CATATAN SI BOB #23: Makan Siang di Bengkel Gitar Endo Suanda
Estetika, akustika, dan craftsmanship merangkum pergulatan puluhan tahun Endo Suanda. Bahwa seni sejati adalah persimpangan antara keindahan, ilmu, dan keterampilan.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
18 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Bambu. Kata itu keluar dari mulut Pak Endo Suanda seperti doa. Sabtu siang itu kami, Tim Tikpul Bandung, duduk melingkar di ruang makan sederhana. Ada nasi. Ada lauk. Ada keheningan yang tiba-tiba terbelah oleh cerita tentang keresahan.
"Portland, Oregon," katanya dengan suara yang hampir berbisik. "Saya melihat mereka membuat lantai dari bambu. Gagang pintu dari bambu. Segalanya." Mata menatap jauh. Jemarinya menjentik, seperti memetik helai udara, menegaskan cerita. "Amerika yang nyaris tak punya bambu. Sementara kita?"
Kita diam. Seperti tanah yang subur tapi tak ditanami. Seperti sumur yang dalam tapi tak digali. Ironi adalah guru yang kejam: ia mengajar dengan cara menampar kesadaran. Yang kekurangan justru lebih inventif. Yang berlimpah sering terlena dalam kelimpahan itu sendiri.
Tapi ada manusia macam Pak Endo. Yang menjadikan keresahan sebagai kompas. Dua belas tahun lalu, kesal itu mengkristal menjadi obsesi. Obsesi yang bukan lagi sekadar keinginan, tapi semacam panggilan hidup. Seperti bambu yang tumbuh, tak bisa tidak tumbuh, begitulah gairahnya pada materi hijau itu.
Selesai makan, kami diajak berkeliling bengkel. Ruang yang berbau kayu dan lem. Tumpukan bambu bertebaran dengan tertib. Gitar-gitar setengah jadi menunggu giliran seperti pasien di rumah sakit. Alat-alat presisi berderet rapi.
"Bambu bukan kayu," katanya sambil menyentuh sebilah papan laminasi. Jemari tuanya meraba permukaan seperti membaca huruf Braille. "Ia hidup dengan caranya sendiri. Bernapas dengan ritme berbeda." Kalimat sederhana yang mengandung filosofi mendalam tentang keunikan, bahwa setiap materi memiliki jiwanya sendiri.
Nissan memetik salah satu gitar buatannya. Lalu Kang Zaki Peniti dan Agung turut mengiringi. Bunyi yang keluar mengejutkan telinga. Bukan karena sumbang, tapi karena asing bagi indra yang terbiasa dengan kayu mahoni atau maple. Ada kehangatan dalam resonansinya. Seolah bambu masih menyimpan memori hutan tempat ia tumbuh: ingatan akan angin, hujan, dan sinar matahari.
Pak Endo menjelaskan konstruksi dengan mata berbinar. Bracing. Akustika. Harmonisasi. Kata-kata teknis itu keluar dari mulut seorang yang mengaku tak menguasai satu kunci gitar pun. Hari itu ia tak sedang membuat. Tapi ia bicara tentang bambu seperti seorang maestro yang menggubah simfoni dalam keheningan. Paradoks yang memesona: pembuat yang tak bisa memakai karyanya.
"Sebisa mungkin saya gabungkan estetika, akustika, dan craftsmanship." Kalimat itu diucapkan seperti mantra. Seperti sumpah setia pada kesempurnaan. Tiga kata yang merangkum pergulatan puluhan tahun, bahwa seni sejati adalah persimpangan antara keindahan, ilmu, dan keterampilan.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #20: Eli, Siswi SMA yang Ragu Membuat Lagu Sendiri
CATATAN SI BOB #21: Darren Oh Darren
CATATAN SI BOB #22: Ijay Irawan Bukan Gitaris Bohongan, Ia musisi Bandung yang Tengah Resah
Cinta pada Karya
Dari wayang kulit di masa kecil hingga topeng Indramayu. Dari Wesleyan University hingga bengkel bambu di pinggir Bogor. Perjalanan yang terlihat berbelok-belok tapi sesungguhnya lurus seperti batang bambu itu sendiri. Selalu tentang satu misi: menghidupkan yang hampir mati, melestarikan yang terancam punah.
Mimi Rasinah. Maestro topeng yang dua dekade tak menari karena kemiskinan dan patah hati. Pak Endo menghidupkannya kembali, bukan hanya seninya, tapi juga rumahnya yang nyaris roboh. "Apa yang saya dapat jauh lebih banyak dari yang saya beri," katanya dengan senyum tipis. Kalimat yang membongkar mitos tentang kepahlawanan dan kemurahan hati.
Amerika menawarkan kewarganegaraan. Dua anaknya mengajar di sana: fisika kelautan dan psikologi. Jalan terbentang lebar seperti jalan tol menuju kemapanan. Tapi ia memilih tetap di tanah ini. "Kemampuan saya lebih dibutuhkan di sini." Bukan nasionalisme murahan. Bukan pengorbanan heroik. Hanya kesadaran tentang tempat di mana seseorang paling bermakna.
Malam sudah. Kami pun harus pulang. Ia mengantarkan kami ke gerbang dengan kehangatan tak terduga. Langkahnya pelan tapi pasti. Senyum tulusnya merekah seperti bunga mekar di kegelapan. Saya terharu. Ada keinginan untuk memeluknya, seperti memeluk kakek yang penuh kebijaksanaan. Tapi saya hanya berdiri di ambang, menatapnya perlahan menghilang dalam keremangan.
Dalam perjalanan pulang, pikiran melayang. Tentang bambu yang bertransformasi menjadi musik. Tentang keresahan yang mengkristal jadi obsesi. Tentang seorang yang tak bisa memainkan gitar tapi mampu menciptakan instrumen yang berbicara dengan suara emas.
Mungkinkah justru jarak itulah yang memungkinkan objektivitas? Mungkinkah ada yang lebih sederhana: cinta yang begitu tulus pada karya, hingga rela menghabiskan separuh hidup hanya untuk memahami jiwa bambu? Atau mungkin, seperti bambu itu sendiri, ada hal-hal yang tak perlu dipahami dengan logika, cukup dirasakan dengan hati?
10/08/2025
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB