CATATAN SI BOB #24: Royalti dan Senar Gitar Rimbaud
Ada ironi pada royalti musik. Penjaga "hak cipta" berperilaku seperti bangsawan feodal yang memagari tanah kosong, lalu menagih sewa pada petani yang menggarapnya.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
12 September 2025
BandungBergerak.id – Akhir-akhir ini Rimbaud tampak murung. Pemuda yang biasa duduk di ujung kafe dengan gitar itu kini sering melamun. Jemarinya masih gesit memetik senar, tapi matanya kosong, seperti orang yang kehilangan sesuatu tapi tak tahu persis apa yang hilang.
"Mereka bilang saya harus bayar," katanya suatu sore, sambil menunjukkan surat kusut dari sakunya. Surat dari sebuah lembaga yang namanya panjang dan asing. Ada kata "royalti" di sana, ada angka-angka, ada ancaman. Rimbaud membaca berulang-ulang, seperti K yang mencoba memahami panggilan dari Kastil yang tak pernah ia datangi.
Ada yang absurd dalam semua ini. Foucault pernah menulis tentang bagaimana kekuasaan modern bekerja: bukan melalui larangan langsung, tapi melalui normalisasi dan pendisiplinan. Kini kita menyaksikannya: para musisi tidak dilarang menyanyi, mereka hanya didisiplinkan untuk "mengerti" bahwa setiap performance memiliki harga. Halus, tapi mencekik.
Istilah "performing rights" sendiri adalah kontradiksi yang menawan. Rights: hak. Tapi hak siapa? Hak untuk tampil, atau hak untuk melarang orang tampil? Dalam bahasa Inggris, "to perform" juga berarti "melaksanakan kewajiban". Maka "performing rights" bisa dibaca sebagai "hak untuk melaksanakan kewajiban": kewajiban membayar mereka yang tak pernah naik panggung.
Pradopo pernah menulis bahwa puisi hidup dalam pembacaan. Tanpa pembaca, puisi mati. Begitu pula lagu: tanpa yang menyanyikan, lagu hanya tinta di kertas atau berkas digital yang dingin. Rimbaud dan teman-temannya adalah pembaca lagu, pemberi napas pada yang hampir mati. Tapi kini mereka seolah dituduh sebagai perampok.
Ada ironi dalam ini. Para penjaga "hak cipta" berperilaku seperti bangsawan feodal yang memagari tanah kosong, lalu menagih sewa pada petani yang menggarapnya. Mereka tak pernah memupuk, tak pernah menyiram, tapi mengklaim hasil panen. Pierre-Joseph Proudhon pernah berteriak: "Property is theft!" Mungkin dia tak menyangka teriaknya akan bergema sampai ke sudut-sudut kafe di sini.
Di masa lalu, menyanyi adalah nafas. Anak-anak belajar lagu dari ibu mereka, bukan dari YouTube dengan iklan yang menyela. Para nelayan bernyanyi sambil melaut, para petani bersenandung di sawah. Tak ada yang bertanya: "Sudahkah Anda membayar lisensi untuk menyanyikan Nina Bobo?" Musik adalah milik komunitas, seperti air dan udara.
Tapi peradaban kita telah belajar mengubah segala sesuatu menjadi komoditas. Bahkan hal yang paling intim: cara kita mengingat masa kecil melalui lagu, cara kita menghibur diri di saat sepi, kini memiliki price tag. Marx menyebutnya alienasi: manusia terpisah dari hasil karyanya sendiri. Kini kita menyaksikan alienasi yang lebih kejam: manusia terpisah dari cara mereka mengekspresikan perasaan.
Barthes pernah memproklamirkan "kematian pengarang". Maksudnya, makna sebuah teks tidak ditentukan oleh intensi penciptanya, tapi oleh pembacanya. Setiap kali Rimbaud menyanyikan "Imagine", dia tidak sedang meniru John Lennon, dia sedang menciptakan "Imagine" versi Rimbaud, dengan kerinduan dan keputusasaannya sendiri. Tapi sistem royalti menolak kematian pengarang. Mereka ingin pengarang abadi, setidaknya sampai 70 tahun setelah kematiannya.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #21: Darren Oh Darren
CATATAN SI BOB #22: Ijay Irawan Bukan Gitaris Bohongan, Ia musisi Bandung yang Tengah Resah
CATATAN SI BOB #23: Makan Siang di Bengkel Gitar Endo Suanda
Siapa yang Benar-benar Untung dari Musik?
Malam ini, saat kafe sudah sepi, Rimbaud duduk sendiri dengan gitarnya. Dia ingat kata-kata Rendra: "Sajak adalah alat perjuangan, seperti parang." Mungkin gitar juga begitu. Di seberang jalan, spanduk festival musik nasional terpasang megah: sponsor multinasional, tiket ratusan ribu, artis dengan honor miliaran. Mereka yang benar-benar meraup untung dari musik, bukan Rimbaud dan kafe-kafe kecil.
Ada yang keliru dalam logika ini. Seperti menangkap ikan dengan jaring yang salah ukuran: yang tersangkut justru ikan kecil, sementara ikan besar lolos bebas. Pajak, kata para ekonom, paling adil jika progresif. Tapi sistem ini seperti cukai rokok yang sama untuk kretek linting dan merek premium.
Aneh jika dipikirkan: ketika artis asli sudah pensiun atau meninggal, siapa yang menjaga agar lagu mereka tidak mati selain platform digital yang rapuh? Para Rimbaud inilah perpustakaan hidupnya. Tanpa mereka, Rinto Harahap atau Titiek Puspa, mungkin hanya akan jadi nama di batu nisan. Tapi kini perpustakaan itu diminta bayar sewa untuk menyimpan buku.
Barangkali yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan seperti yang diajarkan Konfusius: "Dalam pemerintahan, hal yang penting bukanlah kecepatan, melainkan ketepatan." Sosialisasi sebelum sanksi. Memahami sebelum menghukum. Melihat gradasi, bukan menyamaratakan.
Rimbaud mulai memetik gitarnya lagi. Pelan, seperti berbisik. Karena musik, pada dasarnya, adalah cara manusia berbicara ketika kata-kata tak lagi cukup. Dan ada percakapan yang tak boleh dibungkam, antara satu hati dengan hati yang lain. Ada hal-hal yang tak bisa ditagih royaltinya: kerinduan, kenangan, dan hak untuk bermimpi.
12/09/2025
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB