CATATAN SI BOB #26: Apatico Pukul Sebelas Malam
Teriakan itu adalah bukti: kita belum sepenuhnya apatico. Kita masih berharap ada yang mendengar.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
17 Oktober 2025
BandungBergerak – Pukul sebelas malam, saya sampai kontrakan: kunci gembok macet seperti biasa, lampu neon di lorong berkedip seperti akan mati. Di dalam kamar saya lempar tas ke kasur, buka laptop, lalu membuka Spotify sambil melepas sepatu.
"Apatico", rilisan baru De Kribs. Nama itu memunculkan ingatan: panggung kecil di Waroeng Bako dan Kedai Dermaga, tahun lalu, kopi hangat setelah tampil. Kami bicara tentang panggung yang sepi, tentang orang-orang yang bilang "keren" lalu pergi.
Saya tekan play.
Gitar resonator menggedor: keras, mayor, seharusnya cerah. Tapi nada yang riang itu justru terdengar seperti teriakan tertahan. Dua verse pendek, reff diulang tiga kali. Tidak ada jembatan, langsung ke inti. Mata lelah, hati berat, jatuh tanpa terlihat. Senyum palsu, kata-kata murah, mereka tidak kehilangan sedetik pun tidurnya. Lalu "tough love", diulang tiga kali seperti mantra.
Kontras musik dan lirik inilah yang menohok. Nada mayor untuk bicara soal jatuh, diabaikan, tenggelam. Potret generasi yang harus tetap produktif, tetap posting story Instagram dengan filter ceria: sementara di dalam mereka runtuh.
Andi, seorang teman yang berkerja sebagai content creator. Setiap hari ia bikin video untuk brand, edit sampai malam, kirim invoice yang sering miris. Di Instagram-nya penuh foto estetik dan caption motivasi. Tapi suatu malam, ketika kami ngopi, ia bilang: "Gue capek, bro. Tapi gue nggak bisa bilang capek. Nanti dikira nggak profesional."
Baca Juga: CATATAN SI BOB #25: Esok Pagi, Kita Putus Asa
CATATAN SI BOB #24: Royalti dan Senar Gitar Rimbaud
Pola Berulang
Andi bukan kasus tunggal. Di Jakarta, di Bandung, di Yogya, pola yang sama berulang. Anak muda keluar rumah: bukan untuk kantor dengan kontrak tetap, tapi untuk kerja freelance, gig, kontrak tiga bulan yang diperpanjang terus. Mereka kerja di meja sudut kafe, atau kamar kos yang jadi "studio", dengan laptop dan wifi yang sekarat.
Gaji cukup untuk kos, transport, makan seadanya. Tabungan sulit. Harga rumah jangan ditanya. Tapi di Instagram mereka tersenyum. Di LinkedIn mereka "grateful for the opportunity". Di X mereka bikin thread motivasi.
Seperti lirik lagu itu: senyum palsu, kata-kata murah. Sistem menuntut performa produktivitas dan kebahagiaan. Siapa yang mengeluh dianggap tidak tangguh, tidak punya growth mindset.
"Tough love", frasa yang bisa berarti apa saja. Di lagu ini: dunia yang keras, yang abai, yang meninggalkanmu jatuh, tapi kau harus menyebutnya "pelajaran". Rasionalisasi dari sistem yang membuat orang bekerja tanpa jaminan, produktif tanpa kepastian.
Maka lahirlah strategi: berhenti peduli. Apatico: ketidakpedulian sebagai perlindungan diri. Lebih baik bangun benteng, lalu survive sendiri. Tapi ketika semua orang membangun benteng, kita juga membangun penjara. Masyarakat jadi kumpulan individu yang tak saling sentuh. Leibniz pernah membayangkan dunia sebagai kumpulan monad yang entah bagaimana menciptakan harmoni. Camus pernah bilang kita harus terus hidup sebagai pemberontakan terhadap absurditas. Tapi harmoni tak pernah datang. Dan pemberontakan pun tak ada yang menyaksikan.
Hanya kesendirian yang ramai.
Ironi besar dalam lagu ini: De Kribs bilang tidak ada yang melihat, tapi ia merekam lagu ini, mengunggahnya, menyebarkannya. Ia berteriak dengan gitar yang keras, dengan nada mayor yang tajam. "Aku tenggelam. Apa ada yang lihat?"
Teriakan itu adalah bukti: kita belum sepenuhnya apatico. Kita masih berharap ada yang mendengar. Pertanyaannya, ketika semua orang berteriak dalam lagunya sendiri, dalam feednya sendiri: siapa yang masih bisa mendengarkan? Kita punya platform untuk bicara, tapi tak ada waktu untuk mendengar.
Malam itu saya putar lagu itu lebih dari lima kali. Pengulangan "tough love" terdengar berbeda, bukan lagi mantra pembebasan, tapi doa yang ragu-ragu. Besok saya harus bangun jam lima, mengajar. Dan barangkali saya juga masih berharap, meski saya tahu betapa naifnya harapan itu, bahwa jatuh tanpa saksi bukan takdir yang harus diterima.
Meski saya belum tahu caranya.
13/10/2025
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB