CATATAN SI BOB #20: Eli, Siswi SMA yang Ragu Membuat Lagu Sendiri
Eli, di usianya yang masih tujuh belas, sudah merasakan dilema seniman sepanjang masa: antara integritas artistik dan tuntutan komersial.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
9 Juli 2025
BandungBergerak - Ada seorang gadis bernama Eli. Ia duduk di bangku kelas tiga SMA. Jemarinya terbiasa menari di tuts keyboard, suaranya mengalir dalam mikrofon band bernama Antitesis. Tapi di balik semua itu, ada kegelisahan yang menggerogoti: ia ingin menciptakan lagu sendiri, namun takut tak akan laku. Keresahan semacam ini, barangkali, adalah cermin dari zaman kita yang terlalu memperhitungkan "pasar" ketimbang jiwa.
Eli bukan sekadar seorang siswi SMA. Ia adalah keyboardis sekaligus vokalis, dua peran yang menuntut kepekaan ganda: melodi dan lirik, harmoni dan makna. Namun justru di titik inilah ia terjebak. Seperti seorang penyair yang tahu betul kekuatan kata-kata, namun ragu apakah kata-katanya akan dipahami. Antitesis, nama bandnya, seolah menjadi metafora bagi kondisi batinnya: bertentangan dengan keinginan berkarya bebas, namun terkungkung ketakutan akan penolakan.
Takut “tidak laku”, frasa ini menyimpan ironi pahit. Sebab "laku" dalam konteks musik hari ini sering kali dimaknai sebagai viral, disukai massa, atau menghasilkan keuntungan finansial. Padahal, dalam sejarah musik, karya-karya terbesar justru, beberapa, lahir dari ketidakpedulian selera pasar. The Beatles pernah ditolak label rekaman dengan alasan "musik gitar sudah tidak populer lagi." Bob Dylan dihujat ketika beralih ke listrik. Namun mereka tetap berkarya, dan waktu membuktikan kebenaran pilihan mereka.
Eli, di usianya yang masih tujuh belas, sudah merasakan dilema seniman sepanjang masa: antara integritas artistik dan tuntutan komersial. Ia menyadari bahwa menciptakan lagu bukan hanya soal menyusun nada dan kata, tetapi juga tentang keberanian untuk membuka diri, mengekspos jiwa, dan menerima kemungkinan bahwa tidak semua orang akan menyukainya. Keberanian semacam ini, sayangnya, bukan hal yang diajarkan di sekolah.
Namun, apakah benar sebuah lagu harus "laku" untuk memiliki nilai? Pertanyaan ini mengajak kita merenungkan kembali makna kesuksesan dalam berkesenian. Lagu-lagu yang kita anggap klasik hari ini, dari "Imagine" hingga "Hotel California", tidak dicipta dari kalkulasi pasar. Mereka lahir dari kebutuhan artistik: sesuatu yang tak bisa diekspresikan dengan cara lain. Eli, dengan keresahannya, mungkin justru sedang berdiri di ambang penciptaan autentik.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #19: Asep Bukan Tokoh Fiksi, Ia adalah Pedagang Batagor yang Novelnya Masuk Nominasi 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2025
CATATAN SI BOB #18: Berkah Pangeran Biru untuk Usep
Dalam Ketidakpastian, dari Keresahan
Generasi Eli tumbuh dalam era di mana segalanya diukur dengan like, share, dan view. Media sosial telah mengubah cara kita memandang apresiasi seni: yang cepat viral dianggap bagus, yang lambat diterima dianggap gagal. Paradigma ini menghilangkan ruang untuk karya-karya yang membutuhkan waktu untuk dipahami, untuk lagu-lagu yang baru akan menemukan audiensnya bertahun-tahun kemudian. Eli, tanpa disadari, bergulat dengan warisan zaman yang mengutamakan instant gratification ketimbang depth.
Keyboard di hadapannya bukan hanya instrumen, tetapi juga pertanyaan eksistensial. Setiap tuts yang ia tekan bisa menjadi awal dari sebuah melodi yang akan mengubah hidupnya, atau justru tenggelam dalam lautan musik yang ada. Namun, bukankah justru, di sana letak keindahan berkesenian? Dalam ketidakpastian itu, dalam keberanian untuk memulai tanpa tahu bagaimana akhirnya, dalam kepercayaan bahwa yang autentik akan menemukan jalannya sendiri, meskipun mungkin bukan hari ini.
Antitesis, nama band yang dipilihnya, mungkin menjadi cermin bagi kondisi psikologisnya. Ia berada dalam tegangan antara keinginan dan ketakutan, antara kreativitas dan kecemasan, antara mimpi dan realita. Namun justru dari tegangan-tegangan semacam inilah karya seni terbaik sering lahir. Seperti yang pernah dikatakan Rainer Maria Rilke: "Mungkin semua naga dalam hidup kita adalah putri yang menunggu untuk melihat kita cantik dan berani."
Eli, gadis berusia tujuh belas tahun dengan jemari yang terlatih menari di atas keyboard, mungkin tidak menyadari bahwa keresahannya justru adalah tanda bahwa ia seorang seniman sejati. Sebab seniman sejati selalu resah: resah akan kualitas karyanya, resah akan relevansinya, resah akan kemampuan menyentuh jiwa lain. Dan dari keresahan itulah, jika ia berani merangkul ketakutannya, mungkin akan lahir lagu-lagu yang tidak hanya "laku," tetapi juga abadi.
07/07/2025
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB