berlanjut. Merawat diri berarti menjaga tubuh dan jiwa agar tetap kuat menghadapi represi. Merawat kolektif berarti memastikan bahwa gerakan bukan hanya mesin produksi aksi, tetapi juga rumah aman bagi mereka yang berjuang di dalamnya. Pulih adalah tindakan politik. Ia menegaskan bahwa perjuangan bukan sekadar melawan kekuasaan yang menindas, tetapi juga menciptakan kehidupan yang layak dinikmati. Apa artinya gerakan jika orang-orang di dalamnya tidak merdeka bahkan atas dirinya sendiri?

Dengan demikian, perjalanan gerakan bukan hanya rangkaian demonstrasi atau strategi advokasi, tetapi juga ruang belajar: bagaimana kita pulih bersama, merawat luka, dan merayakan kehidupan meski dunia terasa berat. Pulih, dengan segala luka yang mendahuluinya, adalah cara kita memastikan gerakan tetap hidup, berakar, dan memanusiakan siapa pun yang terlibat. Audre Lorde pernah menegaskan: Caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare. Merawat diri bukan kelemahan, merawat diri adalah bertahan hidup. Dan bertahan hidup adalah perlawanan politik

Maka merawat diri adalah merawat gerakan. Luka adalah bagian dari sejarah, dan pulih adalah bagian dari masa depan. Kita akan terus melawan, bukan dengan tubuh yang hancur, melainkan dengan tubuh yang kita jaga. Kita akan terus bergerak, bukan dengan jiwa yang patah, melainkan dengan jiwa yang kita rawat bersama. Kita akan pulih, bukan untuk diam, melainkan untuk memastikan bahwa api perjuangan tidak pernah padam. Karena pulih adalah pilihan politik. Selamat melawan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//