Pemain Naturalisasi dan Pragmatisme di Tubuh Timnas Indonesia
Sepak bola Indonesia butuh waktu, bukan jalan pintas. Sebab sepak bola, lebih dari sekadar olahraga, ia adalah cermin perihal siapa kita sebagai bangsa.

Abdurrahman Addakhil
Penulis berasal dari ujung utara Pulau Sumatera, Aceh.
16 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Dua hari di Bulan Oktober 2025 menjadi catatan yang muram dalam sejarah sepak bola Indonesia. Dua pertandingan yang diisi dengan doa dan harapan, justru menjadi babak penutup dari mimpi panjang Indonesia menuju piala dunia. Di Riyadh, Indonesia tumbang 3–2 dari Arab Saudi. Tak lama berselang lama, di Basra, harapan itu kembali runtuh setelah Indonesia tumbang 1–0 dari Irak.
Dua kekalahan itu bukan sekadar angka di papan skor. Bukan pula perihal kalah menang suatu pertandingan olahraga. Ini lebih dari itu, kekalahan itu menjelma jadi duka yang bergema di lini masa pada setiap media sosial yang saya temui. Cerita-cerita yang antah-berantah berkelindan, ada yang menulis panjang lebar dengan isi kekecewaan, ada pula yang mengungkapkannya dengan cara sederhana, mengunggah emoji menangis di sebelah foto Bendera Merah Putih. Walau cara mengungkapkannya yang berbeda, jika ditarik sebuah benang merah, semuanya mengisyaratkan satu hal, perihal kesedihan kolektif atas mimpi dan cita-cita yang belum juga tercapai, melihat Sang Garuda terbang di panggung bergengsi, piala dunia.
Terlepas dari itu, saya tak ingin terlalu menyoroti perihal cita-cita yang tak kesampaian itu. Toh, kekalahan, sebesar apa pun, bukan akhir dari segalanya. Bukanlah skor yang ingin saya bahas, pun juga bukan pula perihal wasit yang berat sebelah. Saya ingin menyorot sesuatu yang lebih dalam dari sekadar permainan tendang-menendang bola: wajah pragmatisme yang perlahan tapi pasti menjadi napas dalam tubuh Timnas Indonesia.
Baca Juga: Berkutat di antara Pustaka dan Sepak Bola
Sepak Bola adalah Perlawanan
Pertandingan Sepak Bola Tanpa Suporter adalah Kegagalan Pemerintah Memenuhi Hak Warga Negara
Pemain Naturalisasi di Timnas Indonesia
Naturalisasi. Kata itu kini terdengar begitu lumrah pada sepasang telinga kita. Seakan-akan menjadi obat mujarab untuk segala kekurangan Indonesia di lapangan hijau. Begitu mudahnya bangsa ini memutuskan bahwa solusi akan tertinggalnya permainan sepak bola Indonesia adalah mengimpor darah asing dan menjadikannya bagian dari lambang kebanggaan nasional. Padahal, bukankah bangsa tidak bisa dipandang semata sebagai seseorang yang memiliki dokumen administratif? Tentu saja bukan pula sekadar hitam di atas putih yang bisa diperoleh dengan tanda tangan pejabat berwenang. Kata “bangsa” lebih dari itu. Bangsa adalah kesadaran. Adalah denyut sejarah. Adalah rasa memiliki yang tumbuh dari kesamaan nasib dan cita-cita.
Saya sering bertanya dalam hati, di manakah letak moral bangsa kita, ketika dengan ringan hati memberikan kewargaan kepada pemain yang bahkan masih terbata-bata mengucapkan “Indonesia Raya”. Bukankah jiwa nasionalis tidak bisa ditanamkan hanya dengan menggunakan seragam yang terdapat simbol negara? Tenangkan diri dan bayangkanlah sejenak, jika seorang pemain berdarah campuran atau populer disebut pemain naturalisasi diberi dua pilihan, perihal bermain untuk Timnas Belanda atau Indonesia, ke mana hatinya akan condong? Kebanyakan tentu akan memilih Belanda, bukan semata karena peluangnya lebih besar masuk piala dunia, tapi karena di sanalah jiwa kebangsaannya tumbuh dan berakar.
Kita pernah mendengar nama Tijjani Reijnders, pemain yang bersinar di AC Milan sebelum akhirnya berlabuh di Manchester City. Pada tahun 2024, isu sempat merebak bahwa Indonesia ingin menaturalisasinya. Namun ketika Belanda datang menawarkan seragam oranye, ia tak ragu untuk memilihnya. Mengapa? Karena di dalam dirinya mengalir semangat kebangsaan Belanda, bukan Indonesia. Ia tumbuh dan besar di Belanda, jiwa kebangsaan Belanda mengalir di darahnya.
Jika melihat pemain naturalisasi di Timnas Indonesia, alih-alih mereka memilih membela tanah air Indonesia sebab ada jiwa nasionalisme di Indonesia, mereka memilih sebab mereka tidak terpilih untuk membela Negara Kincir Angin tersebut. Mereka tak mampu bersaing lalu memilih Indonesia menggunakan topeng dengan ukiran jiwa nasionalis. Mereka kalah di benua mereka sendiri, lalu memilih Asia sebagai medan tarung. Dan kita dengan senang hati menawarkan dan menerima mereka agar tampil hebat bin mengesankan di kancah internasional. Inilah wajah pragmatisme yang saya maksud, keputusan untuk memilih yang cepat, bukan yang berakar dari bangsa itu sendiri. Kita ingin kemenangan instan, tanpa bersusah payah menumbuhkan sistem yang bisa melahirkan pemain tangguh dari tanah sendiri.
Dua pertandingan yang berakhir dengan kekalahan Indonesia di kualifikasi piala dunia itu tidak saya tonton. Bukanlah karena saya membenci sepak bola, bukan pula karena saya antipati terhadap perjuangan bangsa. Namun timbul satu perasaan yang bergejolak dalam diri, bahwa tak ada yang mewakili jiwa kebangsaan saya di sana. Bagaimana mungkin saya merasakan euphoria dan berteriak “Garuda di Dadaku” jika yang berlari di lapangan bukan mereka yang tumbuh dengan lagu-lagu perjuangan bangsa ini, bukan pula mereka yang mencicipi tanah dan peluh negeri ini sejak kecil?
Lantas, apakah mereka layak tampil mewakili bangsa Indonesia dan disebut sebagai pejuang bangsa, jika kebanggaan atas bangsa ini belum tertanam dalam dirinya? Saya tahu, ada banyak pandangan terhadap situasi ini. “Yang penting performanya baik,” kata sebagian pengamat. “Yang penting bisa menang,” tambah yang lainnya. Bahkan Si Maha Ahli juga ikut berkomentar, “Pemain lokal belum mampu, wajar kalau kita butuh naturalisasi.”
Bukan Sekadar Kemenangan
Saya tidak menutup mata akan kenyataan, bahwa para pemain naturalisasi itu memiliki kemampuan teknis yang lebih baik. Tubuh mereka lebih tinggi, fisik lebih kuat, dan pengalaman bermain di liga besar tak bisa dianggap sebelah mata. Namun, jika masalahnya adalah sistem, bukankah yang seharusnya diperbaiki adalah sistem itu sendiri, sistem yang di kemudian hari melahirkan pemain-pemain lokal yang tumbuh di negeri ini sedari kecil.
Tentu saja, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang mampu membeli kemenangan, tetapi bangsa yang mampu membangun fondasi untuk mencapai harapan dan cita-citanya dengan keringat sendiri. Kita butuh waktu, bukan jalan pintas. Kita butuh kesabaran untuk membangun kembali makna nasionalisme di dada anak-anak kecil yang bermain bola di tanah becek, bukan di stadion megah berumput halus. Pada anak-anak kecil yang menjadikan sepak bola sebagai cinta pertamanya.
Naturalisasi boleh jadi memberi hasil cepat, tapi ia juga perlahan menggerus makna dari “mewakili bangsa” atau “jiwa nasionalisme”. Jika semua hal diukur dari hasil yang didapatkan, maka kata “nasionalisme” hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna. Tentu saya ingin melihat Timnas Indonesia yang benar-benar Indonesia, yang berlari dengan semangat yang tumbuh dari tanahnya sendiri, yang bernyanyi “Indonesia Raya” dengan pelafalan yang fasih disertai hati yang bergetar.
Sebab sepak bola, lebih dari sekadar olahraga, ia adalah cermin perihal siapa kita sebagai bangsa. Tentunya hari ini dan seterusnya, cermin itu memperlihatkan wajah bangsa yang pragmatis, bangsa yang terburu-buru, dan bangsa yang telah kehilangan makna dari sebuah perjuangan. Mungkin, kekalahan di Oktober itu bukan semata-mata kegagalan tim. Mungkin itu adalah teguran lembut dari sejarah, agar kita berhenti menjadi bangsa yang ingin menang cepat, dan mulai menjadi bangsa yang belajar tumbuh dengan caranya sendiri.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB