• Kolom
  • CATATAN SI BOB #13: Aa dan Siasat Perkawanan Popularitas

CATATAN SI BOB #13: Aa dan Siasat Perkawanan Popularitas

Sejarah musik selalu menunjukkan ruang untuk resistensi. Selalu ada musisi yang menolak mengorbankan integritas artistiknya demi ketenaran sesaat.

Bob Anwar

Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]

Konser musik band punk asal Bandung di Dago Elos, Rabu, 9 Oktober 2024. Orang-orang muda bersolidaritas untuk Dago Elos. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

19 Maret 2025


BandungBergerak.id – Di sudut panggung festival musik tahunan itu, Aa berdiri dengan gitar yang tergantung di bahunya. Lampu sorot menyiram tubuhnya dengan cahaya kemerahan. Ia memandang ke arah kerumunan, ribuan wajah yang berayun mengikuti ritme musik, namun bukan ritme yang ia mainkan. Ia adalah penampil pembuka. Sebuah "necessary evil" dalam konstelasi industri hiburan.

Pukul sembilan malam, ketika Aa turun dari panggung, beberapa penonton menatapnya dengan wajah datar. Mereka menunggu penampil utama. Tetapi Aa menyadari posisinya dengan narasi berbeda: ia berada di sana karena "koneksi"-nya, karena ia "berteman" dengan para penampil utama. Seperti juga laba-laba yang menggantung di sarang yang bukan miliknya.

Pertemanan dalam universe musik kita telah menjadi semacam mata uang baru. Di sebuah studio rekaman papan atas, minggu lalu, seorang produser berkata pada saya, "Sekarang ini, talenta musikal tanpa jaringan pertemanan ibarat lilin di siang bolong." Aa tahu betul hal ini.

Media sosial menjadi panggung kedua yang lebih penting dari panggung aslinya. Instagram Aa dipenuhi foto-foto bersama musisi terkenal. Seperti ketenaran adalah penyakit menular yang bisa didapat lewat kontak fisik. Sebagaimana Proust pernah menangkap pesona artifisial salon-salon Paris, di mana kedekatan dengan bangsawan menjadi obsesi kaum borjuis. "Aku baru saja ngopi bareng dia," kata Aa kepada saya suatu sore, sambil menunjukkan fotonya bersama vokalis band ternama.

Karya-karya Aa sendiri seperti kota tua yang dibangun kembali: faksimile tanpa jiwa. Komposisinya adalah mozaik dari fragmen-fragmen yang sudah ada. Sebuah riff dari band indie yang sedang viral. Struktur harmoni dari lagu hit kemarin. Lirik dari puisi media sosial. Yang lebih menyedihkan, musik telah menjadi sekadar konten. Bahan bakar algoritma yang tak pernah kenyang. Dalam universe seperti ini, musisi bukan lagi seniman tetapi "content creator". Pertemanan bukan lagi relasi interpersonal yang tulus. Ia adalah strategi pemasaran.

Malam itu, dari ruang ganti artis, Aa mengunggah foto dirinya bersama penampil utama. Caption-nya membuat Aa tampak seolah berada dalam lingkar dalam elite musik nasional. Tanpa sadar, ia telah menjadi "tanda" dalam sistem semiotik hiburan. Ia tidak lagi merepresentasikan dirinya sendiri. Ia menjadi representasi dari obsesi kita terhadap ketenaran. Dan yang lebih ironis, Aa bukan anomali. Ia adalah norma.

Baca Juga: CATATAN SI BOB #10: Tomi dalam Skena Pinjaman Online
CATATAN SI BOB #11: Yang Tak Diizinkan untuk Diucapkan
CATATAN SI BOB #12: Di Antara Azan dan Autotune

Angka-angka

Pasar musik global kini dikuasai oleh angka-angka: followers, likes, views. Dalam wawancara dengan seorang eksekutif label rekaman besar, saya ditunjukkan sebuah grafik: nilai kontrak seorang musisi kini lebih ditentukan oleh jumlah pengikut media sosialnya dibanding kualitas musiknya.

Di tengah situasi itu, pertanyaan tentang musik sebagai seni semakin mendesak. Jika ia hanya menjadi komoditas untuk dikonsumsi secara pasif, apakah ia masih memiliki kekuatan transformatif? Ataukah ia hanya menjadi pengiring dari kehampaan kehidupan urban kita? Atau seperti ditulis Rilke, "Musik: nafas dari patung-patung." Tapi napas siapa yang kita dengar dalam musik Aa?

Ketika saya bertanya padanya tentang pengaruh musikal, ia menyebut nama-nama besar. Tetapi tak satu pun yang terdengar dalam komposisinya sendiri. Meski begitu, sejarah musik selalu menunjukkan ruang untuk resistensi. Dalam setiap generasi, selalu ada musisi yang menolak mengorbankan integritas artistiknya demi ketenaran sesaat. Di sudut-sudut Jakarta, masih ada tempat-tempat kecil di mana musik dimainkan bukan untuk viral, tetapi untuk mengungkapkan sesuatu yang tak terkatakan dengan cara lain.

Seorang penyair Persia kuno pernah bilang, "Kebenaran adalah cermin yang jatuh dari tangan Tuhan dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut sepotong kecil." Mungkin suatu hari nanti, Aa akan mengerti bahwa tugasnya bukan memamerkan foto-foto pertemanan atau poster acara dengan musisi terkenal. Tugasnya adalah memungut kepingan cermin itu dan menunjukkannya pada dunia.

Malam sudah larut ketika festival itu berakhir. Di panggung yang kini kosong, hanya tersisa botol-botol plastik dan puntung rokok. Aa berbisik pada manajernya, "Berapa banyak yang melihat story Instagram-ku tadi?" Di kejauhan, suara deru mesin pembersih mulai terdengar.

Bandung, 18 Maret 2025

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//