CATATAN SI BOB #15: Komunitas adalah Ketiadaan itu Sendiri
Komunitas adalah absensi akan luruhnya definisi rigid, hilangnya batas mengikat, runtuhnya tuntutan keseragaman.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
17 April 2025
BandungBergerak.id – "Komunitas," kata Jean-Luc Nancy, "bukanlah entitas yang harmonis, melainkan ruang di mana keterpisahan dan kebersatuan terjadi sekaligus." Saya teringat perkataan filsuf Prancis ini ketika menyaksikan Agnes di acara musik indie Bandung minggu lalu. Di panggung itu, Agnes tidak sekadar menyanyi. Ia mengisahkan peristiwa ironi: dikelilingi "teman" namun merasakan jarak tak terjembatani.
Agnes datang ke Bandung sekitar delapan tahun silam, berkuliah di salah satu universitas negeri sambil meniti karier musiknya. Kota ini, dengan mitologi indie dari era Pas Band, Pure Saturday, hingga The S.I.G.I.T., menjanjikan rumah bagi pencari suara otentik. Namun apakah komunitas selalu berarti menemukan rumah? Adorno mengingatkan bahwa dalam kolektivitas selalu terdapat potensi penindasan. Agnes kini menghadapi itu, absennya ruang bagi individualitas di tengah tuntutan kolektif.
Di Studio RajaKadal terdapat graffiti kecil: "semua revolusi dimulai dari yang personal." Revolusi Agnes bermula saat menolak format Indonesian Idol. Ia memilih jalur lain. Namun setelah bergabung dengan kolektif Akar Merah, Agnes menemukan bahwa ideologi "anti-industri" menciptakan hierarkinya sendiri. Komunitas yang ia cari ternyata ilusi: ruang yang mengklaim kesetaraan namun diam-diam menuntut konformitas.
Suatu sore di Jalan Burangrang, Agnes duduk sendirian di kafe. Di depannya tergeletak jurnal dan vinyl Miles Davis. "Mereka berdebat tiga jam tentang synthesizer untuk album berikutnya," katanya tersenyum getir. "Aku hanya ingin bernyanyi." Pertanyaan Hannah Arendt melintas: bagaimana mempertahankan pluralitas suara di tengah tuntutan kebersamaan? Komunitas musik seperti Akar Merah sering melarutkan keunikan demi nama kolektif.
Agnes mendirikan "Solastalgia", bukan band atau kolektif, melainkan "ruang pertemuan." Nama dari konsep Glenn Albrecht tentang nostalgia saat seseorang masih berada di tempatnya. Agnes merasa asing dalam komunitasnya sendiri. Hadir namun tak diakui, bersuara namun tak didengar. Seperti perempuan dalam kanon sastra maskulin, seperti suara minor dalam politik identitas, Agnes menavigasi ruang yang mengabaikan kehadirannya.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #12: Di Antara Azan dan Autotune
CATATAN SI BOB #13: Aa dan Siasat Perkawanan Popularitas
CATATAN SI BOB #14: Totti dan Pertanyaan Eksistensi
Individuasi dan Komunitas
Di penghujung tahun lalu, Agnes merilis mini album "The Commons." Dalam lagu pembuka "Archipelagic Thought," ia bersenandung: "We are islands, reaching from beneath the sea / separate, yet connected through roots you cannot see." Agnes meminjam konsep Edouard Glissant tentang kepulauan: identitas tidak perlu homogen untuk membentuk kebersamaan. Baginya, komunitas musik bukanlah kesamaan suara, melainkan pengakuan jarak, ruang antara yang memungkinkan dialog perbedaan.
"Mengapa sulit membuat keputusan bersama?" tanya Agnes suatu malam di studio RajaKadal. Lima jam rapat tanpa kesepakatan tentang konsep video musik. Bukan karena tidak ada ide, tapi justru karena terlalu banyak ide dan terlalu sedikit kesediaan mendengar. Paradoks "komunitas" terungkap: ketika semua ingin didengar, tak ada yang benar-benar mendengarkan.
Agnes lahir di era individualisme sebagai mantra kehidupan kontemporer, namun juga di masa kerinduan akan komunitas semakin mendesak. Dibesarkan dengan internet yang menjanjikan konektivitas, ia justru merasakan alienasi lebih dalam. Zygmunt Bauman menyebutnya "komunitas gantung", kelompok yang terbentuk dan bubar seketika. Di industri skena musik indie Bandung, Agnes menyaksikan rapuhnya ikatan sosial, cepatnya solidaritas menguap.
Suatu pagi, Agnes meninggalkan grup WhatsApp Ultramarine Lounge. Tanpa penjelasan. Tanpa drama. Ia pergi ke Ubud selama sebulan, tinggal di residensi seniman. Di sana, jauh dari keramaian Bandung, Agnes merekam lagu-lagu barunya. Sendirian. "Aku menemukan kembali suaraku," pesannya singkat. Seakan mengonfirmasi bahwa kadang kita perlu melepaskan komunitas untuk menemukan kembali apa yang membuat kita ingin berkomunitas.
Pertanyaannya: apakah individuasi dan komunitas selalu berlawanan?
Minggu lalu, Agnes tampil kembali di Bandung. Bukan bersama kolektif lamanya, juga bukan sebagai solois sepenuhnya. Ia hadir dengan musisi dari Ubud, pemain cello dari Yogyakarta, dan beberapa anggota Akar Merah yang masih berteman dengannya. "Ini bukan band baru," jelasnya. "Ini hanya pertemuan." Agnes menemukan jawaban: komunitas adalah absensi akan luruhnya definisi rigid, hilangnya batas mengikat, runtuhnya tuntutan keseragaman.
Saat Agnes menyanyikan "Common Ground," saya melihat kilasan pemahaman di matanya. Mungkin komunitas, seperti tulisan Roberto Esposito, bukanlah tentang kepemilikan bersama atau identitas kolektif, melainkan tentang munus, di mana kita memberi tanpa mengharapkan imbalan. Agnes telah memberikan suaranya pada kehampaan. Dan dalam pemberian itu, ia justru menemukan diri kembali, lebih kuat.
Komunitas, barangkali, ketiadaan ego demi kelahiran diri itu sendiri.
15/04/2025
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik