CATATAN SI BOB #18: Berkah Pangeran Biru untuk Usep
Lagu "Demi Pangeran Biru" menjadi mantra yang mengantar Persib juara Liga Indonesia 2024-2025. Lagu menjadi teknologi sosial yang menciptakan solidaritas.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
28 Mei 2025
BandungBergerak.id – Fortuna datang seperti hujan lotre. Tak terduga. Kadang tak dikehendaki. Selalu disambut dengan syukur bercampur curiga. Usep, vokalis yang namanya kini menggema di media sosial bukan karena virtuositas musiknya, melainkan karena sebuah lagu lamanya tentang Persib. "Demi Pangeran Biru" ternyata bukan sekadar lagu. Ia telah menjadi mantra. Persib juara Liga Indonesia 2024-2025, dan tiba-tiba Usep diklaim sebagai "juru ramal" yang lagunya "membawa berkah". Ironisnya, si pembuat lagu jarang menonton pertandingan.
Walter Benjamin pernah bicara tentang aura dalam karyanya "The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction". Musik dan sepak bola, dua ranah yang tampak berbeda, sesungguhnya sama-sama bergantung pada aura: kekuatan mistis yang mengikat komunitas dalam ritual kolektif. Ketika ribuan bobotoh menyanyikan "Demi Pangeran Biru" di stadion, mereka sedang melangsungkan upacara sakral: transformasi individu-individu teratomisasi menjadi demos yang bersatu. Lagu bukan lagi artefak estetis, melainkan teknologi sosial untuk menciptakan solidaritas.
Tapi ada yang janggal dalam cerita ini. Usep, si kreator anthem Persib, adalah supporter dari jauh. Ia mencintai tim biru tanpa pernah merasakan desakan tubuh di tribun, tanpa pernah menghirup aroma keringat dan euforia yang menguar dari stadion. Cintanya dimediasi oleh televisi, media sosial, dan imajinasi. Benarkah ini cinta? Atau sekadar proyeksi romantis terhadap komunitas yang tak pernah ia masuki secara utuh?
Plato akan menyebut Usep sebagai penghuni gua yang mencintai bayangan di dinding. Ia mencintai idea Persib, bukan Persib yang sesungguhnya: Persib yang berkeringat, yang kadang kalah, yang pemainnya cedera, yang manajemennya sering bermasalah. Usep mencintai Persib versi liris, yang bersih dari debu realitas. Dan mungkin justru di situlah kekuatan cintanya: karena tak terkontaminasi kekecewaan, ia mampu menciptakan lagu lebih murni daripada yang bisa diciptakan oleh bobotoh sejati yang sudah terlalu lelah dengan drama klub.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #15: Komunitas adalah Ketiadaan itu Sendiri
CATATAN SI BOB #16: Jeremy yang Guru Honorer Sekaligus Musisi itu
CATATAN SI BOB #17: Steven, Potret Musisi Indie Kita yang Sebenarnya
Musik dan Sepak Bola
Musik dan sepak bola berbagi satu hal: keduanya adalah bahasa untuk mengekspresikan yang tak terkatakan. Ketika kata-kata tak cukup untuk merangkai kerinduan, musik hadir. Ketika hidup sehari-hari terlalu monoton untuk menampung hasrat, sepak bola menyediakan panggung katarsis. Usep, tanpa sadar, telah menjadi penerjemah antara dua bahasa ini. "Demi Pangeran Biru" adalah hasil terjemahan dari bahasa sepak bola ke bahasa musik, dan sebaliknya.
Fenomena Usep mengungkap paradoks industri kreatif kontemporer. Dalam ekonomi perhatian (attention economy) yang diprediksi oleh Georg Simmel lebih dari seabad lalu, nilai karya seni tidak lagi ditentukan oleh kualitas intrinsiknya, melainkan oleh kemampuannya menarik perhatian publik. Usep mungkin telah menciptakan puluhan lagu yang secara musikal lebih sophisticated daripada "Demi Pangeran Biru", tapi baru sekarang ia didengarkan karena lagunya kebetulan bertepatan dengan momen bersejarah. Timing, bukan talenta, yang menentukan nasib.
Ini mengingatkan pada konsep kairos versus chronos dalam filsafat Yunani. Chronos adalah waktu yang terukur, linear, dapat diprediksi. Kairos adalah waktu yang "tepat", momen yang mengandung makna, saat di mana segala kemungkinan bertemu dalam satu titik. Usep beruntung karena "Demi Pangeran Biru" bertemu dengan kairos-nya: saat Persib menjuarai liga. Tanpa momen itu, lagu tersebut akan tetap menjadi salah satu track dalam diskografi yang terlupakan.
Tapi apakah ini sungguh keberuntungan? Atau justru semacam poetic justice? Mungkin alam semesta punya cara sendiri untuk memberikan apa yang pantas diterima seseorang. Usep telah lama berkarya dalam kesunyian, menciptakan musik tanpa ekspektasi viral atau trending. Ia menciptakan "Demi Pangeran Biru" bukan untuk mengejar ketenaran, melainkan karena dorongan ekspresi yang tulus. Dan ketika karyanya akhirnya menemukan audiensnya, hal itu terjadi dengan cara yang tak pernah ia sangka: melalui kemenangan tim yang ia cintai dari jauh.
Ada ironi dalam bagaimana sepak bola, yang sering dianggap sebagai hiburan kelas bawah, justru mampu mengangkat musik yang lebih tinggi secara kultural. Persib tidak hanya memenangkan liga. Tim ini juga, tanpa sadar, menjadi patron bagi seorang musisi yang selama ini berjuang mencari pendengar. Ini menunjukkan bahwa hierarki budaya yang kita anggap rigid sebenarnya lebih cair daripada yang kita bayangkan. Kadang yang "rendah" mengangkat yang "tinggi", kadang yang populer menyelamatkan yang marjinal.
Lakon Usep adalah alegori tentang bagaimana makna diciptakan dalam dunia yang semakin tak terprediksi. Ia tidak pernah bermimpi bahwa lagu ciptaannya akan menjadi bagian dari sejarah Persib, namun ia telah menyiapkan diri dengan berkarya. Keberuntungan hanya mengunjungi mereka yang telah memasang jaring. Dan Usep, dengan segala ketidakhadirannya di stadion, telah memasang jaring itu melalui musik. Mungkin itulah cara terbaik untuk mencintai: bukan dengan kehadiran fisik, melainkan dengan memberikan yang terbaik dari diri kita. Bagi Usep, itu adalah musik. Bagi Persib, dan ironi sejarah, ternyata itu sudah lebih dari cukup.
24/05/2025
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik