• Kolom
  • CATATAN SI BOB #12: Di Antara Azan dan Autotune

CATATAN SI BOB #12: Di Antara Azan dan Autotune

Di era FOMO Ramadan, humanisme kita telah dikalahkan oleh perfeksionisme digital dan eksistensi kita diukur dari seberapa sempurna kita memenuhi ekspektasi pasar.

Bob Anwar

Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]

Para jemaah melakukan foto setelah melaksanakan salat tarawih Ramadan di Masjid Al Jabbar, Senin, 11 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)

6 Maret 2025


BandungBergerak.id – Cahaya sore merayap melalui ventilasi kontrakan sempit di Kebon Kalapa. Mamang menatap layar Dell-nya dalam diam. Gelombang suara yang tersusun rapi di Digital Audio Workstation menampilkan janji kesempurnaan yang tak pernah hadir dalam kehidupan nyata. "Pintu Ampunan", begitu judulnya. Single Ramadan yang tinggal menunggu peluncuran tiga hari lagi. Di sudut interface, angka 78 pada parameter AutoTune berkedip: cukup tinggi untuk menghilangkan setiap jejak ketidaksempurnaan, cukup rendah untuk menyisakan ilusi kemanusiaan.

Fear of missing out atau FOMO, telah lama menjadi hantu yang berkeliaran di koridor-koridor kapitalisme. Kini ia menyusup ke bulan puasa, mengubah Ramadan menjadi musim yang harus dieksploitasi, dioptimalkan, dimonetisasi. Seperti halnya Desember dibalut kertas kado Natal, Februari dihiasi pita Valentine, Ramadan kini menjadi komoditas dengan tanggal kedaluwarsa. Terburu-buru, seolah-olah takwa memiliki tenggat waktu.

Seorang produser musik yang saya temui minggu lalu di sebuah kafe di Jalan Riau membuka Macbook-nya. Dengan jemari yang dihiasi cincin perak Bali, ia menunjukkan grafik peningkatan streaming lagu-lagu religius selama Ramadan.

"Naik hingga 80 persen," ujarnya, "hanya dalam tiga puluh hari."

Mata yang berbinar itu sama sekali tak menyiratkan ironi dari kalimatnya sendiri: "hanya dalam tiga puluh hari." Seolah keimanan adalah sprint, bukan maraton panjang kehidupan.

Catatan internal seorang konten kreator, yang menjadi musisi cover di Youtube, yang tak sengaja saya baca, memperlihatkan instruksi yang gamblang: "Voice processing guidelines: falsetto dominan, reverb untuk menciptakan ilusi kedalaman spiritual." Kata "ilusi" tertulis tanpa rasa bersalah. Dalam industri digital, kejujuran kadang muncul dalam dokumen-dokumen yang tak dimaksudkan untuk publik.

Baca Juga: CATATAN SI BOB #9: Garcia adalah Balada Sedih Kota ini
CATATAN SI BOB #10: Tomi dalam Skena Pinjaman Online
CATATAN SI BOB #11: Yang Tak Diizinkan untuk Diucapkan

Jejak Ketidaksempurnaan

Di luar jendela kontrakan Mamang, azan asar berkumandang dari masjid terdekat. Suara muazin sedikit serak di beberapa tempat, sumbang di nada-nada tertentu. Namun ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam ketidaksempurnaan itu. Kontras yang tajam dengan suara yang baru saja Mamang perdengarkan: tiga menit empat detik permainan maqam bayati yang terlalu bersih, terlalu tepat. Terlalu… direkayasa.

Hamka, dalam "Tasawuf Modern", menulis tentang fenomena yang ia sebut "ikhlas yang hilang": kondisi ketika ritual-ritual agama telah menggantikan esensi keimanan. Apa yang akan dikatakan sang ulama tentang suara-suara yang dipoles sedemikian rupa hingga menghilangkan setiap jejak kemanusiaan? Digital perfectionism yang mengasingkan kita dari ketidaksempurnaan yang justru menjadi inti kemanusiaan.

Di Dalem Kaum, pengumuman promo berbuka puasa bersahutan dengan lantunan ayat suci. Di etalase toko elektronik, televisi menayangkan iklan sirop dengan gambar kurma dan tamar. Di billboard digital, wajah selebriti dengan busana muslim terbaru tersenyum lebar. Fomo Ramadan merebak seperti epidemi. Takut tertinggal dari "berkah" bulan suci, semua berlomba membungkus produk mereka dengan simbol-simbol keagamaan.

"Coba dengarkan," kata Mamang, memainkan kembali demo lagunya. Ia menambahkan beberapa ornamen digital, meningkatkan parameter AutoTune menjadi 85. "Ini yang akan laku," bisiknya, seperti pengakuan dosa yang tersamarkan sebagai strategi bisnis. Untuk sesaat, saya melihat kilasan Mamang yang dulu, yang bernyanyi dengan mikrofon sederhana di Baksil, rekaman yang kasar namun jujur. Tetapi momen itu berlalu cepat, tenggelam dalam pragmatisme pasar.

Emha Ainun Nadjib pernah menuliskan refleksinya tentang keindahan azan yang dilantunkan dengan suara apa adanya di kampung-kampung kecil. Ada kejujuran dalam ketidaksempurnaan, katanya. Seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar yang kasar namun menusuk hingga ke sumsum. Atau seperti suara Bimbo yang tak pernah sepenuhnya "bersih" namun menggetarkan jiwa dengan "Tuhan"-nya.

FOMO Ramadan

Eggy Fauzy, dalam salah satu ceramah budayanya, mengatakan tentang "kesucian yang ternoda oleh keinginan untuk terlihat suci." Kalimat yang seolah diucapkan khusus untuk fenomena FOMO Ramadan ini. Bagaimana kesalehan kini diukur dari jumlah likes, viewers, atau streams. Bagaimana spiritualitas telah menjadi performa publik yang lebih mementingkan penampakan daripada penghayatan.

Di perjalanan pulang dari kontrakan Mamang, saya melewati trotoar-trotoar yang dipenuhi pedagang takjil. Dari masjid-masjid, tilawah mengalun, menjemput magrib yang sesaat lagi. Semua berlomba memenuhi kuota "kebaikan Ramadan," seolah pahala memiliki sistem poin seperti kartu member supermarket. Ketakutan akan tertinggal, FOMO, membuat kita berlari, padahal Ramadan seharusnya mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan merasakan.

Di tangannya yang sedikit bergetar, Yamaha tua tahun 1978 masih setia dengan stiker

"Existentialism is a Humanism" yang separuh terkelupas. Judul ceramah Sartre yang sering Mamang kutip meski tak pernah membaca utuh. "Eksistensialisme adalah humanisme," katanya dulu saat kita masih sering berdiskusi di kampus. Namun kini, di era AutoTune dan Fomo Ramadan, humanisme kita telah dikalahkan oleh perfeksionisme digital, dan eksistensi kita diukur dari seberapa sempurna kita memenuhi ekspektasi pasar.

Pertanyaannya sederhana namun menggigit: dalam kesibukan kita berlomba mengejar "tren Ramadan," apa yang sesungguhnya kita takutkan untuk tertinggal? Pahala, ataukah pasar? Rida Ilahi, ataukah validasi sosial?

Dan di suatu tempat, entah di mana, mungkin di luar semesta yang bisa kita bayangkan, Tuhan mungkin sedang mendengarkan. Tapi apa yang Ia dengar? Suara asli yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan AutoTune? Atau barangkali Ia, yang menciptakan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari kesempurnaan ciptaan-Nya, lebih menghargai suara yang belum disempurnakan: suara manusia yang apa adanya, dengan segala kejujuran dan keburukannya?

06/03/2025

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//