CATATAN SI BOB #17: Steven, Potret Musisi Indie Kita yang Sebenarnya
Bagaimana menjelaskan kerinduan berbicara saat dunia enggan mendengar? Steven tak bisa, maka ia menyanyikannya.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
13 Mei 2025
BandungBergerak.id – Pagi yang biasa. Steven menyandang gitar. Jalan basah. Sepatunya juga. Ia lupa payung. Tujuannya stasiun kereta, menuju kota kecil di Jawa Tengah yang namanya sering tertukar. Di sana ia akan "bermain musik", bukan permainan, bukan pula pertunjukan yang layak disebut begitu.
Walter Benjamin menulis tentang Angelus Novus, lukisan Paul Klee. Malaikat yang memandang terpaku pada tumpukan puing sejarah. Wajahnya ngeri, sayapnya terbentang. Badai dari surga mendorongnya mundur. Badai ini adalah "kemajuan", tak terelakkan bagi malaikat yang ingin "membangunkan yang mati dan menyambung yang terserak".
Steven tak kenal Benjamin. Tak ingin juga disebut malaikat. Ia desainer grafis di biro iklan bertingkat tiga (liftnya sering rusak). Tiba pukul setengah sembilan pagi. Pulang pukul enam, kadang tujuh sore. Sesekali lembur hingga Minggu pagi. "Deadline," jelasnya datar, tanpa keluhan. Jumat, tak jarang ia cuti. Pergi dengan kereta sore ke kota-kota yang tak mirip Jakarta. Mungkin itulah sebabnya ia pergi: mencari yang tak serupa ibu kota.
Masa Soeharto, kota-kota dipaksa menyerupai ibukota. Jalan dinamai "Jenderal Sudirman", "Urip Sumoharjo", "Gatot Subroto". Bukan untuk mengenang pahlawan, tapi menciptakan tautan artifisial dengan pusat kekuasaan. Kini, pasca-desentralisasi, paradoks: kota-kota berlomba menegaskan keunikan, namun justru semakin serupa mal yang sama, kedai kopi sama, gedung perkantoran sama, bahkan musikalisasi puisi pun sama.
Bagaimana dengan Steven dan gitarnya?
Di Yogyakarta, mahasiswa muda menyapanya usai pertunjukan. "Anda datang jauh-jauh untuk ini?", nada antara kagum dan kasihan. Steven tersenyum. Tak menjelaskan bahwa perjalanannya lebih jauh dari yang terlihat: dari hari-hari di depan komputer mendesain brosur diskon sepatu, hingga malam-malam merekam demo dengan mikrofon seadanya. Ia hanya menjawab: "Tidak terlalu jauh." Jarak geografis memang bukan masalah sebenarnya.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #14: Totti dan Pertanyaan Eksistensi
CATATAN SI BOB #15: Komunitas adalah Ketiadaan itu Sendiri
CATATAN SI BOB #16: Jeremy yang Guru Honorer Sekaligus Musisi itu
Pertukaran dalam Pertemanan
"Ekonomi pertemanan," kata sosiolog. Tapi pertukaran dalam pertemanan tak selalu kasat mata. Apa yang Steven berikan pada Rani yang menyediakan tempat bermain di Surabaya? Pada Andre yang menampungnya di kontrakan sempit di Bandung? Bukan uang, ia tak punya cukup. Bukan janji balas budi, ia tahu itu mustahil. Mungkin kesaksian: bahwa dalam dunia yang diukur rupiah, masih ada yang tak ternilai. Atau lebih sederhana: bahwa mereka sama-sama percaya pada sesuatu yang lain.
Album "Jeda" terbit digital setelah dua tahun proses. Sampul hitam, titik putih di tengah seperti jeda dalam teks musik. Tanpa label, tanpa distributor. Seratus CD dicetak sebagai merchandise, dari tabungan hasil tidak makan siang berbulan-bulan. Ia letakkan di meja kecil dekat pintu masuk pertunjukan, bersama kartu nama cetakan sendiri. Terjual dua, kadang lima. Pembelinya mereka yang mendengar lagunya dan tersentak: samar mengenali suara diri sendiri.
Malam ketiga di Malang, pemilik kafe bertanya: "Berapa penghasilanmu sebagai desainer?" Steven menyebut angka sebenarnya. Pemilik mengangguk. "Dan biaya perjalanan-perjalanan ini?" Steven menggeleng: ia tak pernah menghitung pasti, takut kehilangan keberanian. "Jadi kenapa?" tanya pemilik dengan tatapan lebih lembut. Steven memandang gitarnya yang lusuh. "Karena harus," jawabnya pendek. Kierkegaard menyebutnya "lompatan iman": keputusan ketika rasionalitas tak lagi memadai.
Pertanyaan "kenapa" memang tersulit. Mengapa Emily Dickinson menulis dua ribu puisi namun menerbitkan kurang dari sepuluh semasa hidup? Mengapa Van Gogh terus melukis meski karyanya tak laku? Mungkin ada kebenaran terlalu besar untuk diucapkan, yang hanya bisa diisyaratkan lewat karya. Wittgenstein: "Apa yang tak dapat dikatakan, itulah yang harus diperlihatkan."
Steven pulang: ke kamar sewaan berbau pengharum murah, kertas-kertas konsep iklan pembersih lantai, rekening bank menipis. Gitarnya di sudut ruangan, di samping CD yang tak berkurang. Malam itu, sebelum tidur, pesan masuk dari seseorang di Bekasi yang mengundangnya bermain di festival kecil. Tanpa pikir panjang, ia jawab: "Ya."
Bagaimana menjelaskan kerinduan berbicara saat dunia enggan mendengar? Steven tak bisa, maka ia menyanyikannya. Di kereta menuju kota berikutnya, ia menatap keluar jendela. Hujan reda, meninggalkan genangan-genangan kecil pemantul langit. Dalam tiap genangan, sekilas matahari: kemungkinan lain, tak terwujud namun selalu hadir. Seperti lagunya, seperti hidupnya yang lain. Camus menulis kita harus membayangkan Sisifus bahagia. Saya tak tahu apakah Steven bahagia, tapi saya melihatnya tersenyum.
05-11-2025
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik