CATATAN SI BOB #22: Ijay Irawan Bukan Gitaris Bohongan, Ia musisi Bandung yang Tengah Resah
Bandung yang dikelilingi gunung, tapi musiknya justru terasa terkurung bukan hanya oleh geografis atau psikologis, tapi juga oleh ekonomi.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
5 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Malam itu, setelah Ijay tampil di Titik Kumpul, kami berbincang di sela-sela pertunjukan musik yang masih berlangsung. Pendopo Wali Kota Bandung terasa seperti ruang yang hidup dengan berbagai lapisan suara: musik dari panggung, obrolan penonton, dan percakapan kami yang semakin dalam. Jari-jari Ijay masih menyimpan memori senar blues, namun matanya menyiratkan keresahan yang lebih dalam dari nada minor mana pun.
Tapi benarkah ada yang namanya "nada minor" dalam keresahan?
Ada sesuatu dalam cara dia menyalakan rokok setelah tampil, seolah-olah ia sedang beralih dari memegang pick gitar ke memegang fragmen masa lalu yang tak kunjung utuh.
"Bandung," katanya sambil menatap ke arah panggung yang masih hidup dengan musik, "seperti kota yang terlalu nyaman dengan bayang-bayangnya sendiri." Saya menangkap maksudnya. Kota ini memang selalu hidup dalam dikotomi: antara masa lalu yang romantis dan masa depan yang tak pasti, antara lokalitas yang bangga dan inferioritas yang tersembunyi terhadap Jakarta.
Musik, seperti segala hal lainnya di kota ini, terjebak dalam paradoks yang sama: terlalu bangga untuk mengakui kekurangannya, terlalu rendah diri untuk benar-benar bersaing.
Tapi bukankah semua kota pada dasarnya adalah paradoks?
Ijay bercerita tentang skena musik Bandung yang terkotak-kotak seperti kampung-kampung di lereng gunung: masing-masing punya identitas, tapi jarang yang berani melintas batas. "Ada yang bilang indie, ada yang bilang underground, ada yang ngaku mainstream," ujarnya dengan nada yang hampir putus asa. "Tapi kita lupa bahwa musik itu sebenarnya tentang dialog, bukan monolog di ruang kedap suara."
Kata-katanya mengingatkan saya pada kalimat Rendra tentang teater: bahwa seni sejati lahir dari perjumpaan, bukan dari isolasi.
Isolasi. Dari bahasa Latin: insula. Pulau.
Malam semakin larut, dan pembicaraan kami semakin dalam masuk ke dalam labirin keresahan. Ijay menceritakan bagaimana musisi Bandung sering kali terjebak dalam dilema identitas: ingin lokal tapi takut dianggap kampungan, ingin nasional tapi merasa tidak cukup metropolitan. "Tadi di panggung," katanya, "saya main lagu sendiri. Tapi ada bagian dari diri saya yang bertanya: apakah ini cukup 'Jakarta' untuk didengar?"
Jakarta seperti magnet, menarik semua yang berbakat, meninggalkan kita dengan pertanyaan: apakah kita ini cuma kota transit menuju impian yang lebih besar?
Baca Juga: CATATAN SI BOB #19: Asep Bukan Tokoh Fiksi, Ia adalah Pedagang Batagor yang Novelnya Masuk Nominasi 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2025
CATATAN SI BOB #20: Eli, Siswi SMA yang Ragu Membuat Lagu Sendiri
CATATAN SI BOB #21: Darren Oh Darren
Tentang Geografi dan Musik
Saya teringat pada Wittgenstein: "The limits of my language mean the limits of my world." Bandung, dengan segala kekayaan budayanya, sering kali memosisikan diri sebagai "kota kedua": tidak dalam arti geografis, tapi dalam arti psikologis. Bukan soal kalah-menang. Tapi soal bagaimana kita membaca diri sendiri dalam narasi besar tentang musik dan kebudayaan Indonesia.
Dan narasi, seperti yang pernah ditulis Barthes, bukan sekadar cerita. Ia adalah kekuasaan. Atau seperti yang dikatakan Benjamin: sejarah selalu ditulis oleh yang menang.
"Yang paling menyedihkan," lanjut Ijay sambil menghisap rokok, " adalah ketika saya mulai memaklumi inferioritas itu. Musisi-musisi muda di sini sering merasa harus 'naik' ke Jakarta untuk diakui."
Tapi ada yang lebih menyedihkan lagi. "Uang," katanya pelan. "Bagaimana caranya musik bisa menghasilkan uang? Pertanyaan itu seperti hantu yang mengikuti setiap chord yang kita petik. Kawan-kawan yang dulu konsisten berproses kreatif, sekarang mulai terganggu sama pertanyaan pragmatis itu."
Apakah kreativitas dan kebutuhan hidup memang selalu bermusuhan?
Asap rokoknya mengepul perlahan, seperti kabut Dago yang menutupi kesemrawutan pasar pagi. Ada ironi dalam perbandingan itu: Bandung yang dikelilingi gunung, tapi musiknya justru terasa terkurung bukan hanya oleh geografis atau psikologis, tapi juga oleh ekonomi.
Namun, dalam keresahan itu, ada juga harapan yang tidak mudah padam. Ijay bercerita tentang beberapa musisi muda yang mulai sadar bahwa orisinalitas tidak harus dicari di tempat lain, tapi bisa dibangun dari kedalaman eksplorasi terhadap apa yang sudah ada. "Blues yang saya mainkan," katanya, "bukan blues Mississippi, tapi blues Bandung, dengan distorsi, semua kompleksitas dan kontradiksi. Dengan udara pegunungan dan kemacetan yang mencekik."
Ada wisdom dalam pernyataan itu: bahwa autentisitas bukan soal meniru, tapi soal mentransformasi.
Ketika panitia meminta sesi jamming bersama di panggung sebagai penutup acara, obrolan kami terhenti. Pendopo yang tadi hidup dengan percakapan dan musik kini menjadi panggung untuk ritual penutupan yang seremonial. Ijay berjalan ke arah panggung, rokoknya masih menyala di sela jari, gitarnya kembali diangkat seperti senjata seorang pejuang yang belum usai berperang.
Musik, barangkali, pada akhirnya tentang kejujuran pada diri sendiri, pada tempat di mana kita berpijak, dan pada mimpi-mimpi yang kita bangun.
Tapi kejujuran, bukankah itu juga sebuah konstruksi?
Percakapan kami di sela pertunjukan itu mengingatkan saya sesuatu tentang geografi dan musik, tentang ruang fisik dan ruang mental, tentang bagaimana sebuah kota, dan musiknya, bisa terjebak dalam narasi yang diciptakannya sendiri. Dan tentang bagaimana uang, si dewa yang tak pernah kenyang, bisa mengubah seniman menjadi pedagang, atau memaksa mereka memilih salah satu.
Nama akun Instagramnya adalah @gitarisbohongan. Tapi malam itu, yang ada di hadapan saya sambil merokok di sela musik yang masih mengalun bukan gitaris bohongan. Melainkan musisi Bandung yang tengah gundah, yang jujur pada kegelisahannya, yang tidak bohong pada dirinya sendiri.
Mungkin yang dibutuhkan Bandung bukan perlawanan terhadap Jakarta, tapi dialog yang lebih jujur dengan dirinya sendiri: tentang seni, tentang uang, tentang bagaimana kedua hal itu bisa hidup berdampingan tanpa saling menghancurkan. Karena pada akhirnya, musik terbaik lahir bukan dari kompetisi dengan yang lain, tapi dari kedalaman menggali yang diri.
01/08/2025
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB